Integritas Pribadi, Amanat Pak Boediono


Oleh. Dr. Muhadam Labolo
          Sambil mempersiapkan bahan kuliah semester ini saya merasa dibebani oleh sejumlah catatan Pak Boediono, Wakil Presiden Republik Indonesia. Beban lain yang paling berat dan mengharukan di minggu ini adalah melanjutkan tumpukan naskah ilmu pemerintahan yang beberapa saat lalu di tinggal pergi oleh desainernya, Prof. Taliziduhu Ndraha, salah seorang guru besar paling berpengaruh sejak IIP di bentuk tahun 1972 hingga menyatu menjadi IPDN saat ini. Dua orang tadi dan semua catatan yang ditinggalkan tentu saja menjadi pelajaran berharga dalam mempercakapkan topik kita saat ini. Namun saya akan membahas khusus guru kita pada sesi berikutnya, kesempatan ini saya akan fokus pada amanah orang pertama agar kita tak terlalu jauh kehilangan spirit. Satu kata kunci dalam amanat prosesi pengukuhan pamong praja muda tanggal 6 September 2012 pukul 10.00-11.00 WIB adalah integritas pribadi. Mudah-mudahan saja nama dan sikap beliau setidaknya mencerminkan tipe ideal tentang bagaimana integritas pribadi yang senyatanya. Maklum beliau juga seorang mantan akademisi, guru besar yang terlalu kalem dan santun. Pidato berdurasi 20 menit tersebut secara umum menurut saya menjadi spirit bagi upaya memperkuat lembaga pendidikan kedinasan yang mengkhususkan diri pada penumbuhan profesi pamong praja. Dari sudut style orasi linguistik, pidato tersebut tak terlalu menarik dibanding pidato Mendagri Gamawan Fauzi dalam sesi wisuda sehari sebelumnya. Sekalipun saya tak sempat hadir dikarenakan mengajar DPRD Jayawijaya di Hotel Nalendra Bandung, namun beberapa orang tua praja sangat mengapresiasi pesan Mendagri yang terkesan sarat makna lagi padat nilai. Itu dapat dilihat dari kesaksian mereka ketika mengaktifkan kembali rekaman pada handphone masing-masing. Kini saya hanya akan memaknai pidato Pak Boediono yang tidak saja ditujukan bagi purna praja, termasuk saya dan kita semua. Dalam pengetahuan saya, integritas pribadi merujuk pada konsistensi terhadap kebijakan dan kode etik dimana individu tersebut melaksanakan tugas. Integritas pribadi dapat mengalir dalam sikap disiplin, konsistensi, komitmen, akuntabel, kejujuran, penghargaan dan kepercayaan pada nilai-nilai yang diyakini. Sebagai contoh, bagi segenap pamong praja muda, bergerak dalam ruang birokrasi tentu saja membutuhkan konsistensi dalam menjalankan semua kebijakan disertai etika pemerintahan yang pernah diajarkan. Malangnya, konsistensi tersebut seringkali tergoda di tengah jalan oleh bujuk rayu politik praktis. Akhirnya berlakulah semboyan yang membingungkan birokrat, yaitu konsisten dalam inkonsistensi. Gelagatnya, mereka yang konsisten pada semua yang berbau konsisten hanya akan berada di luar area birokrasi, sebaliknya mereka yang paling inkonsisten relatif nyaman di lingkungan birokrasi. Masalahnya tinggal bagaimana menerjemahkan makna konsistensi dan inkonsistensi dalam ruang birokrasi yang tentu saja berselisih pandang dengan pemahaman kita dalam ruang akademik. Dalam contoh sinisme terhadap orde baru, dua di tambah dua sama dengan empat, tetapi dua di tambah dua bagi Soeharto terserah beliau. Inilah tantangan serius pamong praja muda yang kemudian merembes kemana-mana, termasuk pelanggaran etika ketika berhadapan dengan birokrasi dan politik lokal dewasa ini. Jika pada tahap pertama terjadi pelanggaran etika, maka pada tahap selanjutnya seseorang berkecenderungan melanggar hukum. Bukankah hukum bersumber dari etika. Ini ukuran pertama bagi keberhasilan pamong praja muda, dimana semakin tinggi jabatan yang diembannya semakin tinggi pula resiko akibat mengkompromikan perintah atasan sebagai “kebijakan” dengan etika yang setiap hari mengalami penyusutan akibat interaksi dengan lingkungan yang tak begitu sehat. Merawat etika dalam pribadi memang bukan perkara mudah, tahun-tahun pertama penugasan dimanapun kita ditempatkan selalu penuh dengan konflik batin. Semua yang tak lurus sebagaimana aturan kita pandang sebagai pengingkaran, alias kejahatan sistemik yang mesti ditumbangkan. Demikian pesan moral para pengasuh saat apel beratus-ratus kali di pagi, siang dan malam hari selama empat tahun melatih integritas pribadi. Namun semakin cepat birokrat beradaptasi dengan lingkungan semakin cepat pula perasaan-perasaan yang selama ini tak sejiwa perlahan-lahan dapat menerima berbagai kebijakan sebagai bagian tak bermasalah. Bahkan kalau tak ada masalah rasanya justru aneh. Inilah persenyawaan dan hasil konyugasi evolutif yang tak terhindarkan dalam lingkungan birokrasi khususnya. Persatuan yang kita pupuk selama ini berubah menjadi karakter kolutif untuk maksud tertentu. Kekeluargaan yang menjadi jiwa korsa sejauh ini mengalami distorsi membentuk pola nepotisme. Sementara bagi-bagi jatah dengan berbagai alasan, pemotongan anggaran di sana-sini, pertukaran dan perubahan anggaran dengan asumsi ketidakpastian perlahan tapi pasti menciptakan gejala korupsi berjamaah. Semua gejala di atas pada waktunya menghadapkan integritas pribadi pada konflik kepentingan. Disini integritas pribadi dipertaruhkan pada dualitas kepentingan utama, yaitu mempertahankan kekuasaan incumbent atau konsisten pada politik negara dan kepentingan umum. Saya sependapat dua ratus persen jika pamong praja muda sebagaimana diingatkan oleh Pak Boediono agar  teguh menjalankan politik birokrasi, yaitu politik yang berorientasi pada kepentingan negara dan kepentingan umum. Negara dalam konsep ideal tak lain di bentuk kecuali untuk menjalankan kepentingan rakyat, sebab itu dengan melayani kepentingan negara sama artinya dengan melayani kepentingan rakyat (Hobbes:1558-1679 & Locke:1632-1704). Demikian pula, kepentingan umum pada hakekatnya mencerminkan kepentingan rakyat mayoritas, sebab itu melayani kepentingan umum sama halnya dengan melayani kepentingan orang banyak, termasuk kepentingan pribadi sekalipun (J.J. Rousseau:1712-1762). Faktanya, di tengah benturan dualitas kepentingan tersebut kita dapat menebak mana kepentingan yang akan dipilih oleh mayoritas birokrat pada umumnya. Pada derajat berikutnya integritas pribadi berhadapan dengan ujian apakah bersikap risk taker atau risk avoider? Bagi sebagian orang, lari dari tanggung jawab dianggap pengecut, khianat, bahkan dinilai berjiwa kerdil, sekalipun belum tentu berarti demikian. Seseorang terkadang mesti mundur dari jabatan sebagaimana dipraktekan pemimpin di Jepang, China, Korea dan Jerman justru merupakan bentuk dari sikap bertanggungjawab karena tak suka berkolaborasi dengan semua bentuk penyimpangan atas amanah rakyat. Dalam konteks Indonesia, integritas pribadi dalam ranah ini seringkali menjadi barang murah yang dipertaruhkan hanya karena ingin membela pimpinan dengan berani pasang badan guna mempertanggungjawabkan apa yang sesungguhnya tak pernah dilakukannya. Keberanian mengambil resiko dalam banyak kasus tak memiliki landasan dan tujuan yang jelas, kecuali kepentingan pragmatis semata. Tampak bahwa loyalitas, dedikasi, disiplin, dan kerjasama yang merupakan bagian dari integritas pribadi seringkali dipraktekan pada ruang dan waktu yang salah. Loyalitas menjadi ganda dan menyempit sekaligus mendistorsi profesionalisme yang selama ini di tempa habis-habisan di kaki bukit Manglayang. Komitmen pada organisasi jamak di pelintir menjadi komitmen pada orang perorang. Dampak yang dapat dilihat adalah kepedulian pada diri dan kelompoknya, bukan orang lain atau sesamanya. Indikasi dari kepedulian diri dan kelompok menyuburkan korupsi sebagai akibat penyalahgunaan wewenang (abuse of power). Inilah titik masalah bangsa kita yang kini menjadi sorotan dimana-mana. Bagi pamong praja muda yang lugu, bahkan masih lucu-lucunya memasuki kancah birokrasi dapat dengan mudah dipengaruhi, serta tanpa sadar beradaptasi terhadap semua gejala di atas. Maka tidaklah mengherankan jika integritas pribadi seorang pamong praja muda seringkali mengalami penyusutan hingga dua puluh empat karat dalam waktu singkat. Di lain sisi, mereka yang berangsur-angsur mampu mempertahankan sekaligus merawat integritas pribadi berpeluang memperoleh tanggungjawab yang lebih besar, yaitu menjadi pemimpin dalam pemerintahan.  Dalam lapangan profesi inilah pamong praja muda semestinya menyadari sebagai lahan subur untuk tidak saja mengabdikan diri bagi kepentingan bangsa dan negara, tetapi amal ibadah yang teramat mulia bagi Tuhan Yang Maha Kuasa. Mengapa? Sebab lewat kekuasaan memerintah kita dapat memerangi segala bentuk kemiskinan, kebodohan dan ketertinggalan. Inilah kemuliaan yang menjadi investasi dunia dan akherat bagi pamong praja muda. Namun harus disadari pula bahwa pada saat yang sama ia dapat berubah menjadi semacam kutukan jika niat dan cara memerintah melahirkan malapetaka bagi rakyat, bangsa dan negaranya. Diantara peluang kemuliaan dan malapetaka tadi, integritas pribadi membutuhkan kekuatan untuk bersikap tegas. Dalam konteks ini ketegasan dalam menyatakan no cooperation dengan semua hal yang setara dalam hal pelanggaran kebijakan dan etika. Masalahnya, mereka yang mencoba mempertahankan integritas pribadi seringkali di anggap orang asing.  Inilah dampak dari proses asimilasi budaya sehingga menyamarkan yang haq dan yang bathil.  Percaya saja, hanya mereka yang kuat yang akan menjadi pemimpin sejati, seperti semboyan di ruang makan IPDN Makassar, hanya pelaut yang berani menghadang gelombang yang pantas menjadi pemimpin. Khusus buat kita sebagai bagian dari civitas akademika pesan beliau pertama, lewat kesadaran atas peran strategis diatas, maka sepatutnya kita membenahi diri dengan menyiapkan kurikulum yang dinamis dan akseleratif untuk menjawab tantangan bangsa. Kedua, diperlukan kualitas bagi segenap pengawal brain, mind dan behaviour pamong praja muda, bukan sekedar melegalisasi diri lewat sertifikasi. Jangan-jangan tujuan sertifikasi secara umum tak lain hanya untuk mengontrol agar para pendidik duduk manis menerima tunjangan tanpa kritik konstruktif, sebagaimana keinginan beberapa orang yang berniat melakukan sertifikasi buat para alim ulama guna mencegah radikalisasi agama. Kualitas yang tinggi mencakup metode yang efektif. Metode yang efektif sebagaimana pernah saya katakan dalam rubrik lalu menyangkut keteladanan, bukan sekedar pemaparan materi. Ketiga, terhadap semua rekomendasi yang selama ini menjadi road map pasca recovery kiranya perlu ditindaklanjuti dengan serius. Tekanan beliau khususnya pada aspek pengembangan sumber daya manusia, tata kelola dan struktur kelembagaan. Semua itu menurut saya sudah tertuang dalam paket reformasi birokrasi dilingkungan IPDN. Dalam aspek teknikal pendidikan diperlukan standarisasi yang memadai seperti kelaikan perpustakaan, kecukupan buku, bahkan gizi praja itu sendiri. Bagaimana mungkin asupan gizi praja yang akan mengatur orang lahir sampai orang mati lebih rendah dibanding kadar gizi narapidana di penjara Sukamiskin? Setidaknya upaya tersebut untuk menghindari kesenjangan antar IPDN regional satu dengan yang lain. Bagian terakhir yang menurut saya penting untuk garisbawahi adalah perlunya menghindari budaya kekerasan hingga ke tingkat paling rendah, disamping perlunya membangun hubungan sosial sebagai konsekuensi atas social responsibility. Inilah pesan sekaligus harapan bagi purna praja, saya dan tentu saja kita semua.





Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengenang Sartono, M. Jaffar dan Indrarto

Seri: Kajian Filsafat Ilmu Pemerintahan

Pamongpraja, Tinjauan Filosofis, Etimologis, Historis, Relevansi dan Gagasan Kekinian