Beberapa Pokok Pikiran Tentang Operasionalisasi Inpres Revolusi Mental di Lingkungan IPDN
Oleh.
Muhadam Labolo
Apabila telah
disepakati bahwa IPDN menjadi basis utama pengembangan revolusi mental
dilingkungan Kementrian Dalam Negeri, maka pertanyaan operasionalnya adalah
apakah instrumen rujukannya pada tingkatan sistem (regulasinya)? Bagaimana
manajemennya? Serta bagaimanakah aplikasinya pada tingkat paling teknis? Untuk
pertanyaan pertama setidaknya terjawab dalam bentuk draft Instruksi Presiden
(Inpres) yang sedang digodok hari ini. Tentu saja dua persoalan terakhir akan
menjadi perhatian serius yaitu manajemen dan program aplikasinya. Dalam hal
manajemen tentu saja berkenaan dengan seperangkat agenda perencanaan, pelaksanaan, monitoring
dan evaluasi Gerakan Nasional Revolusi Mental dilingkungan IPDN. Lalu apakah media yang dapat kita gunakan
sehingga seluruh proses manajemen tadi dapat diselenggarakan dengan baik? Ini
pekerjaan rumah bagi siapapun yang berburu posisi Kabag Perencanaan di seputar
IPDN, Bandiklat dan Kemendagri. Jika media
sudah kita peroleh maka spirit Nawacita akan terlihat sembari menanamkan
tiga nilai utama yang diinginkan oleh sponsor utamanya yaitu integritas, kerja keras dan gotong royong. Integritas Praja berkenaan dengan kemampuan
menjaga komitmen antara gagasan (visi), komunikasi dan praktek pelayanan
sesungguhnya. Gagasan ditempa lewat kemampuan berpikir akademis, komunikasi
dilatih agar mampu menjadi penyampai gagasan pemerintah kepada yang diperintah
secara efektif, sementara praktek pelayanan dibutuhkan untuk merealisasikan
berbagai gagasan agar nyata di pelupuk mata rakyat jelata, bukan sekedar pepesan kosong. Kerja Keras Praja adalah
nilai yang perlu dibangun agar setiap Pamongpraja Muda dapat menggapai apapun
yang dimimpikan di kelak hari. Setiap praja harus ditanamkan spirit bahwa semua
bagian terindah yang akan dicapai hanya mungkin diperoleh jika dikerjakan
dengan sungguh-sungguh. Mengutip ungkapan seorang penulis buku, “sukseslah semuda mungkin, dan silahkan
nikmati masa tua lho...”. Gotong-royong adalah bentuk lain dari kerjasama,
yang dalam bahasa modern bernama team
work. Jepang, China dan Korea
Selatan sudah sampai pada level aplikasi gotong-royong sejati. Kita baru
bergotong-royong kalau bertepatan bertemu momentum Pemilukada dan Pemekaran
Daerah. Rakyat bergotong-royong mengumpulkan amplop sebanyak mungkin untuk soal
dukung mendukung. Elite bergotong-royong meraup APBD dan APBN sebanyak
mungkin. Inilah gotong-royong tak bernilai
yang dipertontonkan masyarakat saat ini, bukan gotong-royong membangun bangsa
atas kesadaran yang tulus.
Apabila media IPDN dengan semua nilai
yang telah melekat selama ini melalui tiga jalur yaitu pengajaran, pengasuhan
dan pelatihan akan digunakan sebagai tempat persinggahan program revolusi
mental, kemungkinan akan terjadi sedikit banyak relaksasi pada subsistem yang
selama ini telah berjalan cukup baik. Strategi yang tepat adalah menciptakan
media baru atau merevitalisasi media yang pernah ada sebagai wadah bagi upaya
mewujudkan gerakan revolusi mental dilingkungan Kementerian Dalam Negeri. Apabila
ini disepakati maka setidaknya dapat terlihat Pertama, perbedaan antara
sebelum dan sesudah dijalankannya gerakan revolusi mental (output dan input). Kedua,
tak terlalu menciptakan degradasi pada sistem yang relatif stabil selama ini di
bidang pengajaran, pengasuhan dan pelatihan di lingkungan IPDN. Ketiga,
lebih mudah untuk mengukur aktivitas program dan kegiatan gerakan revolusi
mental. Keempat, tersedia cukup banyak waktu sebagai tambahan
ekstra-kurikuler praja (selama ini IPDN paling lama waktu cutinya, 2 bulan
lebih). Kelima, area praktikumnya tersedia dibelakang kampus sebagai
pusat kepanduan Indonesia (Pramuka Jatinangor). Keenam, paket program,
kurikulum, prosesi dan tradisi Gerakan Revolusi Mental yang coba
diinternalisasikan sebagaimana telah dipraktekkan untuk pertamakali pada
angkatan 22 IPDN bulan Juni tahun 2015, lebih mudah dikembangkan dengan alokasi
waktu yang lebih lama mulai dari tingkat muda sampai wasana praja, tidak hanya
saat memasuki wisuda selama 3 hari sehingga tak terkesan tergesa-gesa.
Lalu apakah media dimaksud? Menurut
hemat saya adalah perlunya menghidupkan kembali KEPANDUAN INDONESIA, YAITU
KEPRAMUKAAN DI LINGKUNGAN IPDN. Selama ini media kepramukaan di IPDN hanya
berjalan selama kurang lebih 5 tahun pasca insiden Wahyu Hidayat (2004-2010).
Melalui media tersebut maka gerakan revolusi mental lewat berbagai program
mudah di desain dan diukur perkembangannya. Penanaman nilai-nilai integritas,
kerja keras dan gotong royong dapat dilihat dalam aktivitas yang dilakukan
diluar alokasi pengajaran, pengasuhan dan pelatihan dilingkungan IPDN.
Sekalipun demikian, penanaman ketiga nilai tersebut tetap dilakukan secara
bersinergi dengan mekanisme jarlatsuh. Sisi baiknya, IPDN dapat mengambil
alokasi tambahan untuk membentuk karakter praja bernilai lebih dengan
memanfaatkan banyak waktu luang. Dengan
kesibukan yang padat sebagaimana ciri sekolah kedinasan, maka lulusan
Pamongpraja Muda kedepan tidak saja dapat memperoleh banyak pengalaman,
demikian pula penanamana nilai-nilai revolusi mental. Oleh karena secara teknis
kepanduang ada di pusat dan di seluruh daerah (IPDN Regional), maka mudah untuk
membangun kerjasama dan memperluas wawasan dimana saja (lihat sambutan pelepasan
Kepanduan/Pramuka Indonesia dari berbagai elemen ke Tokyo, tgl 20 Juli 2015
oleh Bapak Presiden RI Joko Widodo). Melalui wadah kepanduan tersebut, kita
berharap ketiga nilai strategis di atas dapat terinternalisasi kedalam pribadi
setiap praja. Dengan demikian maka misi gerakan revolusi mental, kepanduan dan
visi perguruan tinggi akan bersinergi dalam 4 (empat) hal jika dikaitkan dengan
pendapat Soelaeman (1998:2) yaitu; terciptanya media konkrit bagi internalisasi
nilai-nilai Pancasila (bibit pembentukan idiologi bangsa/lihat kasus terorisme),
terciptanya wadah bagi pembangunan kesadaran atas penghayatan dan pengamalan
terhadap nilai Ketuhanan Yang Maha Esa (bibit toleransi/lihat kasus Tolikara),
terciptanya wadah bagi pengembangan wawasan komprehensif, integralistik,
holistik atas Indonesia (bibit wawasan kebangsaan/lihat kasus separatisme),
serta terciptanya wadah bagi terbangunnya kesadaran kultural Indonesia (bibit
nasionalisme/lihat kasus konflik horisontal).
Demikian pokok pikiran yang dapat saya
sampaikan dalam penyusunan Inpres Revolusi Mental hari ini. Badandiklat
Kemendagri, Senin, 27 Juli 2015.
Komentar
Posting Komentar