Peran Antagonis Bagi Kematangan Pemimpin
Oleh. Muhadam Labolo
Dalam
satu kesempatan bedah buku yang diadakan oleh
Bupati Morowali Provinsi Sulawesi Tengah tanggal 25 Mei 2015 di Gedung Aula
Serba Guna Bungku, saya mendapat kehormatan sebagai salah satu pembedah utama
selain penulis buku, tokoh pemuda dan tokoh masyarakat di wilayah tersebut. Buku
biografi Anwar Hafidh (Bupati Morowali) dengan judul Selalu Ada Jalan Keluar, Dengan Logika dan Hati bagi saya cukup
memancing imajinasi intelektual untuk dikuliti satu persatu. Sayangnya, dengan
sisa-sisa tenaga dari Purwokerto-Jogja-Makassar-Palu-Morowali dengan waktu
tempuh lebih dari 15 jam membuat saya tak punya waktu banyak untuk membaca buku
itu, kecuali mencermati judul, cover,
daftar isi, dan relasi judul dengan bahasan di bagian sub bab sebagai pesan
utama. Sesuai
alokasi waktu yang sangat terbatas diberikan moderator sekaligus
salah satu komedian alumni stand up
comedy Metro TV, saya mencoba menyajikan sejumlah catatan positif dan
negatif buku tersebut. Terus terang saja saya terkadang suka
apriori bahwa kebanyakan bedah buku para pejabat
dimana saja selalu dipenuhi oleh puja dan puji, jauh
dari kritik proporsional.
Dalam berbagai sejarah biografi kepemimpinan,
hampir tak ada satupun pemimpin yang mengalami proses pematangan hingga
mengantarkan dirinya ke puncak kesuksesan ataupun kecermalangan kecuali bertalian
hidup bersama sejumlah sosok yang dianggap sebagai penghalang, pengganggu,
musuh, lawan bahkan pesaing. Pesaing seringkali menyertai para pemimpin dalam rupa
dan peran antagonistik yang menjadi musuh bersama (common enenmy). Musa bukan tanpa sengaja dikirim Tuhan bersamaan
dengan hadirnya Fir’aun. Isa muncul dan hidup bersama seorang hipokrit Yudas.
Sementara Muhammad SAW diutus ditengah penantang Abu Jahal dan
Abu Lahab. Semakin banyak pesaing dalam dinamika kehidupan seorang pembaharu semakin
besar peluang mereka menjadi pemimpin besar. Tanpa pesaing
yang dikatakan oleh banyak orang sebagai musuh atau lawan politik, seseorang
mungkin tak akan menjadi pemimpin yang kuat, tegar, dewasa dan matang dalam
menjalankan amanah yang dipikulnya. Persoalannya, banyak diantara pemimpin yang
menganggap bahwa kehadiran kelompok pesaing semacam itu adalah ancaman maksimal
yang mesti ditiadakan. Semakin cepat upaya para pemimpin tadi melenyapkan
kelompok pesaing dalam aktivitas kepemimpinannya, sebenarnya tanpa disadari
mereka sedang memperkecil peluang untuk menjadi pemimpin sejati atau mungkin
pemimpin besar dikemudian hari. Bukankah sosok Soekarno, Soeharto, Habibie,
Abdurahman Wahid, Megawati, Susilo Bambang Yudhoyono dan Joko Widodo adalah
tokoh-tokoh yang juga populer meng-angkasa
karena besarnya tekanan dan kontribusi para pesaing di-eranya masing-masing?
Tentu saja tanpa mesti berterima kasih pada orang maupun kelompok pesaing dalam
masyarakat semacam itu selayaknya disadari bahwa Tuhan dengan sengaja
menyertakan mereka dalam kehidupan setiap pemimpin sekali lagi untuk
mempercepat proses pematangan kepemimpinan.
Dalam perspektif seperti itu saya pikir para pemimpin tak akan dengan
mudah melenyapkan begitu saja para pesaing kecuali menjadikannya sebagai penguat
sekaligus pengantar ke status paling tinggi yang diinginkan.
Peran
antagonistik dan kepemimpinan ibarat bagian
dari dualitas mata uang yang saling membutuhkan.
Tanpa kedua sisi tentu saja sekeping mata uang tak ada artinya. Satu sisi bernilai angka (kuantitatif), sisi
lain dapat bergambar orang, binatang atau istana kerajaan (kualitatif). Jika hanya salah satu yang kita sodorkan
dalam transaksi jual-beli tentu saja dapat
gugur dengan sendirinya, atau tak
diakui. Maknanya kita membutuhkan keduanya. Soal angka atau bukan angka, soal baik atau
buruk, soal benar atau salah ia merupakan dualitas yang tak dapat dinihilkan
begitu saja. Bukankah kejahatan sekalipun tak diinginkan memiliki manfaat bagi pekerja
seperti polisi, jaksa, hakim, pengacara, hingga pekerja spiritual yang bertugas
menyadarkan. Karenanya, benarlah kata para pembaharu bahwa tak ada satupun yang
sia-sia diciptakan Tuhan, semuanya memiliki arti dan manfaat bagi
lingkungannya. Apabila oposisi menang
sebagai pemeran antagonis, tentu merekalah kelompok yang dipercaya untuk
memimpin pemerintahan dalam masa tertentu.
Sebaliknya, jika para petahana
yang menang dalam kompetisi merebut hati rakyat, maka yang lain tak perlu
dikecilkan apalagi sampai dimatikan. Di negara-negara demokratis, peran
kompetitor sangat dibutuhkan sebagai penyeimbang sekaligus instrumen bagi pematangan
kepemimpinan pemerintahan yang terpilih. Dapat dipahami mengapa partai demokrat
di Amerika membutuhkan partai republik, demikian sebaliknya. Lalu apa kritik
penting saya terhadap buku Pak Bupati? Saya katakan bahwa buku yang dibedah
hari itu sebenarnya tak berimbang, sebab yang terbaca hanya berbagai deskripsi
tentang success story dari gunting
pita hingga gunting rambut seorang bupati. Saya tak menemukan cerita tentang
peran sejumlah tokoh antagonis yang justru mematangkan kepemimpinan sang
bupati. Buku itu juga nihil kontribusi istri dalam mendukung kehebatan sang
bupati, bahkan minim memperlihatkan partisipasi wakil bupati kecuali berada
dibelakang kamera sebagai pelengkap seremoni. Bagi saya, mereka adalah bagian
dari penentu kecermalangan seorang bupati, sebab bupati tak mungkin mampu
berdiri tegak di depan masyarakatnya tanpa keterlibatan semua tokoh penting
termasuk kepala dinas, kepala badan, kepala kantor, guru, nelayan, petani, bahkan
anggota DPRD paling kritis sekalipun. Akhirnya, menutup uraian singkat dalam
bedah buku itu, saya katakan bahwa seandainya buku ini adalah skripsi, tesis
ataupun disertasi, maka tentulah membutuhkan revisi panjang dari aspek
epistemologinya. Namun, menimbang secara
subjektif Pak Bupati adalah senior saya, rekan sekerja ketika bertugas di
Palopo, se-daerah kelahiran, bahkan pernah menjadi komandan upacara di IPDN,
cukuplah kritik objektif ini saya tujukan buat tim penulisnya agar buku selanjutnya
dapat memberi banyak pelajaran bagi siapapun yang akan membacanya. Tekanan
tersebut membuat pak wakil bupati dan sejumlah hadirin senyam-senyum setelah
sebelumnya penuh riuh akibat joke yang
saya tebarkan di awal. Saya memang sengaja mendahulukan lawakan kecil itu agar
kritik saya dapat mendarat di atas bantal yang empuk, bukan paku berduri yang
menyakitkan. Bahkan setelah
ditimbang-timbang, barangkali lebih banyak joke
saya ketimbang catatan kritis. Barangkali
itu yang membuat seorang peserta yang lagi kepo
tiba-tiba nyeletuk disela-sela acara dan berkata, “semestinya bapak lebih lama
durasinya, tapi tadipun sudah cukup, terkesan singkat, padat, berani, cerdas,
penuh makna dan tentu saja sangat menghibur. Saya bilang, “semoga ketemu
kembali dalam buku berikutnya, saya masih lelah, kurang tidur, sehingga saya
hanya sempat membaca lewat teknik hit and
run”.
Komentar
Posting Komentar