Catatan Akhir Pengukuhan Pamong Praja Muda
Oleh.
Dr. Muhadam Labolo
Di tengah
seremonial tahunan kita melepas pamong praja muda ke kancah pengabdian yang
sesungguhnya, saya perlu memberi catatan sebagaimana terbetik dalam benak
ketika seorang kawan mengundang saya mempersiapkan bahan ceramah dalam studium general di salah satu perguruan
tinggi swasta. Jika moment tersebut saya diberi kesempatan untuk membangun
spirit mahasiswa baru sekaligus menggambarkan problematik reformasi birokrasi
dalam hubungan dengan demokrasi lokal, maka catatan kita di penghujung wisuda kali
ini berisi renungan, harapan dan doa agar pamong praja muda benar-benar mampu menghubungkan
apa yang diingatkan Ondo Riani (2012) tentang brain, mind and behaviour. Maklum, itulah inti ajaran pada lembaga
yang pernah jatuh bangun dalam sejarah OSVIA, MOSVIA, KDC, APDN, IIP, STPDN dan
IPDN. Mereka yang tumbuh dan berkembang dalam lingkungan tersebut paham betul
maksud lembaga pendidikan semacam itu di bentuk tidak saja dari perspektif
historisitas, normativitas dan dan realitasnya, namun lebih dari itu dari aspek
ontologik, epistem maupun aksiologikalitasnya. Untuk aspek-aspek tersebut tidak
saya bicarakan dalam catatan pendek ini.
Sebagaimana studi sosiolog Tracer dalam memperoleh masukan perbaikan
kurikulum terhadap kebutuhan pasar, sukses ternyata hanya ditentukan oleh 20
persen gabungan kompetensi pengetahuan dan keterampilan, 80 persen ditentukan
oleh sikap dan motivasi (Fazri:2012). Studi
Tracer nampaknya menjadi esensi kuat sepanjang kita mendidik pamong praja sejak
OSVIA hingga IPDN. Para founding fathers
sengaja meletakkan behaviour sebagai
lokus dan fokus utama dalam pendidikan kader pemerintahan. Bahkan untuk maksud
itu aspek behaviour memperoleh porsi
kuantifikasi yang tinggi dibanding aspek brain
dan mind. Kala itu, gugus pengasuhan
memperoleh porsi 60 persen dibanding pengajaran dan pelatihan. Malangnya,
inilah yang kemudian di kritik oleh banyak pihak karena dianggap sumber masalah
utama pasca insiden yang membuat pendidikan pamong praja terpuruk sejak tahun
2004. Desain pendidikan kita yang semula bertipe interface berubah lebih terkosentrasi pada bidang lain. Semua
kesimpulan yang terburu-buru tadi membuat kita hampir menihilkan gugus pengasuhan,
padahal disanalah intinya. Jika aspek pengasuhan sebagai salah satu esensi
pendidikan kita tak relevan, bukankah produk angkatan pertama sampai angkatan
terakhir patut dipertanyakan kontribusinya dilapangan. Faktanya mereka menuai
banyak kesuksesan dimana-mana, menyisihkan birokrasi militer dan sipil dalam
banyak hal, hingga mewakili pemerintah pada setiap penganugerahan lurah, camat
dan kepala daerah terbaik di Istana Merdeka saban agustusan. Semua itu mesti
diakui lebih didominasi oleh sikap dan motivasi, sekalipun dua esensi lain tak
kalah melengkapinya. Kalaupun terjadi gagal produk tak lebih dari nol koma
sekian persen. Dalam istilah kualitatif tak mungkin digeneralisasi, atau dalam
bahasa kuantitatif terdapat margin error
hingga level terendah. Lewat kenyataan itu semestinya gugatan diarahkan pada
polanya, atau mekanisme pengasuhan itu sendiri, bukan pada esensinya yang
kemudian menimbulkan keraguan kita pada kontribusi behaviour dalam realitas birokrasi pemerintahan. Kini pengasuhan
seakan terpojok diantara faktor lain, padahal di ranah praktis kita jamak
mendengar pidato pemerintah daerah bahwa mereka lebih apresiatif jika
memperoleh birokrat yang memiliki dedikasi, loyalitas dan kedisiplinan yang
tinggi dibanding birokrat yang sekalipun pandai namun malas, serta tak jelas
dedikasi dan loyalitasnya. Pernyataan user
di daerah paling tidak menggambarkan harapan dan kebutuhan terhadap pamong
praja yang memiliki persyaratan behaviour
dimaksud. Kalau itu kita sepakati maka kesuksesan pamong praja semestinya ditopang
oleh behaviour yang mencukupi lewat
jalur pengasuhan sebagaimana harapan dan kebutuhan user. Kita membutuhkan kemampuan brain bagi pamong praja untuk menyempurnakan sikap dan perilaku
agar padu dengan akal pikiran. Tak boleh menelan mentah-mentah semua perintah
atasan sekalipun bertentangan menurut akal sehat. Dengan begitu perilaku pamong
praja menjadi indah, santun dan nampak berbudi luhur, sebab perilakunya
dibingkai oleh pikiran yang sehat. Kemampuan berpikir yang dimotori bidang
pengajaran diarahkan pada kemampuan pamong praja untuk memecahkan
masalah-masalah pemerintahan secara detil dan taktis. Untuk memahami secara
detil ia membutuhkan pengetahuan dan ilmu sebagai dasar mengamati interaksi
individu dan masyarakat dalam hubungannya dengan pemerintah. Dalam istilah luas
ahli pendidikan Jhon Dewey mendefenisikan kegunaan pendidikan pada diri dan
lingkungannya. Bagi kita, pengamatan empirik di level pemerintah terendah
diperlukan sebagai dasar pelajaran berharga bagi pamong praja sehingga mampu
memahami dan memecahkan problem hingga ke tingkat yang lebih tinggi. Inilah
praktikal penelitian induksi yang akan dipertemukan kelak lewat pendekatan
deduksi di level strata satu, magister dan program doktoral profesi. Demikianlah
mengapa kebijakan pemerintah dimasa lalu mewajibkan setiap praja memulai debut
pertamanya di pelosok desa terpencil, bukan di kota, apalagi di Ibukota Negara
Republik Indonesia. Semua itu dimaksudkan untuk menanamkan filsafat dasar pada
akar-akar pemerintahan lewat observasi empirik. Harus diakui bahwa secara
historis salah satu keberhasilan kolonial Belanda membentuk karakter pamong
praja adalah kemampuan mereka dibidang antropologi dan sosiologi pemerintahan
yang diperoleh lewat interaksi langsung dengan masyarakat di desa, bukan di sekretariat
jenderal kementrian dalam negeri. Secara taktis pemecahan masalah membutuhkan mind yang dalam dunia kita di pupuk
lewat bidang pelatihan. Kemampuan berpikir dan keterampilan yang dimiliki
adalah integrasi yang memungkinkan setiap pamong praja tak hanya mampu
memetakan, namun mampu mendemonstrasikan semua hasil amatan di depan publik. Praktisnya,
sebagai kader pemerintah ia tak hanya mampu menggambarkan roda kemudi kapal,
namun mampu mengoperasionalisasikan bagi kepentingan masyarakat. Jika ia imam
tak sekedar mengetahui warganya mangkat, namun dalam situasi tertentu ia mampu
bertindak atas nama fardhu kifayah untuk memandikan, mengafankan, menyembahyangkan
serta mengantarkannya hingga ke liang lahat. Inilah ouput nyata dari brain
dan mind. Jika ketiganya dipertemukan dalam satu
pribadi tentulah menjadi modal yang langka bagi pemerintah. Kehilangan brain dapat menciptakan pemerintah
pandir. Ketiadaan mind menghasilkan
pemerintah yang sekedar pandai beretorika. Kekosongan behaviour membuat pemerintah kehilangan moral dan etika di depan
publik. Fenomena dimana sejumlah
koruptor adalah kaum terdidik bahkan guru besar, agamawan, berjilbab, pandai,
ahli, pakar, berizajah tinggi, dan pernah haji berkali-kali menunjukkan bahwa brain dan mind tak berguna jika tanpa behaviour.
Secara eksklusif pamong praja muda yang
memiliki kelebihan pada tiga esensi dasar tadi kita kembangkan pada tahap
selanjutnya menjadi bagian dari civitas akademika, apakah dosen, pelatih maupun
pengasuh untuk menggantikan saya dan kita semua yang kelak beruban sekaligus
keriput. Regenerasi dibutuhkan untuk menjamin masa depan pendidikan pamong
praja, bukan dengan maksud lain. Mereka yang ogah mundur dan masih bercokol
dengan fasilitas dinas sama saja sedang membunuh secara sistemik masa depan
lembaga pendidikan. Kepada mereka yang masuk sepuluh besar plus astha brata kita beri perhatian serius
dan kesempatan hingga ke puncak yang lebih tinggi, agar tak bernasib sama
dengan seniornya, asta-gafirullahul adzim.
Pada strata berikutnya kita beri pilihan minor sebagaimana pernah dipraktekkan
di IIP sepuluh tahun lalu, yaitu pengenalan bahasa Arab, Jepang dan China
disamping bahasa Inggris yang wajib diperoleh pada perkuliahan khusus. Ini
konsekuensi logis atas indeks prestasi kumulatif mereka, bukan semata-mata
karena kebetulan pandai berbahasa asing, atau karena belas kasihan sebagaimana
kebiasaan kita memberi jabatan guru besar pada mereka yang terlanjur uzur dan mendekati
pensiun. Dengan semua itu kita akan menatap masa depan yang lebih baik, dimana
lembaga pendidikan dan pamong praja muda kita adalah bagian dari harapan dan
upaya pemerintah menjawab berbagai persoalan di negeri ini lewat seperangkat kebijakan
reformasi.
Inilah renungan, harapan, sekaligus doa
kita di penghujung wisuda dan pengukuhan yang penuh suka cita dalam kesabaran
mendengar pidato presiden yang akan mengembalikan harga diri kita selama ini,
tabuhan drum band gita abdi praja yang menghentakkan dada,
langkah praja yang membanggakan, keriuhan lemparan topi, kilauan foto disana
sini, serta hymne dan nyanyian dari
sabang sampai merauke yang mengukuhkan kerinduan kita dalam wadah ke-Indonesiaan.
Akhirnya, secara teknis saya berharap agar praja tak ada yang mengantuk dalam
prosesi kali ini, agar tak mendapat teguran keras dari presiden atau wakil presiden sebagaimana
anggota legislatif, kepala daerah dan anak sekolah beberapa waktu lalu. Sekalipun
teguran tak akan melunturkan ketiga esensi diatas namun sekurangnya mengurangi
kehormatan, sekaligus menjewer semua civitas yang berhubungan dengan brain, mind dan behaviour di kampus yang kita cintai. Selamat wisuda dan pengukuhan untuk Angkatan 19 Institut Pemerintahan
Dalam Negeri.
terima kasih kak...
BalasHapusBhineka Nara Eka Bhakti...PRAJA XIX