Tantangan Pemerintahan Baru, Antara Legitimasi dan Harmonisasi
Oleh.
Dr. Muhadam Labolo
Memasuki masa subur pembuahan politik tahun
2014 kita dibahagiakan dengan sederetan kebijakan yang menjanjikan masa depan setiap
warga negara. Negara secara normatif tampak mengalami kesadaran politik atas
tanggungjawab konstitusionalnya yang terselip lama dalam alinea keempat UUD
1945. Dalam bidang kesehatan dan ketenagakerjaan negara memperlihatkan
keseriusan lewat program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Logikanya, tak ada
satupun warga miskin yang tak memiliki akses kesehatan hingga kelas tertinggi
sesuai rujukan. Bahkan semua boleh berobat dari gejala ‘Panuan’ hingga Jantung
Koroner sekalipun. Dibidang ketenagakerjaan, akses jaminan perlindungan
kesehatan bagi pekerja di sektor formal maupun informal memperoleh kasur empuk sehingga tak perlu kuatir
sakit atau bahkan mati sia-sia. Bagi pegawai negeri, kebijakan remunerasi menambah peluang bagi
pengembangan usaha ekonomi kreatif dalam bentuk cicilan kredit dimana-mana.
Pada level entitas terendah, kebijakan pemakmuran desa tampak sumringah dengan impian subsidi yang
dapat mencapai di atas 1 Milyar per-desa (APBN+APBD) yang akan disemai pada
kurang lebih 80 ribu desa pasca implementasi undang-undang Desa. Semua kebijakan
itu tampak menemukan momentum dan padu digulirkan sejak Januari 2014. Untuk
sektor pendidikan tak perlu diragukan lagi, sebab hampir semua pemerintah
daerah menjajakan pendidikan gratis pada derajat tertentu ditambah sokongan
APBN sebesar 20 persen. Ditengah usaha keras pemerintah dengan berbagai kendala
yang dihadapi, kita tak perlu malu-malu memberi apresiasi sekaligus catatan
sebagai upaya untuk memberi keseimbangan bagi pemerintahan selanjutnya.
Catatan ringan ini setidaknya dapat menjadi warning
bagi masa depan pemerintahan baru ketika berhadapan dengan dilemma antara mempertahankan legitimasi ataukah menjaga
harmonisasi sosial pasca pemilu 2014.
Dalam
perspektif politik, sejumlah kebutuhan yang mendesak terpencarnya konflik diantaranya
adalah kebutuhan untuk hidup berkembang, memiliki rasa aman, hidup layak, memperoleh
akses ekonomi dan politik, serta kebutuhan mempertahankan identitas. Dari aspek
ekonomi tentu saja sikuensi kebutuhan di atas menurut Maslow cukup berlainan
karena perbedaan lokus. Terlepas dari itu dapat dipastikan bahwa seluruh paket
kebijakan dan program di atas sebagian besar ditujukan sebagai antibiotik pemerintah untuk meredam
meningkatnya adrenalin konflik menjelang dan pasca pemilu 2014. Jika tidak
karena tujuan ideal semacam itu, maka tujuan pragmatisnya dapat di tebak bagaimana
transisi elite tahun ini memperoleh investasi politik bagi jaminan
keberlangsungan pemerintahan dimasa akan datang. Diluar pertimbangan politik itu,
kita mungkin sependapat dengan Habermas (1981) bahwa tanpa kebijakan yang jelas
dan konkrit seperti itu negara dapat dianggap melakukan malfunction sebagai penyebab crisis
of governability. Menurutnya, penyebab krisis pada sebuah negara paling
tidak didorong oleh pertama, keterbelengguan Negara akibat dikotomi sektor publik
dan swasta. Kedua, struktur
klas menjadi semakin terpolitisasi sehingga membuat negara semakin rentan
terhadap konflik klas. Ketiga, negara tampak semakin kehilangan basis legitimasinya. Kenyataan
ini paling tidak disebabkan oleh pertama,
dominannya peran sektor swasta dalam proses akumulasi modal sehingga negara tak
dapat mengklaim sebagai satu-satunya penjamin kesejahteraan. Kedua, pada kondisi
tertentu ketika negara tak mampu melindungi kaum tertindas dari proses eksploitasi,
maka negara dengan sendirinya tak dapat mengklaim sebagai satu-satunya agen
distribusi sosial berdasarkan prinsip keadilan dan pemerataan. Malangnya,
pemicu krisis semacam itu menurut O’Connor (1973) disebabkan oleh pertama,
di dalam negara mengandung unsur kontradiksi dimana negara mengemban fungsi
berlawanan antara akumulasi dan legitimasi. Ketika pemerintah pro terhadap
kapitalistik dalam upaya akumulasi modal, maka pada saat yang sama pengecualian
klas lain dapat menimbulkan krisis legitimasi. Fenomena
gerakan buruh dalam lima tahun terakhir di Indonesia menunjukkan bahwa
keberpihakan pemerintah pada kelompok kapital melalui berbagai kebijakan
liberalisasi dan pemberian insentif untuk merangsang pertumbuhan ekonomi dalam
skala luas dengan mengabaikan kelompok lain pada akhirnya telah menimbun
kecemburuan laten bagi klas buruh akibat timpangnya pembagian nilai tambah.
Tentu saja lewat penyesuaian upah buruh yang disepakati hingga titik optimum,
perlindungan kesehatan yang menjanjikan, serta kecenderungan pemerintah
meladeni setiap tuntutan buruh mengindikasikan satu keseimbangan yang dengan
sengaja meletakkan posisinya di tengah-tengah rasa keadilan. Kedua,
negara kapitalistik mengemban dua tugas yaitu menyediakan sosial kapital dan
menyediakan sosial expenses
(pengeluaran sosial). Yang pertama ditujukan untuk mengakumulasi modal, yang
kedua tentu saja ditujukan untuk menciptakan harmonisasi sosial dalam
mendongkrak legitimasi pemerintah. Namun ketika aktivitas sosial meningkat maka
semakin sulit bagi pemerintah untuk membedakan mana pengeluaran yang ditujukan
untuk modal sosial dan mana pengeluaran sosial. Harus diakui bahwa aktivitas
sosial tersebut cenderung memuncak menjelang sirkulasi kekuasaan. Faktanya
publik kesulitan membedakan mana bantuan sosial dan hibah dalam kerangka
pengeluaran sosial dan mana pengeluaran bagi akumulasi modal. Pembengkakan APBN
dan APBD pada kode rekening tertentu seringkali menjadi modus untuk menciptakan
kebingungan sosial atas pengeluaran modal dan pengeluaran sosial. Sejumlah
kasus korupsi dalam skala besar seperti Hambalang dan Sapi Import merupakan
gambaran nyata bagaimana sulitnya kita membedakan antara pengeluaran sosial
kapital dan social expenses. Boleh
jadi pemerintah berasumsi bahwa lewat pengeluaran sosial kapital pada saat yang
sama dapat menjawab tuntutan pengeluaran sosial. Namun realitas menunjukkan
bahwa porsi sosial sebagian besar raib digerogoti kelompok kapital secara
permanen. Pada titik ini ketika pemerintah terperangkap dalam tugas yang
melalaikan pengeluaran sosial, maka konflik sebagai bentuk ketidakpuasan
masyarakat tinggal menanti waktu. Ketiga,
problematika negara sebagai pemegang monopoli kapital. Proses akumulasi modal
dalam suatu negara juga berkarakter kontradiktif. Kewajiban negara untuk
mempertahankan legitimasinya dengan cara melakukan berbagai pengeluaran sosial
dalam jangka panjang dapat menciptakan krisis fiskal (pendapatan negara yang
dapat mencukupi kebutuhannya). Makin besar kebutuhan negara mempertahankan legitimasinya,
makin besar pula biaya yang dibutuhkan untuk menciptakan harmonisasi sosial. Dengan
menghitung jumlah pengeluaran sosial yang mesti disiapkan pemerintah sejak awal
tahun 2014 dari sektor pendidikan, kesehatan serta peningkatan kualitas
sumberdaya manusia dan aparatur, menunjukkan bahwa pemerintah sedang berusaha
keras mengukuhkan legitimasinya dalam menciptakan harmonisasi sosial paling
tidak dalam lima tahun kedepan. Inilah ongkos besar yang mesti dipertaruhkan
pemerintah dalam jangka panjang, termasuk bagi siapapun pemenang pemilu 2014. Soal
darimanakah sumber pembiayaan, apakah menarik kembali gaji pegawai lewat
kebijakan pajak pertambahan nilai dan hasil, mengurangi subsidi, menaikkan
harga untuk barang tertentu semacam Elpiji, ataukah mendongkrak pajak progresif
bagi klas tertentu, semua itu soal pilihan bijak pemerintah. Bagi pemerintahan
baru pasca 2014, ia dapat saja menjadi solusi yang menentramkan hati setelah
melalui hari-hari yang melelahkan, atau bahkan sebaliknya. Pada titik ini kita
perlu mengingatkan bahwa ketika pemerintahan baru tak mampu lagi meningkatkan
pendapatannya, maka berbagai gerakan klas bawah dapat muncul kepermukaan
menyebarkan konflik sosial. Disinilah tantangan sekaligus kehati-hatian
pemerintahan baru jika tak ingin menerima bomerang
dikemudian hari.
Komentar
Posting Komentar