Konflik, Radikalisasi Agama, Pancasila dan Demokrasi, Sebuah Renungan Kemerdekaan
Oleh. Dr. Muhadam Labolo
Diskusi bersama kawan-kawan di Pusat
Kajian Strategis Kementrian Dalam Negeri tentang dinamika konflik di daerah,
Jumat, pukul 09.00-11.00, 15 Agustus 2014 menarik untuk diperluas dalam catatan
ringan ini. Maklum, pemerintah seperti baru sadar terhadap bahaya laten ekstrem
kanan yang menambah daftar inventarisasi ancaman konflik di seantero negeri.
Dalam benak saya terbayang benih-benih konflik baru yang kian menganga di depan
mata. Frustasinya, semakin dipikirkan semakin kentara pokok, aliran dan akhir
dari masalah konflik itu sendiri, yaitu pemerintah. Betapa tidak, secara
struktural akhir dari pengaturan pemilihan legislatif melahirkan politisi
bermasalah, akhir pengaturan pemilihan presiden melahirkan pemilih oplosan hingga adu
pinalti di Mahkamah Konstitusi, akhir pengaturan aparat sipil negara
menciptakan pemasungan hak-hak politik, akhir pengaturan kesehatan reproduksi melahirkan
polemik tafsir legalitas aborsi antar sesama stakeholders, bahkan bukan mustahil akhir pengaturan desa kedepan dapat
memproduk konflik baru di level pemerintahan paling landai. Sebagai penasehat
yang sering dinasehati pemerintah, tentulah saya dan semua pembaca secara moral
bertanggungjawab atas semua produk pemerintah yang cenderung tidak menyelesaikan
masalah, namun meninggalkan residu baru yang mesti diminimalisasi. Ibarat
menelan pil antibiotik, selalu saja dalam jangka panjang kita sedang menanti
endapan penyakit baru yang mesti dicari penangkalnya. Tentu saja kebijakan
publik tak jauh dari ekses pil antibiotik, selalu saja melahirkan dampak
sekecil apapun itu. Jika kriteria minimum Pareto kita gunakan bahwa suatu keadaan sosial adalah lebih baik dari yang lain
apabila paling tidak terdapat satu orang yang diuntungkan, dan tak satupun yang
dirugikan, tetap saja menimbulkan dampak bagi
sebagian besar orang yang merasa tak diuntungkan. Disadari betul bahwa semua
produk kebijakan adalah hasil dari pertautan kepentingan politik yang mencapai orgasme berdasarkan suara mayoritas,
bukan kebenaran sejatinya. Apabila potensi konflik bermula dari kelalaian mencegahnya,
lalu bagaimana pula tahapan penghentian dan pemulihan konflik sesuai pesan Undang-Undang
Penanganan Konflik Sosial? Menambah menu diskusi itu saya mengutip kekuatiran Mensos
dalam harian Republika bulan ini, bahwa bantuan sosial meningkat sebagai dampak
dari semakin meluasnya konflik di tengah masyarakat. Parahnya, kewenangan
pemerintah dalam hal penetapan suatu daerah berstatus konflik dipersoalkan ke
Mahkamah Konstitusi karena pemerintah daerah dianggap tak punya otoritas
konstitusional yang memungkinkan menyatakan daerahnya siaga konflik. Itu
kewenangan presiden selaku penanggungjawab tertinggi pemerintahan, lain soal
jika presiden mendelegasikan secara khusus kepada pemerintah daerah. Memang
benar bahwa sesuai rezim pemerintahan daerah, salah satu tugas pemerintah
daerah adalah menciptakan ketentraman dan ketertiban, tetapi tidak lantas menyatakan
daerah dalam keadaan darurat konflik. Jika sumber masalah konflik secara
struktural adalah pemerintah, lalu pada tingkat tertentu pemerintah sendiri
kehilangan otoritas untuk mengendalikan konflik, lalu bagaimanakah sebaiknya management
konflik dilakukan? Menurut pengamatan saya, pemerintah boleh jadi cekatan dalam
penghentian konflik, namun selalu terlambat seperti Polisi India dalam hal
pencegahan dan pemulihan konflik. Trend pencegahan
konflik selalu bersifat sporadis, tergantung dimana letupan konflik muncul
secara insidental sehingga cara mengatasinya persis menelan pil CTM, Bodrex, Antalgin, Trisulva dan Parasetamol. Demikian halnya pendekatan
inkremental dalam upaya pemulihan konflik, selalu saja berbekal Tenda, Blangket, Baju Bekas, Indomie dan
sedikit obat Diare. Sayangnya, ketika pengaruh pil penenang dan Sembako kian
menyusut, konflik kembali menjadi pemandangan sehari-hari yang bahkan
disebagian daerah terus dipelihara agar menguntungkan Dinas Sosial/Pemda.
Diluar itu aparat penegak hukum yang memang berharap dapat hidup dan sejahtera dari
satu konflik ke konflik yang lain. Saya berpendapat bahwa pencegahan dan
pemulihan konflik tidak bisa hanya dengan cara instan seperti ini. Kita mesti memiliki media yang lebih canggih
untuk mencegah dan memulihkan konflik dalam jangka panjang. Dan dalam konteks
itu yang lebih penting menurut saya adalah bagaimana mengembangkan suatu program
strategis jangka panjang yang sekaligus dapat menangkal infiltrasi idiologi dan
deradikalisasi agama tanpa melupakan perbaikan kebijakan guna meminimalisasi
dampak residu yang ditimbulkan, disamping peningkatan kesejahteraan agar dapat
mempersempit kesenjangan struktural dan fungsional. Media yang saya maksud
adalah sarana strategis untuk mengimbangi strategi cuci otak kelompok idiolog ekstrem dewasa ini. Saya kira kita perlu
memperbanyak Kajian dan Studi Pancasila seperti di Universitas Pancasila. Sayangnya,
saya tak melihat hal itu dilingkungan kampus sendiri, Mahasiswa saya kebanyakan tak banyak yang paham sejarah bagaimana perdebatan sengit para founding fathers saat meletakkan Pancasila sebagai groundslagh bernegara, mereka hanya
hafal finalnya, merdeka tanggal 17 Agustus 1945 di Pegangsaan Timur Nomor 56
Jakarta, titik! Perkara mengapa Soekarno dkk tak menyodorkan bentuk negara
Teokrasi Islam dan apa isi teks pengantar pidato dalam sidang-sidang
pendahuluan oleh anggota BPUPKI dan PPKI, mereka sebagian besar awam hingga
ke latar substansial tobe Indonesia. Ironinya, kalau hari ini anda suruh bercerita tentang
perkembangan Malaysia, Thailand, Korea, Jepang, China, Eropa dan Amerika, sudah
pasti anda dan saya akan diteror dengan cerita heroik Ipin dan Upin, Raja Thai
yang Agung, sejarah perang Korea, aksi Naruto, kebesaran emperium China, hingga
hebatnya sepak terjang Obama. Mahasiswa saya cukup paham soal sejarah di Timur
dan Barat, namun terlalu sedikit paham ke-Indonesiaan. Sama seperti seorang alumni lulusan
S2 jebolan Amerika selama 1,5 tahun. Begitu pulang dan berdiskusi ia serta merta
berkesimpulan bahwa realitas praktek
pemerintahan Indonesia sejauh ini hampir tak ada satupun yang dianggapnya
benar. Semua serba cacat dengan pandangan pesimistik. Saya kurang paham, apakah
dia sejarah pemerintahan Indonesia? Ini indikasi hilangnya akar-akar budaya asli. Akibatnya, suatu kali disaat persiapan pengukuhan, seorang dosen
merangkap pejabat dikampus bercerita bagaimana sulitnya ia ketika meyakinkan
dua orang mahasiswa yang tak mau ikut pengukuhan lantaran mesti dengan syarat
dipotong bersih sejumput jenggot tempat bernaung bidadari di sorga serta
memanjangkan ukuran celana sesuai batas normal, bukan menggantung seperti almarhum
komedian Jojon yang dia praktekkan di Wisma. Dengan membawa Qur’an dan Hadits
masing-masing dan berdebat hingga berbusa-busa
akhirnya kedua mahasiswa tersebut menangis sesunggukan sambil menyetujui
persyaratan yang dimestikan. Sang dosen berkata, anda tidak akan dikatakan murtad apalagi kafir hanya karna memangkas jenggot dan menambah dua senti ukuran
celana anda. Barangkali yang boleh dikatakan kafir jangan-jangan sebangsa koruptor di birokrasi karena
menganggap tidak ada Tuhan yang mengawasi sehingga dengan mudah melanggar
perintah Tuhan (kafir (Arab), cover
(Inggris), menutup-nutupi eksistensi Tuhan). Saya minta agar kedua mahasiswa tersebut berkesempatan nonton bareng film In The Name of God agar mereka punya sedikit wawasan bagaimana idealitas teks agama bersentuhan dengan realitas konteks
kehidupan manusia yang berubah sesuai jaman. Abu Jahal, Abu Lahab dan sejumlah musuh nabi berjenggot panjang, bersorban dan bergamis, tapi apakah mereka
Islam? Dalam konteks celana gantung misalnya, muslim di Timur Tengah dan
belahan Antartika secara geografis berbeda. Ini soal karakteristik budaya,
bukan semata-mata masalah sunnah nabi.
Muslim Afganistan memendekkan celana hingga diatas tumit bermaksud menghindari
kotoran dan debu di padang pasir, namun dalam konteks muslim yang tinggal di
daerah dingin (belahan Antartika) perlunya memanjangkan celana bahkan hingga ke
telapak kaki disebabkan cuaca ekstrem yang luar biasa. Demikianlah Islam, agama
yang tak memaksa sekaligus mudah diterima akal sehat (La iqraha fiddin). Agama memang menyangkut keyakinan, namun
keyakinan mesti dibedakan mana yang sakral dan mana yang profan, mana yang
tetap dan mana yang berubah, mana yang minallah
dan mana yang minannas. Menurut saya
ini problem muammalah, bukan soal ilahiah, walaupun tetap saja punya
relevansi jika kita percakapkan lebih jauh. Masalahnya, dibenak kedua mahasiswa
itu bahwa semua teks dapat diterapkan tanpa syarat. Kalau itu yang anda yakini,
saya ikhlas membelikan seekor Onta plus cadangannya buat anda berhaji dari
Jatinangor menuju Mekkah hari ini juga tanpa syarat. Tampaknya infiltrasi
idiologi tidak saja menyusup ke lingkungan masyarakat dan kampus bersimbol
agama, dilingkungan kampus saya yang notabene
diproteksi oleh kawat berduri, tembok setinggi Jerapah dan dijaga oleh
satpam berlapis-lapis, tetap saja tembus hingga merecoki benak satu dua mahasiswa yang mencoba ‘ngelmu’ di sudut-sudut Masjid tanpa
kontrol Rokhis dan civitas akademika.
Radikalisasi agama sebenarnya bukan milik satu agama, ia bisa bertebaran di
semua agama lewat indoktrinasi berlebihan tanpa rujukan epistemologi yang jelas.
Lihat saja sekte-sekte dalam agama Kristen, Hindu dan Budha.
Sepenggal kasus diatas cukup memprihatinkan
jika dihubungkan dengan hasil survei Setara Institute yang pernah dirilis bulan
Juni 2008 dengan basis responden di wilayah Jakarta, Bekasi, Depok dan
Tangerang. Survei
dengan responden 800 permuda terdiri dari pelajar dan mahasiswa yang berumur 17-22 tahun (90,1% muslim dengan tingkat
ketelitian 95%), menunjukkan bahwa sebanyak 59,4% responden berpendapat urusan agama
maupun keyakinan diatur pemerintah. 37% berpendapat sebaiknya pemerintah tidak ikut campur masalah agama dan keyakinan. Sisanya, 4%
menjawab tidak tahu. Alasan pertama untuk menghindari terjadinya
kekacauan dalam kehidupan agama. Ada juga yang beralasan agama dan negara tidak bisa dipisahkan. Sebanyak 56,1% menghendaki perda di Indonesia berdasarkan nilai-nilai agama.
Alasannya, saat ini merupakan era otonomi daerah. Sebanyak 49% beralasan karena
terdapat kelompok mayoritas agama tertentu di
daerah tersebut. Meski demikian, mayoritas pemuda tetap meyakini
Pancasila sebagai dasar negara (78,1%). Alasannya, Pancasila sebagai dasar negara adalah
pilihan terbaik. Sisanya, 12,3% responden menyatakan berdasarkan agama. 5,3% berdasarkan idiologi tertentu. 4,4% tidak menjawab.
Diluar itu, jawaban responden cukup mengejutkan ketika 47,6% pemuda masih merasa malu menjadi warga negara
Indonesia (Republika, 5 Juni 2008). Jawaban
terhadap gambaran survei diatas menurut hemat saya adalah perlunya pendidikan
khusus seperti pendidikan kewarganegaraan dan penataran Pancasila di semua lini
mulai sekarang, oleh dan di internal kita guna meletakkan pemahaman yang baik. Pemahaman
yang baik dapat mereduksi klaim akulah
yang paling benar dalam hubungan antar-agama. Semua kepercayaan secara
intern-agama sah sepanjang mengukuhkan keyakinan pribadi atas agamanya. Namun
dalam hubungan sosial agama juga menganjurkan untuk bersikap inklusif, bukan
eklusif. Dalam wujud sosial itu saya sebut kita sebagai bagian dari warga bangsa
dan warga negara. Sebagai warga negara kita patut menarik nilai universal
sebagai value bersama, dan itulah
Pancasila sebagaimana dimaksud oleh founding
fathers. Agama dan Negara ibarat Matahari dan Bulan. Bulan hanya mungkin
bercahaya jika ia diterangi oleh Matahari. Demikian pula negara, ia hanya
mungkin tumbuh jika diterangi oleh nilai-nilai agama dalam pondasi Ketuhanan
Yang Maha Esa.
Jika sistem yang ada sejauh ini belum
merefleksikan kehendak kita bersama bahkan mengecewakan, tugas kitalah
memperbaiki semua itu, bukan menggantinya dengan idiologi alternatif yang
sekalipun secara historis pernah ada, namun tak cukup kontekstual dengan realitas
kita yang majemuk. Kita membutuhkan agama sebagai spirit mencapai kebahagiaan
di dunia dan akherat. Dalam konteks itu tatanan dunia kita butuhkan sebagai
pijakan menuju tatanan akherat. Sistem hidup di dunia ini kita tata menurut
kehendak universal Tuhan, bukan berdasarkan tafsir dan klaim individu dan
kelompok semata. Dengan nilai universal itu manusia membentuk negara, bukan
memformilkan salah satu agama dalam kontruksi negara. Indonesia tak sepenuhnya sekuler,
sebab semua sendi-sendi negara bernilai agama, lihatlah konstitusi, Pancasila
dan undang-undang. Apabila undang-undang maupun konstitusi keliru tentu saja
patut untuk direvisi, dibuat baru, bahkan dicabut. Ini sangat mungkin, kecuali
mengamandemen kitab suci. Harus diakui bahwa demokrasi memang sedikit banyak penuh
kegaduhan, namun inilah sistem yang sedikit lebih ramah dibanding sistem
otoriter dan totaliter yang pernah kita praktekkan di jaman orde baru dan
feodalistik. Ketika demokrasi berpapasan dengan agama maka persoalannya bukan
apakah demokrasi sistem kufur atau
tidak, namun apakah demokrasi bertentangan atau sejalan dengan agama? Jika
slogan vox populi vox dei (suara
rakyat suara Tuhan) dimaknai sebagai prinsip dasar yang dianggap melampaui
kehendak absolut Tuhan dalam kitab suci, menurut saya ini perlu diluruskan.
Prinsip itu memang menekankan pentingnya mendengar suara rakyat, sebagaimana
para pemimpin Islam melakukan blusukan yang
dicontohkan Khalifah Umar Bin Khattab di suatu malam saat mendengar rintihan
tiga anak Janda menanak nasi bohongan. Namun harus pula diingat bahwa tidak
semua suara rakyat itu baik, karena itu prinsip diatas membutuhkan mekanisme
untuk memfilter agar setiap aspirasi rakyat harus tersaring lewat wadah representatif.
Wadah itu wakil rakyat yang tercerahkan, bukan bandit yang tak berpendidikan
dan tak bermoral. Ini tugas infrastruktur politik, yaitu partai politik dan
masyarakat sebagai penyeleksi. Disinilah pentingnya memahami prinsip dan mekanisme
demokrasi, bukan main tunjuk dan main angkat hanya karena hafal Juz amma. Faktanya mereka yang paham
agama dan pernah naik haji berkali-kali lebih banyak melanggar perintah Tuhan
daripada mereka yang tak begitu paham agama secara mendalam. Karena itu kita
tak hanya membutuhkan hafalan tadi, juga pengalaman dan keahlian lain yang
menjamin seseorang mampu menjadi wakil rakyat agar kelak suaranya senafas
dengan suara Tuhan, bukan melampaui apalagi menjauhi. Apapun sistem yang kita
pilih menurut saya ia kembali pada manusianya (aktornya). India dan Indonesia
berciri khas demokrasi dengan pertumbuhan ekonomi lambat, Singapura dan China
sentralistik tumbuh cepat, Amerika sukses, Uni Sovyet hancur. Sudan mencoba
memformalkan agama pecah dua, Pakistan dan Afganistan penuh ketidakpastian,
Arab Saudi dan Brunei mencoba mengintegrasikan agama dan monarchi, Iran
bertumpu pada fatwa para Mulloh, Irak dan Suriah disusupi ISIS sebagai sempalan
baru, sementara Turki eksis dengan sekularisasinya. Bahkan Aceh dengan Syariat
Islam tak menunjukkan tingkat kriminal semakin menurun. Terlepas dari itu, saya
suka menyerap saripati demokrasi dari salah satu surah Al-Baqoroh ketika Iblis memperlihatkan
pembangkangan atas perintah Tuhan untuk menyembah manusia. Tuhan rupanya tidak begitu
marah di akhir episode demontrasi itu, apalagi sampai membungkam masa depan Iblis
di Jurang Neraka, tetap saja Ia memberi pilihan mengikuti dan merayu manusia di
dunia. Inilah hakekat demokrasi atau apapun istilah yang ditransliterasikan
Tuhan lewat teologi Islam. Islam memang tak mengenal term demokrasi, namun inti demokrasi menurut saya terletak pada
soal pilihan, dan Tuhan telah mencontohkan pilihan itu juga pada manusia.
Demikianlah mengapa demokrasi berkelas tak serta merta menyerahkan semua
pilihan pada rakyat kebanyakan yang bodoh tanpa persyaratan yang memadai
seperti tingkat pendidikan dan pendapatan. Inilah pandangan saya dalam diskusi
terbatas itu sekaligus renungan bagi kemerdekaan bangsa ini,......
Komentar
Posting Komentar