ISIS dan Lunturnya Peran Kelas Menengah
Oleh. Dr. Muhadam Labolo
Ditengah kecemasan dan kejenuhan
sebagian kita soal akhir dari kompetisi politik dua pasangan capres di Mahkamah
Konstitusi, kita didera pula oleh infiltrasi idiologi lewat Islamic State of Iraq and Syiria (ISIS).
Tampaknya tantangan presiden dan wapres terpilih bertambah panjang kali lebar, bukan
sekedar memata-matai pemilik SPBU nakal yang menjual premium bersubsidi bagi
kelas menengah (midle class), namun
lebih dari itu perlu waspada dan fokus memburu semua hal yang dapat menjadi
ancaman, tantangan, hambatan dan gangguan bagi keberlanjutan pemerintahan.
Semua pembangunan citra dalam style ‘turun
lapangan’ sudah mesti di up-grade ke
level pengembangan teknologi dunia maya bercorak ‘virtual blusukan’, agar tetap terkorespondensi dengan kehendak
nyata kelas bawah (grass root)
sekaligus menangkal aktivitas cuci otak (brain
wash) terhadap generasi muda. Maklum, seorang presiden bukanlah sosok walikota
atau gubernur yang memiliki batas kewenangan dan ruang mobilitas lokal-regional
sempit, kini ia melingkupi kepentingan segenap bangsa dan seluruh tumpah darah yang
semakin berjarak dengan rakyat kebanyakan. Kelalain negara menghentikan langkah
para idiolog alternatif dapat menciptakan idiological
breakdown dalam jangka panjang.
Sumber dari semua itu tentu saja ketidakadilan. Alasan kasuistik hanyalah kesan
dipermukaan yang akhirnya menggumpal akumulatif. Salah satu tugas pemerintah
tentu saja menciptakan keadilan sosial bagi seluruh rakyat. Diruang praktikal
dapat saja terjadi kealpaan atas sejumlah fungsi pemerintahan baik terstruktur,
masif dan terencana (meminjam istilah baku MK). Terstruktur, barangkali negara
lalai secara struktural mewadahi kepentingan kelompok idiolog tertentu. Masif,
jangan-jangan negara secara umum tak banyak memberi perhatian pada kelompok
mereka dibanding yang lain. Terencana, mungkin saja negara secara terencana
mengecilkan peran mereka dalam berbagai hal yang barangkali patut di dengar
sejauh ini. Seluruh perhatian dan saluran dimaksud kemungkinan tersumbat hingga
melahirkan idiologi alternatif yang menjadi ancaman serius bagi negara. Semakin
banyak kealpaan negara, semakin besar pula argumentasi kelompok ini
menggerayangi fungsi-fungsi pemerintah yang lalai dilaksanakan. Dimanakah peran
kelas menengah dalam transformasi idiologi? Menurut UNDP income percapita USD2-20/hari masuk dalam kategori
kelas menengah. Tentu saja Indonesia masih menjadi bagian dominan kelas
menengah rendah antara USD2-4/hari percapita. Menariknya, kelas menengah
Indonesia sebenarnya mengalami lonjakan drastis pasca sertifikasi guru dan
dosen (Wildan, 2014). Selain profesi di sektor perbankan, rancang bangun dan
akuntansi, kelompok PNS guru bersertifikat yang mencapai 2.600 orang tahun lalu
kini memasuki kelas menengah. Pasca sertifikasi, rata-rata pendapatan naik
sebesar 5 jt/bulan (total 60 jt/tahun) dibanding sebelumnya yang hanya 3
juta/bulan (total 36 jt/tahun) diluar tambahan Tunjangan Kinerja (Tukir) dan Gaji Tiga Belas. Angka itu sudah
melebihi USD3000/tahun sebagai standar hidup kelas menengah. Bagi negara
berkembang bahkan negara maju sekalipun, sistem politik tidaklah penting-penting amat sejauh demokrasi, otoritarianisme maupun totalitarianisme
sebagai sistem politik mampu menjamin masa depan ekonomi rakyat sebagaimana
kokohnya China dan Singapura tanpa platform
demokrasi. Perlu diingat bahwa dalam negara
dengan sistem politik demokrasi, kesadaran terhadap masa depan pemerintahan
diserahkan sepenuhnya sebagai pilihan hak tak mengikat warga negara, sementara dalam
sistem politik otoriter dan totaliter pilihan hak politik relatif menjadi
kewajiban bersanksi. Dalam konteks demokrasi Indonesia, kenaikan angka partisipasi
pemilih tahun ini dibanding Amerika misalnya, kemungkinan dapat ditebak akibat
meningkatnya nilai keekonomian kelas menengah pasca sertifikasi. Pada level
bawah kemungkinan ditunjang oleh sistem proposional terbuka dengan indikasi nomer piro wani piro (NPWP). Demikianlah
mengapa angka partisipasi politik kali ini diduga meningkat. Premis selanjutnya
tentu saja semakin rendah nilai ekonomi yang diterima semakin besar pula
peluang menurunnya kesadaran penggunaan hak dalam demokrasi. Demokrasi jelas
bersahabat bahkan bertalian darah dengan nilai ekonomi sebagaimana tesis
Boediono (2009). Bagi negara demokrasi tidak ada cara lain kecuali melakukan political education untuk membangun
kesadaran politik. Diluar sistem itu, mobilisasi masif dan indoktrinasi adalah pilihan paling mungkin untuk menjamin
keberlangsungan masa depan pemerintahan. Ironisnya secara politik kontribusi
kelas menengah tak bergantung pada derajat pendidikannya namun semata-mata pada
kesadaran aktornya. Sampel sederhana adalah rendahnya perhatian kelas menengah
terhadap masalah yang dihadapi bangsa seperti infiltrasi idiologi dalam bentuk
kritik. Seakan semua diam dan terpasung dalam area nyaman birokrasi. Padahal
ciri demokrasi adalah kebebasan berpendapat, apalagi dalam ruang akademik seperti
kampus. Rupanya cara membunuh insting kelas
menengah cukup dengan melipatgandakan tunjangan kinerja, jabatan, profesi, gaji
tiga belas, SPPD dan semua fasilitas materi yang dengan sendirinya menumpulkan
daya nalar (tak ada tulisan otentik), sifat ketelitian dan kekayaan artistik
memburuk (lekas menyetujui proposal tanpa dibaca), kreativitas mandek (tak ada
inovasi), keberanian moral rendah (takut menyuarakan kepentingan orang banyak),
bahkan daya imajinasinya terbatas (terpenjara dengan aturan dan surat edaran).
Perlu diingat bahwa trend menurunnya partisipasi politik warga Amerika justru karena
mereka percaya pada sistem politik yang sedang bekerja (Aini;1999). Memilih
Reagan atau Obama sama saja, keduanya tetap menjanjikan masa depan Amerika yang
kuat. Bagaimanakah halnya dengan negara-negara berkembang seperti Indonesia? Tentu
saja prediksi menurunnya angka partisipasi
politik esok lusa bukan karena mereka percaya pada sistem politik yang sedang
bekerja, sebaliknya kemungkinan mereka semakin tak percaya pada sistem politik
yang ada. Indikasinya, angka kuantitatif ekonomi tak selaras dengan angka
kualitatif dilapangan, jumlah kemiskinan dan korupsi semakin menurun dari
generasi tua ke generasi muda, atau meningkatkan populasi penduduk tanpa
harapan bonus demografi yang menjanjikan. Jika hari-hari ini angka partisipasi politik
relatif meningkat, kemungkinan ada banyak harapan yang terbangun akibat
kerja-kerja politik lewat media sosial, dimana terbangunnya kesadaran kelas
menengah untuk perubahan yang dijanjikan (fenomena Obama). Apabila kesadaran
kelas menengah lahir lewat guru dan dosen dalam kapasitas intelektualnya yang
mengubah sejarah India, kesadaran birokrasi mengubah sejarah perancis, kesadaran
pemodal mengubah sejarah Amerika, kesadaran klan Samurai mengubah sejarah
Jepang, maka kesadaran kelas menengah pemuda terdidiklah yang membuat sejarah Indonesia
berubah sejak masa 1945, 1966 dan 1998. Akhirnya, patut kita jawab bahwa
lahirnya ISIS menunjukkan kemungkinan hilangnya kesadaran kelas menengah
Indonesia dalam mentransformasikan nilai-nilai idiologi berbangsa dan bernegara.
Bergesernya orientasi kelas menengah meraup keuntungan sebanyak mungkin dari
frekuensi perjalanan dinas hingga pengadaan barang dan jasa dalam contoh
birokrasi telah mengkerdilkan sensifitas kita pada tujuan hidup dan lingkungan
semesta (bahagia di dunia dan akherat). Semua itu secara sadar maupun tidak menciptakan
bibit-bibit ketidakadilan sebagai tugas pokok dan fungsi pemerintahan yang
lalai diusahakan. Ketika kelas menengah berada di zona aman, maka kecenderungan
perilaku apatis, autis dan mungkin
saja ateis menjadikan materi sebagai
kebudayaan rutin. Padahal salah satu tanggungjawab kelas menengah bersama elit
adalah melakukan transformasi idiologi bagi keberlangsungan masa depan
pemerintahan. Sementara tugas pemerintah sendiri adalah bagaimana menciptakan
lapangan kerja sebanyak mungkin untuk menuntaskan persoalan ketidakadilan
sistemik. Dengan begitu bentuk ketupat sebagai simbol lebaran yang cenderung
lebar ditengah, mengecil dibagian atas dan bawah secara filosofi menjadi
penanda bahwa sedapat mungkin kelas menengah semakin banyak, kelas bawah dan atas
idealnya tak terlalu banyak agar kebahagiaan benar-benar sejatinya dinikmati
bersama, bukan oleh satu dua orang saja.
Komentar
Posting Komentar