Optimisme di Tengah Pesimisme
Oleh. Dr. Muhadam Labolo
Sebagai bangsa
yang dianugrahi aneka suku bangsa dan kekayaan berlimpah, sepatutnya dalam diri
kita lahir perasaan optimisme. Lewat
heterogenitas tumbuh nilai competitivness
yang mendorong produktivitas berbangsa dan bernegara. Dengan kekayaan berlimpah
setidaknya kemakmuran yang dicita-citakan dalam konstitusi ’45 segera terwujud.
Secara tekstual, optimisme tersebut tergambar kuat dalam angka pertumbuhan
ekonomi yang menggembirakan hingga 6,4 persen di kuartal kedua meninggalkan
India yang hanya tumbuh sekitar 5,3 persen. Peranan Indonesia dalam aspek
politik, ekonomi dan sosial budaya menjadi indikasi atas dominasi kontrol
minimal dilingkup Asia Tenggara. Evaluasi Goldman Sachs Asset Management (Sept
2012), perusahaan yang mengelola dana investasi global memperkenalkan akronim
baru MIST (Meksiko, Indonesia, South Korea dan Turki). Meksiko tumbuh 4,6
persen lewat rekor penjualan mobil terbesar di kawasan Amerika Latin mengalahkan
Brazil. Korea Selatan yang hanya berselang sehari merdeka dari kita kini
menimbulkan pengaruh semacam demam korea dimana-mana. Mulai dari keinginan ikut
seminar disana, mengunjungi salah satu keajaiban Pulau Jeju, merasakan lezatnya Jjempong
dan Kimchi, menikmati goyangan lima
dara jelita Yeeun, Sunye, Sohee, Sunmi dan Yubin dalam Wonder Girls-Nobody, hingga betah berjam-jam meninggalkan pekerjaan
sebab tak ingin ketinggalan drama korea terlaris seperti Endless Love, I’m Sorry I love You, Memories in Bali, Friends, Winter
Sonata, hingga Jewel in The Palace
yang saya sendiri penasaran menyimpan CD nya. Baik food, fashion hingga film menurut
saya menimbulkan inspiring tentang kehidupan
sosial dan ketuhanan seperti tata krama, etika, kepemimpinan, keluarga,
harmonisasi, heroisme, nalar, lingkungan, hingga pengetahuan tentang banyak
aspek. Ini jelas berbeda jika saya disuguhi tarian erotis sekelas Trio Macan atau menonton film Hantu Casablanca, Hantu Ambulance, Hantu
Jeruk Purut atau Tali Pocong Perawan
yang melahirkan perasaan pesimisme, syahwat-sangka, dan rasa takut dimana-mana.
Turki, tentu tak perlu diperdebatkan lagi, negara yang menjadi batas icon antara timur dan barat ini selalu
menjadi target pelancong dari manca negara. Kawan saya Hifzi dan Omar bahkan
pernah menawarkan saya mengajar di sekolah Turki yang mulai menjamur di Jakarta
dan Jawa Barat.
Sayangnya,
beberapa indikasi tekstual di negeri ini tak sebangun dengan realitas konteks
di tingkat akar rumput. Di level itu yang muncul adalah perasaan pesimisme
berkepanjangan akibat krisis bahan bakar minyak, listrik, beras, kedelai,
kentang, buah hingga garam. Semua kebutuhan dasar tadi sepertinya menunjukkan
bahwa konsumsi domestik kita terhadap barang import sangat tinggi. Artinya,
pemerintah gagal memproduk apa yang menjadi kebutuhan dasar hingga menciptakan
ketergantungan pada negara lain. Inilah yang dikuatirkan Soekarno sejak
merintis kemerdekaan Indonesia tahun 1945, hilangnya kemandirian di bidang
ekonomi selain politik dan budaya. Terhadap meningkatnya konsumsi domestik dan
investasi asing tentu saja menggembirakan dari perspektif ekonomi. Namun
pertanyaannya adalah dimanakah keuntungan atas melonjaknya investasi dimaksud?
Apakah akumulasi modal telah memberi manfaat yang sebesar-besarnya bagi
kepentingan rakyat? Faktanya Papua tak serta merta menjadi makmur sekalipun
bagi hasil Freeport sudah jauh lebih banyak. Kalimantan Timur tak dengan
sendirinya menjadi terang benderang sekalipun setiap hari batu-baranya di keruk
berton-ton oleh perusahaan asing. Yang menjadi soal adalah mengapa angka
pertumbuhan ideal di atas tak merefleksikan tingkat kesejahteraan ekonomi di
level bawah? Ini persis sinisme Jokowi pada Fauzi dalam debat kandidat gubernur
putaran pertama, mengapa upaya Fauzi selama lima tahun yang padat program tak
mampu menggenjot perolehan suara hingga 91 persen? Barangkali kita boleh menduga, bahwa semua
kebijakan dan gambaran makro di atas tak menyentuh kepentingan paling dasar
dari apa yang menjadi persoalan dan kebutuhan masyarakat di tingkat bawah.
Patut dicurigai jangan-jangan benar Jaka Sembung selama ini lupa bawa golok,
benar-benar nggak nyambung goblok. Pesimisme lain adalah peranan kita yang
begitu menggebu-gebu menyelesaikan berbagai konflik di wilayah asia tenggara
hingga dunia international. Di satu pihak kita tentu saja tak meragukan
kemampuan Indonesia dalam penyelesaian konflik Palestina, Thailand-Kamboja,
Myanmar hingga ketegangan di Laut China Selatan, namun di pihak lain masalah
internal semisal terorisme dan isu sara yang menampilkan konflik komunal saban
hari rasanya berbanding terbalik dengan apa yang telah dipuja-pujikan sejauh
ini. Korea Selatan memang tak banyak berperan di dunia international
sebagaimana Indonesia, namun mengirim satu orang sekelas Ban Ki Moon sebagai
Sekjend PBB telah merpresentasikan kontribusi Korea pada hampir semua persoalan
di dunia international. Kapankah kita mampu mengirim Jusuf Kalla menjadi
sekjend PBB sebagaimana kita pernah menempatkan Adam Malik sebagai orang kedua
Asia yang pernah menjadi Ketua Sidang Majelis Umum PBB ke 26 di New York? Paling
tidak dengan menjadi Ketua APEC tahun 2013 menggantikan Rusia yang sebelumnya
berturut-turut dipimpin China dan Amerika Serikat kita cukup diperhitungkan.
Lalu
bagaimanakah membangun optimisme bagi kemajuan bangsa di masa mendatang?
Prediksi Zaenal Budiyono (Rep:15 Sept 2012) tampaknya menjadi momentum bagi
kita untuk menyadari tentang datangnya siklus tujuh abad. Pada abad ke 7, kita adalah peletak protoglobalisasi dalam kawasan regional
Asean lewat kekuasaan Sriwijaya yang melingkupi Kamboja, Thailand, Semenanjung
Malaya, Sumatera, Jawa, Kalimantan hingga Sulawesi. Tujuh abad kemudian (abad
14), Majapahit tumbuh sebagai era kedua yang meliputi Malaya, Kalimantan, Sumatera,
Bali hingga Philipina. Kini, kita berada di abad ke 21, artinya siklus tujuh
tahunan tersebut berada di depan mata. Jika evaluasi Goldman menjadi titik
pijak dalam membangun optimisme, maka momentum Sail Morotai 2012 dapat pula
menjadi tonggak bagi upaya mengukuhkan era Pasifik meninggalkan era Mediterani
dan Atlantik. Sebaliknya, jika evaluasi Failed
State Index di Washington DC dua bulan lalu yang menempatkan kita sebagai
salah satu negara menuju kegagalan, tentu saja yang muncul hanyalah perasaan pesimisme
akut, dimana raport kita dipenuhi angka merah. Apabila globalisasi secara luas lahir disebabkan revoluasi industri di masa
lalu, maka globalisasi kini lahir disebabkan revolusi komunikasi yang
memungkinkan setiap negara sulit dibatasi menjadi bagian dari aktivitas
kehidupan kita. Korea, seperti saya
gambarkan di atas hadir dalam dunia sehari-hari, menguasai alam pikiran, lidah,
mata, perasaan hingga style
disebabkan revolusi komunikasi yang membawa mereka hingga ke ruang tidur kita.
Inilah salah satu upaya yang perlu kita tumbuh-kembangkan jika ingin merebut
kembali kejayaan sebagaimana riwayat Sriwijaya dan Majapahit. Strategi
menumbuhkan budaya dan menjualnya lewat penguasaan komunikasi yang canggih
secara langsung maupun tidak merupakan invasi yang paling beradab dibanding
menggunakan strategi militer super canggih sekalipun. Simpelnya, untuk
mengacaukan kawasan Timur Tengah tak perlu mengirimkan tentara, cukup membuat
film Innoncence of Muslims berdurasi
kurang dari setengah jam sudah bisa membuat konflik dimana-mana. Dalam konteks
politik bahasa sebagai bagian dari budaya itu sendiri, Amerika pernah
menciptakan istilah terorisme yang
kemudian berimplikasi kemana-mana, mulai dari invasi ke berbagai penjuru negara
Muslim hingga dibentuknya Densus 88 di Indonesia. Bahkan, kalau saja Korea
ingin menguasai Indonesia, secara politik budaya sebenarnya sudah selesai.
Dalam relasi politik, inilah petunjuk Huntington lewat The Clash of Civilization menuju taksiran Francis Fukuyama dalam The End of History and The Last Man. Kini
pilihan kita hanya ada dua, menambah tank leopard setiap tahun tanpa perang dan
cadangan alutsista, atau melakukan revoluasi komunikasi dengan mengembangkan
kebudayaan yang santun untuk menginvasi minimal di kawasan regional sebagaimana
negeri Park Ji Sung lakukan. (Jakarta,
16 Setember 2012)
Komentar
Posting Komentar