Mengkonstruksi Kembali Ilmu Pemerintahan Kita
Oleh. Dr.
Muhadam Labolo
Perdebatan tentang bangunan dan isi
ilmu pemerintahan tak pernah sepi dari kehangatan dilingkungan pemikir,
pengamat dan praktisi pemerintahan. Kategori pemikir selanjutnya saya sebut
sebagai ahli pemerintahan, yang sekurang-kurangnya terbagi dalam
tiga kelompok, yaitu pemikir dengan basis murni ilmu-ilmu pemerintahan, ilmu
pemerintahan dan ilmu terapan pemerintahan. Pertama, pemikir dengan
basis murni ilmu-ilmu pemerintahan (eklektik)
adalah mereka yang memiliki pondasi keilmuan sosial seperti filsafat, sosiologi,
politik, hukum, sejarah, administrasi, ekonomi atau yang serumpun dengan itu
kemudian mencoba mengadu nasib di jenjang strata magister atau doktoral lewat
konsentrasi ilmu pemerintahan diberbagai perguruan tinggi yang membuka program
pasca sarjana ilmu pemerintahan. Terang saja, para pemikir yang mengalami
patahan (ziqzaq) semacam ini
selalu berbenturan dengan idealisme keilmuan dasarnya, bahkan mengalami semacam
kegalauan kalau tidak hilangnya kepercayaan diri
dibidang keilmuan dasarnya. Dilemanya, antara mempertahankan keilmuan dasar
ataukah mengembangkan disertasi doktor ilmu pemerintahan sekalipun tanpa
pijakan yang kuat, kecuali menikmati kuliah ilmu pemerintahan kurang dari
setahun. Hasil positifnya adalah lahirlah
karya ilmiah sebagai bentuk perkawinan biologis antara ilmu pemerintahan dan
ilmu dasarnya seperti sosiologi pemerintahan, hukum pemerintahan, filsafat
pemerintahan, manajemen pemerintahan, sejarah pemerintahan atau administrasi
pemerintahan. Syukurlah kalau ia lahir secara ilmiah, bukan ‘kawin
paksa’, atau mungkin hasil ‘kawin campur’ yang dipaksakan. Sampai
disini lahir pula kepercayaan diri yang melampaui beban institusi untuk
menyediakan fakultas hukum pemerintahan atau sosiologi pemerintahan. Apakah
gagasan ini lahir sebagai bentuk kematangan ilmu dibidang sosiologi dan hukum?
Ataukah ia lahir sebagai bentuk kesadaran
ilmiah atas kedewasaan ilmu pemerintahan sebagai
ilmu murni yang kita sepakati? Ataukah justru
ia lahir hanya karena kepentingan pragmatis supaya terkesan ada satu dua
ahlinya, sekaligus tempat bagi bersemayamnya pejabat struktural tanpa nilai
apa-apa. Menurut logika gramatikal, jika ia lahir sebagai bentuk kematangan ilmu
sosiologi dan hukum, maka patutlah dipahami jika fakultas yang akan kita bentuk
bernama Fakultas Sosiologi Pemerintahan dan Fakultas Hukum Pemerintahan. Sekali
lagi ini berarti bahwa ilmu sosiologi dan hukum-lah sebagai induk keilmuan
dasar yang mencapai kematangan. Merujuk pada hal ini, berarti dasar keilmuan
kita tentu saja adalah Sosiologi dan Hukum.
Jika ini yang kita sepakati maka patutlah kita pikirkan kembali untuk merevisi
nama institut ini menjadi Institut Sosiologi Dalam Negeri (ISDN) atau Institut
Hukum Dalam Negeri (IHDN). Sebaliknya, apabila ia lahir sebagai representasi
dari kedewasaan ilmu pemerintahan, maka dapat pula kita pahami jika fakultas
yang akan dibentuk kira-kira bernama Fakultas Pemerintahan Sosiologi dan
Fakultas Pemerintahan Hukum. Sekalipun terasa aneh, namun ini berarti bahwa
ilmu pemerintahan benar-benar menjadi induk yang mencapai taraf kedigjayaan
sehingga mampu memperlihatkan wajahnya secara kasat mata, bahkan keluar dari
bayang-bayang ilmu lain. Kedua,
pemikir dengan basis murni ilmu pemerintahan adalah mereka yang memiliki
dasar-dasar ilmu pemerintahan sejak derajat sarjana, magister hingga doktor
ilmu pemerintahan. Kelompok ini kini menjadi semacam barang langka dari sisi
kuantitas maupun kualitasnya. Langkanya kuantitas jika dibandingkan dengan
kelompok pertama, sedangkan rendahnya kualitas dapat disebabkan oleh lemahnya
kemampuan individu dalam mengembangkan keilmuannya, disamping tingginya daya
tarik jabatan struktural sehingga kehilangan peluang dalam mengembangkan ilmu pemerintahan
yang menjadi pokok jualan di IPDN. Hasilnya, pengembangan ilmu pemerintahan
secara historis mengalami pembuahan dalam tiga mazhab utama, yaitu mazhab ilmu
pemerintahan berkarakter politik sebagaimana dapat dipahami lewat pemikiran
Ryaas Rasyid, ilmu pemerintahan baru berwujud Kybernologi sebagaimana dikonstruksi dengan susah payah oleh
Taliziduhu Ndraha, serta ilmu pemerintahan bernuansa manajemen modern
sebagaimana coba di desain oleh Sadu Wasistiono. Dapat dipahami bahwa pemikiran
pertama lahir disebabkan basis keilmuan dasar ilmu pemerintahan telah diseduh
oleh ilmu politik di level magister dan doktoral. Selain
tentu saja pengaruh filsafat barat sangat mempengaruhi konstruksi ilmu
pemerintahan semacam ini. Ide dasarnya adalah pemikiran politik klasik Thomas
Hobbes dan Jhon Locke, serta pemikir politik modern Machiavelli.
Pendefenisiannya kemudian menjadi relasi antara yang memerintah dan yang
diperintah dalam kerangka hubungan kekuasaan an sich. Realitas ini mengakibatkan ilmu pemerintahan tak dapat
keluar hidup-hidup dari bayang-bayang ilmu politik murni sebagaimana cita-cita
Taliziduhu Ndraha. Dengan melanjutkan setitik harapan Soewargono (1996) dalam sebuah
pidato Dies Natalis IIP yang mengesankan bagi masa depan ilmu pemerintahan
dikemudian hari, serta mengadopsi basis pemikiran politik sebagaimana dipikirkan
Ryaas, ilmu pemerintahan kemudian dikonstruksi dalam kerangka Sub Kultur
Kekuasaan (SKS), Sub Kultur Ekonomi (SKE) dan Sub Kultur Sosial (SKS). Diyakini
bahwa selain dua spirit pemikiran di atas,
ide dasarnya adalah pemikir Eropa Kontinental seperti Van Poeltje. Ketiga
subkultur tadi merupakan konstruksi inti dalam membentuk Body Of Knowledge (BOK) ilmu pemerintahan. Sementara body of knowledge ilmu pemerintahan
sendiri dapat didekati dari aspek filsafat ilmu, yaitu ontologik, epistemologik
dan aksiologik. Dari aspek ontologik (apa), ilmu pemerintahan dapat didekati
melalui metodologi skeptisisme, empirisme, rasionalisme dan integrasi antara
empirisme dan rasionalisme. Pada sisi epistemologik (mengapa), ilmu pemerintahan
dapat diketahui melalui metodologi ilmu dan metodologi penelitian. Metodologi
ilmu pemerintahan sendiri terdiri dari ruang dan isi. Ruang ilmu pemerintahan
bersifat luas, namun pada dasarnya dibatasi oleh tiga subkultur utama sebagai body of knowledge, sedangkan isinya
berasal dari hasil penelitian dengan menggunakan metodologi kualitatif ataupun
kuantitatif. Dalam konteks ini penelitian ilmu pemerintahan dapat merupakan
hasil asimilasi dari berbagai ilmu sebagai suatu pendekatan yang bersifat
multi, antar maupun interdisiplin ilmu. Pada level aksiologik (bagaimana), ilmu
pemerintahan dapat diajarkan melalui ragam metodologi pembelajaran. Metodologi
pembelajaran dapat dilakukan baik secara paedagogik
maupun andregogik. Pada tingkat pertama
kita memperkenalkan dasar-dasar pemerintahan empirik (diploma). Pada derajat
sarjana kita meletakkan ilmu pemerintahan secara teoritik. Pada tahap magister
kita menekankan pentingnya penguasaan ilmu pemerintahan secara konseptual.
Sedangkan pada tingkatan doktoral kita mengembangkan pemahaman ilmu
pemerintahan secara filosofistik. Batasan ilmu pemerintahan pada akhirnya didefenisikan
sebagai suatu relasi antara yang memerintah dan yang diperintah dalam upaya
memenuhi kebutuhan manusia baik jasa publik maupun privat.
Menengahi
kejenuhan akibat hilangnya spirit pengembangan ilmu pemerintahan diantara
ketatnya bayang-bayang ilmu politik, serta kebuntuan pemikiran kybernology warisan Taliziduhu Ndraha
yang diakui sulit dipahami, Sadu Wasistiono mencoba mendesain kembali ilmu
pemerintahan lewat defenisi sederhana dimana ilmu pemerintahan adalah relasi
antara yang memerintah dan yang diperintah dalam konteks kewenangan dan
pelayanan. Sayangnya, pendefenisian ini tak memiliki sumber pemikiran
filosofistik yang kuat, selain hilangnya konstruksi ilmu pemerintahan secara
skematis, kecuali berhenti pada batasan ilmu pemerintahan itu sendiri. Selain
itu, jika dicermati lebih jauh konteks yang menjadi penghubung yaitu kewenangan
dan pelayanan menunjukkan ilmu pemerintahan yang ingin dibentuk cenderung
bersifat ilmu pemerintahan terapan. Dalam khasanah ilmu politik murni,
kewenangan (authority) adalah bagian
dari kekuasaan yang bersifat formal (Alfian, 2010). Dibawah kewenangan terdapat
sejumlah activity (program dan
kegiatan). Ketika kekuasaan telah diperoleh dan pemerintahan akan dijalankan,
maka kewenangan diperlukan dalam batas-batas yang ditentukan lewat konstitusi.
Dengan demikian semua tindakan yang diperlukan pemerintah hanyalah mungkin
dapat dilakukan dalam batas-batas hukum yang bersifat hierarkhi. Diluar itu
tindakan pemerintah hanya dapat dipertimbangkan secara moral dan etika. Jika
didalami lebih jauh kewenangan yang disebutkan sebenarnya hanyalah bagian dari
subtopik kekuasaan dalam ilmu politik murni (Surbakti, 2010). Ini jelas
bertalian dengan pemikiran Ryaas dari aspek politik an sich, dan konstruksi subkultur kekuasaan yang dikemukakan lebih
awal oleh Taliziduhu Ndraha. Dalam hal ini mesti diakui bahwa keduanya
menggunakan term kekuasaan sebagai
variabel yang lebih pokok dibanding kewenangan yang bersifat praktis nomotetik. Sementara aspek pelayanan
berkaitan dengan semua hak dan kewajiban warga negara yang secara konkrit dapat
dipenuhi dalam relasi dimaksud. Dalam konteks itu isi hubungan yang ditekankan
menyangkut pelayanan publik (public
services) sebagai salah satu fungsi pemerintahan menurut Ryaas Rasyid
(Makna Pemerintahan, 2001:15), serta menjadi kewajiban pemerintah dalam bentuk
layanan publik dan jasa privat seperti dikonstruksi Taliziduhu Ndraha
(Kybernologi I, 1999:7). Dengan demikian mudah dibayangkan bahwa batasan
terakhir bukanlah gagasan baru selain minimnya kajian semacam Makna Pemerintahan dan Kybernology (terlepas dari berbagai kritik).
Satu-satunya pemahaman kita bahwa defenisi semacam itu dapat dipahami sebagai penekanan
ilmu pemerintahan terapan. Ketiga, pemikir kelompok terakhir
adalah mereka yang basis ilmunya bersumber dari bermacam-macam rumpun ilmu
sosial dan eksakta namun lebih dari separuh hidupnya menjadi praktisi
pemerintahan (birokrasi) di pusat maupun daerah. Kelompok ini sebenarnya tak
berpengaruh dalam berbagai diskusi ilmu pemerintahan, kecuali mencoba
mendeskripsikan ilmu pemerintahan sebagai the
art of science. Praktisnya, ilmu pemerintahan adalah seni tentang bagaimana mengelola
pemerintahan dengan baik dan benar. Baik menurut aspek sosiologis, benar
menurut aspek yuridis formal, itu saja cukup.
Pertanyaan
strategisnya ialah, manakah mazhab yang akan dikembangkan sebagai core institute pemerintahan dimasa akan
datang? Menurut saya, penting untuk mengembangkan apa yang telah dicapai oleh
Taliziduhu Ndraha, sekalipun kita perlu membentuk satu club yang dengan serius menciptakan suatu jembatan pemahaman awal
bagi upaya pengembangan ilmu pemerintahan bernuansa IPDN. Tetapi mengembangkan
ilmu pemerintahan yang berkarakter politik sambil memisahkannya secara perlahan
juga tidaklah salah, sebab secara eksternal kita masih harus membangun
komunikasi dengan dunia luar lewat pendekatan ilmu politik yang lebih lazim
digunakan dibanding kybernologi yang
masih terasa asing. Sementara semua perbincangan di wilayah terapan akan
menjadi gizi tambahan agar penampakan ilmu pemerintahan dapat terlihat penuh,
baik secara ilmiah maupun empirik. Inilah keseluruhan kontent ilmu
pemerintahan, dimana aspek teoritik, empirik dan yuridis terintegrasi menjadi ilmu, sekaligus membentuk kekhasan
sebagaimana dicita-citakan Sadu Wasistiono guna memperoleh
tempatnya secara proporsional dilembaga IPDN.
saya pribadi yang belajar memahami ilmu pemerintahan, berpikir bahwa mengapa IPDN tidak berani membentuk fakultas Tata Praja (yang dulunya merupakan jurusan di IIP) dengan jurusan pemberdayaan masyarakat, pembangunan daerah, tata keuangan daerah, kependudukan, dan Tata SDAparatur serta Fakultas Tata pemerintahan dengan jurusan otonomi daerah, kebijakan pemerintahan dan pelayanan pemerintahan.
BalasHapusMengapa kita malu-malu kucing dengan berlindung di bawah ketiak ilmu politik dengan politik pemerintahannya dan di bawah ketiak ilmu manajemen dengan manajemen pemerintahannya atau ilmu-ilmu lainnya. mungkin perlu adanya MUNAS pegiat ILMU PEMERINTAHAN besar-besaran yang hasilnya berani menentukan dan memutuskan bahwa Ilmu Pemerintahan turunan ilmu politik, administrasi, hukum atau dll, dan menjadi suatu kaidah ilmu yang berdiri sendiri sejajar dengan ilmu lainnya.