Kompetisi, Peran dan Status Kepala Daerah

Oleh. Muhadam Labolo

Upaya memperebutkan status tertinggi dalam masyarakat kini memperoleh ruang dan waktu yang kian kompetitif.  Status tertinggi yang diperebutkan tentu saja lewat peran sebagai pejabat kepala daerah dalam berbagai tingkatan apakah Bupati, Walikota maupun Gubernur. Ruang dan waktu kompetisi tersedia lebar lewat pemilukada serentak hingga akhir Desember 2015.  Persoalannya, apakah variabel penilaian kita terhadap para kandidat yang tiba-tiba muncul dan bertarung dalam gelanggang demokrasi lokal? Apakah kualitas yang menaikkan dan menurunkan status kandidat kepala daerah  semacam itu? Tentu saja kalau kita bicara dari aspek transedental yang menjadi ukuran adalah nilai abstraktif ketaqwaan. Namun agak sulit rasanya mengukur makna kualitatif itu dalam realitas sosial seperti ini. Kalau ukurannya sekedar KTP tentu saja selesai persoalannya secara administratif di atas meja Komisi Pemilihan Umum Daerah.  Kompetisi diharapkan berjalan dengan cara sehat, dalam arti berlangsung menurut aturan main dan kreativitas tim sukses tanpa harus menyakiti perasaan kandidat lain yang berbeda idiologi, platform, simbol, warna, slogan maupun berbagai perangkat yang di desain guna menarik perhatian basis konstituen. Pada gambar Baliho ada baiknya peran kita dalam berbagai peristiwa dimasa lalu ditampilkan agar rakyat mengenal dan mengenang kembali berbagai aktivitas yang pernah dilakukan guna meyakinkan bahwa kitalah yang paling mungkin untuk dipilih.  Cara-cara demikian tentu lebih persuasif daripada menyerang dengan cara membabi buta terhadap kelemahan pihak lain.  Politik memang berkecenderungan menihilkan cara, ia dalam banyak strategi mengental dalam pikiran tim sukses dan konsultannya hanyalah bagaimana memenangkan kompetisi sekalipun mesti menjerumuskan pasangan lain. Demikian nasehat Machiavelli (1469-1527) yang sangat populer ketika ia bahkan memerankan diri sebagai seorang sejarawan, politisi, diplomat dan philosof di Italia.
Semakin banyak peran kita dikenal lewat Baliho dan spanduk pendek itu saya pikir pemilih akan tergoda untuk menentukan pilihan yang layak.  Memang secara real pengaruh peran yang tertulis diberbagai sarana informasi tak serta merta mengubah persepsi masyarakat, namun ada baiknya jika pesan-pesan yang disampaikan lewat berbagai peran lebih jelas, ringan, korelatif, kontekstual dan up to date sehingga pemilih setidaknya dapat merekam untuk masa 5 tahun kedepan.  Rasa-rasanya kita terlalu bosan dan monoton dengan kalimat-kalimat yang bersifat normatif serta sulit dicerna oleh calon pemilih yang rata-rata berada dibawah standar pendidikan.  Lihat saja beberapa contoh catatan saya sepanjang perjalanan ke daerah-daerah yang sedang mempersiapkan pemilukada, ‘Pilih Yang Jujur dan Terpercaya”, “Pilih yang Telah Berpengalaman”, “Saya Adalah Penyambung Lidah Rakyat”, atau seperti mau menikah yang kedua kali, “Mohon Doa Restu”.  Barangkali lebih kreatif dan mudah diingat slogan nyinyir sopir truk yang tertulis dibelakangnya misalnya, “Dian Satro, Lolos Gadismu Jangan Harap Jandamu”, “Tilas Tapi Raos (Bekas Orang Tapi Masih Sedap), “Pulang Malu Tak Pulang Rindu”, Hilang Wajahnya Tapi Takkan Hilang Rasanya”, “Sopir Bercinta Kenek Menderita”, atau “Bapak Pulang Ibu Basah”. Kadang pula mereka menyindir kaum lelaki dalam bahasa iklan merek terkenal yang dipelesetkan seperti “Nikmatnya Sampai ke Tulang” (KFC), “Besar, Kuat dan Bersahabat” (Standar Chartered), “Nikmatnya Sampai Tetes Terakhir” (Nescafe), “Berdiri Keras dan Kuat” (Bosowa), atau “7 Kali Seminggu, 3 Kali Sehari, 8 Jam Non Stop” (Air Asia).
Sosiolog Talcott Parsons (1902-1979) melihat bahwa status seseorang dalam situs sosial ditentukan oleh seberapa banyak peran yang dimainkan. Jika situs sosial kita anggap sebagai sistem sosial dalam perspektif pemerintahan, maka status seseorang dalam perspektif yang lazim kita nilai seperti tinggi atau rendah dapat ditentukan oleh seberapa banyak peran yang dibebankan dipundaknya. Semakin banyak peran yang dapat dilakukan seseorang dalam sistem sosial menunjukkan semakin besar pula ekspektasi (harapan) masyarakat. Peran terkecil tentu saja berada pada unit paling mikro keluarga. Dalam lingkungan semacam itu kita menjalankan norma yang disepakati menurut tradisi konvensional. Pada unit mikro tadi peran Ayah, Ibu dan Anak secara sosiologis berjalan menurut norma yang berlaku dalam masyarakat. Sekalipun terdapat sedikit perbedaan pada soal pendekatan namun diyakini bahwa peran setiap individu dalam konteks itu relatif sama, yaitu saling melengkapi (melindungi) untuk hidup bersama guna mencapai tujuan yang diinginkan. Mereka yang selama hidup hanya memerankan diri sendiri atau berada dalam status jomblo barangkali dapat dikatakan tak banyak mengambil peran dalam masyarakat dibanding mereka yang berstatus complicated. Seorang Presiden tentu saja menjalankan banyak peran dalam masyarakatnya. Presiden dapat berperan sebagai kepala negara, kepala pemerintahan, kepala angkatan bersenjata, bahkan penanggungjawab atas seluruh akumulasi persoalan yang terjadi dalam suatu negara. Seorang kepala desa tak hanya memerankan diri sebagai kepala pemerintahan didesanya, terkadang bertindak pula sebagai kepala adat, pembina organisasi masyarakat serta pengendali perekonomian di desa.  Seorang pejabat struktural boleh jadi memegang tanggungjawab pada satu jabatan dalam birokrasi namun dalam masyarakat mereka dapat saja berperan sebagai Ketua RW, RT, Ketua Karang Taruna, Pengurus Masjid, Gereja dan sebagainya. Seorang dosen di kampus tidak saja memerankan diri sebagai pengajar, Ia juga berperan sebagai peneliti dan pembimbing dalam masyarakat. Peran semacam itu tanpa disadari mengantarkan seseorang pada status sosial yang lebih tinggi. Maknanya, status yang disandang merupakan simbol atas berbagai harapan yang disandarkan masyarakat. Idealnya, perubahan status ke level yang lebih tinggi selayaknya ditentukan oleh kemampuan seseorang dalam menuntaskan semua ekspektasi masyarakat. Semakin banyak persoalan yang dapat dituntaskan lewat berbagai peran yang dimainkan semakin luas dan kuat pula akseptabilitas masyarakat untuk mendudukkannya pada status yang lebih tinggi seperti kepala desa, lurah, camat, bupati, walikota, gubernur, menteri hingga presiden. Mereka yang telah pernah gagal menjalankan peran pada level paling mikro (peran domestik keluarga) diluar peran lain yang bersifat sekunder tentu saja menjadi catatan berat atas ketidaklayakan dalam memerankan posisi paling bergengsi dalam sistem sosial. Jika kepemimpinan kita anggap sebagai status tertinggi dalam perspektif itu, maka kegagalan mengambil peran pada level tertentu semestinya menjadi catatan kritis untuk tak dipilih kembali. Demikianlah mengapa dinegara-negara yang menjunjung tinggi moral sebagai salah satu standar nilai bagi syarat kepemimpinan tak membolehkan seseorang yang gagal memerankan diri sebagai pengayom terkecil dalam lingkungan keluarga berkompetisi dalam memperebutkan status tertinggi sebagai presiden misalnya.  Dapat pula dipahami mengapa seorang kandidat pemimpin mesti diteliti secara khusus (litsus) tentang kredibilitas perannya dimasa lampau. Pelecehan seksual, tersandera oleh hutang piutang, terlibat dalam bisnis haram, terjebak dalam jaringan narkoba, pengkhianatan pada negara, suap-menyuap hingga berurusan dengan pihak berwajib adalah contoh dimana peran dalam sejumlah konteks mengalami kegagalan yang nyata sehingga berujung pada hal-hal semacam itu. Inilah alat ukur sederhana bagi upaya mendapatkan kepala daerah terbaik dimasa mendatang.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengenang Sartono, M. Jaffar dan Indrarto

Seri: Kajian Filsafat Ilmu Pemerintahan

Pamongpraja, Tinjauan Filosofis, Etimologis, Historis, Relevansi dan Gagasan Kekinian