Menguji Kualitas Demokrasi Indonesia

oleh. Dr. Muhadam Labolo


            Secara administratif, kalkulasi suara pilpres telah selesai kita peroleh. Secara hukum sedang berproses, dan mungkin saja Mahkamah Konstitusi sebagai pengadil akan memberikan tafsiran akhir apakah diterima, ditolak atau diulang sebagian dan atau seluruhnya. Kalaupun proses hukum selesai, masalah selanjutnya adalah apakah proses politik akan berkesudahan dengan sendirinya? Politik memang bukan soal matematika, ia bahkan menyentuh alam metafisik, dimana logika kuantitatif seringkali tak menemukan makna kualitatif. Kepuasan batin dalam kaca mata kualitatif lebih utama ketimbang kepuasan materi yang bersifat kuantitatif. Hukum dapat bergambar hitam putih, namun politik faktanya berwarna-warni. Boleh jadi sebagian besar publik dapat menerima capres terpilih berdasarkan kalkulasi Penyelenggara Pemilu dan Mahkamah Konstitusi, namun secara politik akseptabilitas capres terpilih tak sepenuhnya diterima secara kualitatif oleh sebagian yang lain. Alasannya bukan soal hasil, namun soal proses demokrasi itu sendiri yang dinilai sarat kejanggalan. Tetapi inilah konsekuensi atas pilihan sistem demokrasi yang sedari awal memiliki cacat bawaan (defective of democracy), dimana kebenaran jamak ditentukan oleh orang banyak, sementara orang banyak belum tentu benar. Oleh karena kemenangan ditentukan oleh banyak kepala, maka demokrasi seringkali mengambil jalan pintas lewat berbagai cara untuk menghasilkan jumlah kepala, bukan isi kepala. Disinilah pentingnya menguji proses demokrasi lewat sistem peradilan yang jujur untuk menyelamatkan kualitas demokrasi akibat kecenderungan didikte oleh angka-angka kuantitatif demokrasi. Dengan begitu, maka putusan Mahkamah Konstitusi pada akhirnya menjadi dasar hukum bagi penyelesaian politik yang menjadi kecemasan sebagian orang. Jika hukum menjadi supremasi tertinggi sesuai konstitusi maka selayaknya politik tunduk dengan serta merta pada putusan Mahkamah Konstitusi. Akseptabilitas terhadap apapun putusan hukum akan menggambarkan kelas demokrasi kita dihadapan masyarakat dan dunia international. Kelapangan menerima putusan sekalipun dengan berbagai catatan akan menunjukkan pula seberapa besar kualitas aktor demokrasi yang terlibat didalamnya. Sebaliknya, ketidakpuasan yang bersifat ekstrem dapat mendegradasi kualitas demokrasi tidak saja bagi para aktor demokrasi itu sendiri, demikian pula institusi demokrasi. Ujian terberat kita pada masa transisi demokrasi adalah bagaimana meningkatkan nilai para aktor demokrasi baik di level supra maupun infrastruktur politik. Kualitas nilai para aktor di level suprastruktur mungkin saja berada di zona aman, namun kualitas nilai para aktor di level infrastruktur seringkali berada di zona mencemaskan. Karakteristik semacam ini cukup mengkuatirkan apabila output di level suprastruktur tak berbanding lurus dengan harapan aktor di level infrastruktur. Demokrasi dalam konteks itu cenderung berjalan menurut insting masing-masing, bukan menurut logika konstitusi dimana saluran untuk semua ekspresi berbeda tersedia dua puluh empat jam. Membawa masalah Pilpres ke Mahkamah Konstitusi tidak saja kita sedang menguji nilai pada semua aktor dalam proses demokrasi, demikian pula kenetralan institusi, kelaikan partisipasi demokrasi, bahkan sistem politik demokrasi itu sendiri. Sebagai suatu sistem politik, demokrasi memiliki kerangka kerja yang saling menyeimbangkan (chek and balance system). Sebagai institusi, demokrasi menyediakan berbagai lembaga yang memungkinkan setiap aktor menyalurkan ekspresi agar terwadahi menurut aturan sejogyanya. Sebagai partisipasi, demokrasi memberi kesempatan yang sama pada semua warga negara untuk menentukan masa depan pemerintahannya, sebab itu setiap suara di setiap TPS wajib memperoleh jaminan hingga menjelma menjadi kursi kekuasaan yang terlembagakan secara hirarkhis dan fungsional. Sebagai suatu nilai, demokrasi menguji kualitas kedewasaan setiap aktor yang terlibat didalamnya. Persoalannya, dapatkah demokrasi Indonesia lulus uji atas kategori sistem politik, institusi, partisipasi dan nilainya? Membandingkan dengan Amerika, tampaknya Indonesia hanya perlu menunggu kematangan aktor dari aspek pemahaman nilai demokrasi sehingga transisi dapat berjalan secara fair dan stabil. Jika kondisi ini berjalan normal maka Indonesia menjadi sampel yang tak membutuhkan biaya besar untuk dipelajari oleh negara setengah otoriter seperti Malaysia dan Thailand. Malaysia dan Thailand adalah dua negara dibelahan Asia Tenggara yang rajin melakukan kursus jangka pendek tentang bagaimana exsperimentasi transisi demokrasi pasca tahapan anti-otoritarianisme di Indonesia. Kecepatan dan banyaknya kebebasan yang diberikan pada waga negara bukan mustahil akan membawa dampak bagi terciptanya iklim kompetitif dan mendorong laju produktivitas dan kemajuan suatu bangsa. Sebaliknya, kelambanan pemerintah merespon dinamika di level infrastruktur dapat mempercepat runtuhnya sebuah pemerintahan. Terlepas dari berbagai kelemahan yang masih dialami, namun Indonesia menunjukkan kelasnya sebagai negara demokrasi kedua terbesar setelah Amerika dengan kompleksitas masalahnya yang unik. Malaysia dan Thailand kini menyadari semua itu, pembelajaran transisi menuju konsolidasi demokrasi di Indonesia menjadi fokus perhatian serius disebabkan tekanan publik yang terus-menerus mendera kedua negara itu. UMNO dan Barisan Nasional sebagai pemerintah berkuasa misalnya, tak malu-malu mengirim delegasinya untuk belajar bagaimana proses transisi demokrasi Indonesia dapat berlangsung tanpa mesti bergelimang darah begitu lama. Malaysia dan Thailand menyadari bahwa angka kuantitatif sebagai ukuran kesejahteraan masyarakat yang mereka nikmati kini hampa tanpa kebebasan berbicara sebagai kepuasan kualitatif sebagaimana dinikmati Indonesia pasca collaps-nya rezim Orde Baru. Indonesia pernah melewati kesejahteraan kuantitatif dimasa Orde Baru dimana angka pertumbuhan ekonomi rata-rata diatas 8%/tahun. Berlimpah devisa, aset, minyak, gas, mineral, bahkan swasembada pangan dengan tingkat pengendalian populasi penduduk yang seimbang. Namun semua nilai kesejahteraan kuantitatif nan fantastik itu lupa diimbangi dengan kesejahteraan kualitatif yang dipangkas hingga keakar-akarnya. Kemerdekaan berkumpul dan berserikat mengeluarkan pikiran secara lisan maupun tulisan hanyalah pepesan kosong. Partisipasi politik praktis bersifat semu yang dimobilisasi untuk kemenangan rezim penguasa. Kini, dengan angka 70-85 persen tingkat partisipasi real dalam pemilihan kepala daerah, legislatif dan presiden, kita mampu memperlihatkan bahwa demokrasi sebagai partisipasi jelas melampaui Amerika yang hanya berada pada kisaran 40-60 persen. Munculnya lembaga-lembaga mezostructur bersifat extra-ordinary (Komisi, Badan dan Lembaga Negara), sebagai upaya mewujudkan mekanisme cheks and balance system menunjukkan demokrasi Indonesia sebagai institusi memberikan garansi atas kehendak publik untuk memperoleh keadilan setinggi-tingginya. Sementara upaya memperkuat sistem presidensial dan hubungannya dengan semua lembaga negara mendeskripsikan bahwa demokrasi Indonesia sebagai sistem politik bukanlah sekedar wacana semata, namun menjadi bagian dari agenda utama konstitusi yang ingin dicapai meskipun faktanya masih bercampur dengan aroma parlementer. Untuk hal itu kita hanya membutuhkan waktu dua hingga tiga kali pemilu dengan asumsi terjadi kenaikan angka treshold guna mengurangi euforia partai politik tanpa partisipan secara alamiah. Satu-satunya variabel akhir yang membutuhkan kesabaran tinggi adalah upaya mempercepat pendewasaan aktor demokrasi tidak saja di level suprastruktur, lebih dari itu adalah pendewasaan aktor di level infrastruktur agar tercipta harmonisasi untuk menjamin kesamaan orientasi menuju konsolidasi demokrasi yang kita harapkan. Mengambil gambaran sederhana dari Kemenpolhukam, hasil penelitian evaluasi terhadap Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) tahun 2012 menunjukkan baru lima daerah yang dinilai paling demokratis yaitu DKI Jakarta (77.72), Sulawesi Utara (76.50), Sumatera Selatan (73.17), Daerah Istimewa Jogjakarta (71.96) dan Nusa Tenggara Timur (72.67). Evaluasi diatas setidaknya mendorong kita untuk segera meningkatkan kesadaran khususnya kualitas nilai demokrasi pada setiap warga negara dengan tetap memperkuat sistem politik demokrasi, memperluas partisipasi dan menguatkan peran institusi demokrasi yang telah ada. 

Komentar

  1. sangat setuju pak, demokrasi kualitatif yg mengakar pada pancasila lah yang bisa menjadi jembatan emas menuju kesejahteraan kualitatif, bangsa yang berperadaban madani, seperti yg diidamkan oleh the founding father kita. dinamika kehidupan berdemokrasi kita tampaknya sangat fluktuatif beberapa bulan belakangan. Mulai dari panas-dingin pelaksanaan pileg dan pilpres yang jauh dari kata sempurna serta isu mulai masuknya pergerakan ISIS di Indonesia menjadi ujian tersendiri dalam perjalan kehidupan berbangsa dan bernegara kita pak, semoga kita mampu melewati segala krikil yang ada dengan selamat.

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengenang Sartono, M. Jaffar dan Indrarto

Seri: Kajian Filsafat Ilmu Pemerintahan

Pamongpraja, Tinjauan Filosofis, Etimologis, Historis, Relevansi dan Gagasan Kekinian