Catatan Akhir Tahun, Quo Vadis IPDN?


Oleh. Dr. Muhadam Labolo

          Menurut Vlekke (1945:146), antara 1677-1777, VOC memperluas kekuasaan politik dan ekonominya atas dua pertiga Pulau Jawa. Namun sejak kedatangannya pada 1602 hingga menjelang kebangkrutannya pada 1798, VOC menyadari pentingnya melanggengkan kekuasaan melalui pemerintahan tak langsung dibanding menyelenggarakan pemerintahan langsung yang dirasakan telah menguras sebagian besar energi. VOC kemudian menggunakan sistem pemerintahan tak langsung yang dinilai tak memerlukan biaya besar tetapi cukup mengamankan kekuasaan politik yang diperlukan guna mencapai tujuan ekonominya (Kahin, 2013:4). Menurut Kahin, inti dari sistem tersebut adalah pendayagunaan struktur kekuasaan pribumi untuk kepentingan VOC sendiri. Simpelnya, VOC berkeinginan mempertahankan sekaligus memperkuat kedudukan maupun kekuasaan kaum ninggrat Jawa yang bersedia diatur. Untuk maksud tersebut, tidak ada cara lain kecuali memperbesar kekuasaan kaum ninggrat Jawa lewat sokongan militer Belanda guna mengatur jalannya eksploitasi ekonomi sebagaimana diinginkan. Skema ini jelas telah menggeser pusat gravitasi kekuasaan secara tak langsung, dimana kekuasaan secara de jure termasuk de facto berada di tangan kaum ninggrat Jawa. Sampai disini terlihat kemudian bagaimana struktur kekuasaan Jawa mengalami penyimpangan sekaligus mendorong terbentuknya pemerintahan lokal dengan karakter lalim. Dalam proses semacam itu, beban VOC terasa ringan selain perolehan keuntungan yang mencukupi tanpa harus melibatkan diri secara teknis kecuali diperlukan dalam menghisap sumber daya hingga di level desa. Pada akhirnya birokrasi pribumi yang sengaja dibentuk terjebak dalam sistem kerja paksa, upeti, feodalistik dan monopolistik. Kerja paksa dilakukan untuk memenuhi target yang ditentukan, upeti dipertahankan secara hirarkhis untuk memperoleh keuntungan seraya merawat loyalitas, feodalisme memperoleh tempat strategis akibat dukungan penuh militer Belanda, sedangkan monopolistik dikembangkan guna melokalisir kompetitor lain dalam persaingan menyerap sumber daya. Harus diakui bahwa pada masa itu kaum ninggrat pribumi telah dijadikan instrument oleh VOC untuk mencapai tujuan terpenting baik politik maupun ekonomi.

          Antara 1920-1942, sebagaimana catatan Van der Walls dkk dalam buku Kenang-Kenangan Pangreh Praja, upaya memperkuat kekuasaan Belanda di Indonesia melalui kaum elite pribumi semakin menemukan basisnya lewat pendirian sekolah Ambtenar OSVIA yang menjadi cikal-bakal pendidikan Pamongpraja dikemudian hari (baca;IPDN). Pembentukan sekolah tersebut tidak saja diperuntukkan bagi kepentingan Pemerintah Belanda untuk menempatkan para pejabat pemerintah sebagai pengawas (controlir) di sepanjang wilayah jajahan, namun disediakan pula untuk mendidik sebagian elit pribumi terpilih sebagai manifestasi dari politik etis sekaligus mengukuhkan kekuasaan politik dan ekonomi di Indonesia. Dalam implementasinya, sekalipun secara sosiologis keberadaan Pangrehpraja relatif dapat diterima oleh masyarakat Indonesia, namun birokrasi di derajat elit pribumi tetap saja terpasung dalam kultur yang sama, yaitu kerja paksa, upeti, feodalistik dan monopolistik. Hal ini dapat dilihat dari gerak Pangrehpraja pribumi yang menjadi ‘pelayan’ bagi kepentingan politik dan ekonomi Pemerintah Hindia Belanda. Hingga menjelang kemerdekaan Indonesia, praktis dapat dikatakan bahwa eksistensi Pangrehpraja hasil didikan Belanda sekalipun mengalami pergeseran kearah kesadaran untuk melayani rakyatnya sendiri lewat berbagai gerakan pembebasan (organisasi sosial kemasyarakatan dan agama), namun kultur yang sama tidak dengan sendirinya hilang begitu saja.  

Pasca kemerdekaan 1945-1950, basis pendidikan pemerintahan mengalami pertumbuhan di level menengah dengan didirikannya Middelbare Bestuurschool (MBS), Sekolah Menengah Tinggi Pangreh Praja dan Sekolah Menengah Pegawai Pemerintahan/Administrasi Bagian Atas (SMPAA) di Jakarta dan Makassar. Eksistensi pendidikan semacam itu dibutuhkan lantaran pemerintah dengan sengaja membutuhkan sosok Ambtenar yang tidak saja diharapkan mampu melayani gerak pemerintahan secara teknis administrative, namun dapat pula menjadi instrument kekuatan politik di tingkat terendah. Didorong oleh pemikiran tersebut serta spirit periculum in mora (suatu kondisi yang tak dapat ditunda), lahirlah KDC di Medan dan Jakarta pada 1952-1954. Sejak tahun 1956 dibentuklah Akademi Pemerintahan Dalam Negeri (APDN) di 22 daerah dengan misi yang sama. Guna memperkuat kepentingan pemerintah pusat di daerah maka dibentuk pula Institut Ilmu Pemerintahan (IIP) pada tahun 1967 dengan titik berat keilmuan sebagai kekuatan sekaligus pembeda utamanya. Dalam pertumbuhan dan perkembangan tersebut tampak bahwa makna Pangrehpraja mengalami pergeseran kearah yang lebih menekankan pentingnya meletakkan posisinya sebagai pengayom masyarakat (Pamongpraja), dan bukan sebaliknya (Ndraha, 2001). Hingga terbentuknya STPDN pada 1990, makna Pamongpraja sekalipun secara harfiah mengalami pergeseran, namun harus diakui bahwa eksistensi Pamongpraja tetap saja dibentuk untuk kepentingan pemerintah pusat dalam menjalankan urusan pemerintahan umum (algemene bestuur). Melalui UU 5/1974, urusan pemerintahan umum tadi bergerak dari pemerintah pusat, provinsi, kabupaten/kota hingga level terendah kecamatan. Pada konteks pemerintahan, wujud dari saluran urusan pemerintahan umum dikemas lewat asas dekonsentrasi. Sebagai penguasa wilayah, Pamongpraja praktis memiliki kewenangan penuh dalam menjalankan fungsi pemerintahan, pembangunan dan pembinaan masyarakat pada kerangka sistem pemerintahan yang bersifat sentralistik. Pada masa itu pola rekrutmen tetap saja melibatkan banyak elite pribumi diberbagai daerah untuk sekali lagi bermaksud menguatkan kepemimpinan Pamongpraja baik secara de jure maupun de facto dalam kerangka kepentingan pemerintah pusat di daerah (Labolo, 2012). Dalam konteks itu performa Pamongpraja tampak terikat ketat oleh kepentingan pemerintah secara hirarkhis, pola upeti walau tak kasat mata tetap dipertahankan secara berjenjang atau lewat kroni yang ditugaskan ke daerah. Sementara karakter feodalistik dan monopolistik di pusat dan daerah tetap terpelihara sekalipun bergerak internal dalam tubuh elite pribumi. Kenyataan ini menunjukkan bahwa terjadi pengalihan pola penggunaan instrument kaum elite pribumi (Pamongpraja) yang dididik bagi kepentingan Pemerintah Belanda ke bandul Pemerintah Indonesia, sekaligus secara politik menjadi simbol kekuasaan rezim berkuasa di tingkat daerah. Terlepas dari itu, eksistensi Pamongpraja sebagai bagian dari birokrasi menjadi ideal ketika ia benar-benar diposisikan netral sebagai jembatan antara Negara dan Masyarakat (Hegel dalam Mouzelis, 1971), sekalipun sejatinya tidaklah mungkin ia dapat bersikap netral sebagaimana kritik Marx (Thoha, 1995). Dalam perspektif itu posisi Pamongpraja ada baiknya diletakkan sebagai perekat bangsa dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Pasca reformasi 1998, pendulum pemerintahan sentralistik bergerak drastis menuju desentralisasi yang ditandai dengan perluasan otonomi daerah (UU 22/99). Urusan pemerintahan umum yang selama ini menjadi alasan mendasar pemerintah untuk menggerakkan kepentingan pemerintah di daerah melalui instrument Pamongpraja mengalami penyusutan hingga level tertentu. Sebagai konsekuensi, misi Pamongpraja sebenarnya mengalami patahan bersamaan dengan terputusnya kepentingan pusat di daerah secara dekonsentratif. Satu-satunya entitas pemerintahan yang memikul beban pemerintah secara terbatas adalah provinsi, lewat asas dekonsentrasi. Dengan demikian pertanyaan penting yang mesti diketengahkan adalah dimanakah relevansi pendidikan Pamongpraja dalam peta kepentingan pusat yang terbatas ketika berhadapan dengan kebijakan desentralisasi? Jika kita konsisten dengan kepentingan pusat secara historis dan normatif, maka eksistensi Pamongpraja sejatinya hanya tepat berada di level provinsi, dan bukan di kabupaten/kota. Provinsi semestinya menjadikan setiap Pamongpraja sebagai instrument pemerintah di kabupaten/kota untuk menguatkan fungsi pemerintahan secara politik, bukan dalam penguasaan aspek ekonomi sebagaimana terjadi dimasa kolonial dan rezim orde baru. Pertanyaan selanjutnya adalah, bagaimanakah kultur Pamongpraja dewasa ini? Faktanya, sekalipun secara historis dan normatif mengalami pergeseran makna dan peran yang dimainkan, kita dapat mengkritik bahwa provinsi sebagai wakil pemerintah dan pemerintah sendiri tak begitu serius mengevaluasi fungsi-fungsi Pamongpraja sejauh ini. Akibatnya, kultur Pamongpraja di daerah tetap saja berbalut feodalistik lokal, penuh money politic (upeti), kerja paksa akibat eksploitasi dari ekses pemilukada, serta tumbuhnya monopolistik terbatas akibat pergulatan kapitalisme lokal. Tampak jelas bahwa dalam kurun waktu yang sedemikian panjang, Pamongpraja tak mengalami perubahan berarti dari sisi kultural, ia bahkan konsisten ketika berhadapan dengan sistem rotasi kepala daerah yang berkecenderungan menjebak kedalam perilaku yang sama dimasa Kolonial Belanda. Jika kultur semacam ini terus terpelihara, maka orientasi penyediaan kader Pamongpraja perlu dipersoalkan lewat pertanyaan tunggal, quo vadis IPDN sebagai satu-satunya industri pendidikan Pamongpraja di Indonesia? Eksistensi IPDN secara politik dalam bingkai otonomi daerah tampak mengandung dilemma antara mengukuhkan kepentingan pusat ataukah menjawab kebutuhan daerah. Mungkin juga kedua-duanya. Kepentingan pusat seakan raib dan terpotong hingga sulit menjangkau arogansi lokal, sementara kebutuhan daerah kian menanjak di tengah keangkuhan yang menginjak patriotisme Pamongpraja. Tentu saja dari sudut kultural ia membutuhkan seperangkat sistem yang kondusif agar ketika bersentuhan dengan kondisi dilapangan tak mengalami gap yang teramat lebar akibat dampak politik lokal yang sedemikian dahsyat. Harus diakui bahwa efektivitas kinerja Pamongraja dimasa lalu cukup diakui diluar kultur negatif yang menyertainya, disebabkan kesatuan persepsi dan tindakan dari hulu hingga hilir. Bukankah kontribusi Pamongpraja sebagai bagian dari birokrasi mencapai prestasi kumulatif ketika sukses secara tak langsung mendongkrak popularitas Soeharto menjadi Bapak Pembangunan di dunia international lewat kerja-kerja konkrit dari sistematika Repelita, Pelita dan Trilogi Pembangunan selama berkuasa 31 tahun dan 71 hari.

Terhadap dilemma semacam itu, hemat penulis kiranya perlu di desain kembali masa depan IPDN dalam 20 tahun kedepan sehingga ibarat Kapal Titanic, teramat percaya diri dengan kemegahan yang ada, namun amat disadari rentan terhadap goncangan akibat beban yang terlalu berat. Praktisnya, kedepan daerah harus bertanggungjawab pada aspek pertumbuhan Pamongpraja sesuai kebutuhan masing-masing, sementara pusat berwewenang pada skala cakupan nasional untuk mengembangkan Pamongpraja dalam visi ke-Indonesiaan. Tanggungjawab daerah berkenaan dengan kebutuhan untuk mengelola semua urusan umum pemerintahan menurut garis desentralisasi. Sedangkan wewenang pusat berkaitan dengan upaya mengelola segenap urusan pemerintahan umum lewat garis dekonsentrasi. Pembentukan kultur Pamongpraja rasa-rasanya lebih adaptif dan responsif jika diletakkan di daerah masing-masing, sementara pengembangan visi Pamongpraja lebih dekat kedalam tanggungjawab pemerintah sebagai tidak saja menyimpan visi  historis, namun filosofis, sosiologis dan yuridis. Pada akhirnya, penyerahan kewenangan bagi daerah untuk mengelola kembali pendidikan Pamongpraja sesuai kebutuhan masing-masing tampak lebih rasional dan kompatibel. Singkatnya, semua IPDN Regional diserahkan saja pengelolaannya ke pangkuan pemerintah daerah, pemerintah cukup mengembangkan program strata satu, dua dan tiga untuk menuangkan visi Ke-Indonesiaan dan misi ke-Bhinneka Tunggal Ika-an sebagai satu-satunya tugas dan kewajiban pemerintah yang diinjeksi lewat Ditjend Otonomo Daerah (Bhinneka) dan Ditjend Kesbangpol (Ika) Kementerian Dalam Negeri. Dalam kerangka inilah pemerintah dan daerah sama tegaknya pada soal tanggungjawab penciptaan Pamongpraja. Kesan realitasnya, pusat memproduk, daerah pengguna. Pusat pencipta, daerah pemetik. Pusat gagal, daerah mencibir. Pusat rugi, daerah untung. Pusat berhasil, daerah sinis. Pusat berkeringat-daerah bertepuk tangan. Pusat membiayai, daerah membebani. Pusat membatasi, daerah mengancam. Pusat intervensi, daerah ngambek. Pusat mengatur, daerah merecoki. Tidak ada cara lain mengatasi ketegangan latent semacam itu kecuali keduanya terlibat dalam pertumbuhan dan pengembangan Pamongpraja guna memenuhi tanggungjawab dan kebutuhan masing-masing. Pada level pragmatis, sejauh ini pembentukan IPDN Regional bukankah tak memberi dampak signifikan bagi IPDN pusat, kecuali menambah bengkak beban APBN setiap tahun, menguntungkan dosen diberbagai perguruan tinggi lokal, memberi tempat bagi sejumlah pegawai lokal bermasalah atau memasuki masa pensiun, selain tentu saja semakin tak efisien untuk diawasi karena terus bertambah jumlahnya di masa mendatang. Menimbang semua itu, kemungkinan nasib peleburan STPDN kedalam IIP menjadi IPDN pada tahun 2004 seharusnya cukup menjadi pelajaran terakhir untuk keluar dari berbagai tekanan, dimana pilihan kedepan hanyalah mempertahankan kondisi dengan beban yang terus menumpuk, ataukah melepas IPDN regional ke daerah sehingga kita lebih fokus dan profesional memproduk Pamongpraja berkelas nasional dan international di Jatinangor yang maha luas, dan Jakarta yang semakin sempit di sepak BNPP. Jika ini tak segera dipikirkan, mengingat sumber daya yang semakin menurun dari aspek kualitas dan kuantitasnya, IPDN hanya akan menunggu nasib yang sama dengan tenggelamnya Kapal Van Der Wijck………

 

Komentar

  1. Artikel yang kritis, think outside the box, berani, dan tentunya akan sedikit mengusik pikiran pejabat teras IPDN maupun Kemendagri.
    Analogi ilmiahnyanya pun cukup "manis" dan "renyah" untuk disimak.
    Intinya, jangan biarkan "Kapal Titanic IPDN" berakhir dengan kandas dan karam di Samudra Atlantik, perlu peninjauan kembali tentang kebijakan regionalisasi demi menghindari benturan dengan "gunung es".
    Salut untuk Pak Muhadam...

    BalasHapus
  2. Menurut saya, membangun stabilitas politik dalam negri adalah langkah yg dibutukn pemimpin kita dalam memperkuat pemerintahan. Stabilitas akan muncul jika seorg pemimpin mampu mereduksi segala perselisihan yg remeh hingga rumit. Kapal titanic tenggelam karena kelalaian pemmpin. Kapal van der wijk tenggelam karena nahkoda sibuk melawan badai dsaat sebagian besar penumpg sedg di mabuk asmara.kisah dua kapal tersebut mirip kondisi indonesia saat ini. Trus apa kaitannya dgn IPDN. Dlm lmbg IPDN ada gambar kemudi kapal yg filosofinya adalah kadernya dipersiapkan menjadi calon pemegang kemudi kapal. Namun pada kenyataannya akibat semakin sedikit legitimasi yg diberikan kepd PP dalam norma hukum, mengakibatkan tidak jelasnya kedudukan pamong praja dalam kapal besar nusantara. Kapal indo maju mundur, diam ditempat karena para pemmpinnya sibuk berselish paham masalah konsep sementara para aktor lapangan sibuk dengan pencitraan mereka masg2. Dalam lautan yg teng kita punya waktu untuk berdemokrasi. Namun. Dalam hujan badai berkepanjangan bukankah 'sentuhan magis' pemimpin yg mampu membawa kita menuju hari esok yg cerah. Sepert vasco da gama yg memimpin pasukan hax dalam kapal kayu untk mengelili dunia. PP mengabdi pada negara dan patuh terhadap pemgang kehendak umum , sepert abdi dalem yg patuh terhadap sultan. Dri dulu hingga sekrg PP didik untuk respek dan loyal terhadap atasan dan perintah. Jika hal ini disadari, maka menguatkan kedudukan PP sama halnya menguatkan kapal negara. Kok bisa? Labolo berkata dalam buku "memperkuat pemerintahan mencegah negara gagal", bahwa negara lemah karena pemimpnnya lemah, PP akan menguatkan kedudukan seorg pemimpin. Untuk itu, norma hukum yg memperjelas kedudukan pamong praja perlu dibuat, sementara itu , IPDN mmg perlu mengembangkan kemampuan akademis namum respek dan loyalitas jgn sampai terabaikan. Bhineka nara eka bhakti

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengenang Sartono, M. Jaffar dan Indrarto

Seri: Kajian Filsafat Ilmu Pemerintahan

Pamongpraja, Tinjauan Filosofis, Etimologis, Historis, Relevansi dan Gagasan Kekinian