Kesenjangan Jarak Antara Pemerintah dan Masyarakat


Oleh. Dr. Muhadam Labolo

          Sejak kasus Q.S Al-Maidah ayat (51) dipencarkan oleh salah satu pasangan calon kepala daerah di Ibukota Jakarta, relasi antara negara dengan masyarakat mengalami dinamika yang cenderung membelah jarak dalam tekanan dan tensi psikologi yang cukup mencemaskan. Ditengah kecurigaan yang meningkat secara vertikal, relasi antar kelompok masyarakat berbasis agama, etnik, ras hingga golongan pun mengalami ketegangan yang lebih terasa lewat media sosial. Entah berapa kubik potret atas realitas sungguhan maupun berita penuh muatan hoax diproduk dari berbagai sumber pada ujungnya secara laten menumbuhkan bau kebencian, kekesalan bahkan bibit kesumat direlung hati pemegang medsos. Sekalipun setiap hari pula berseliweran informasi penuh motivasi, tips hidup sehat, hingga warning spiritualitas pada kita, namun tetap saja gempuran informasi tuna kebhinekaan itu mengecilkan semangat untuk terus hidup bersama. Saya tidak akan masuk kesana, tulisan singkat ini hanya akan memotret kesenjangan antara pemerintah dan masyarakat dari perspektif sistem secara sederhana.
Dalam imaji teoritik, negara pada dasarnya hanyalah sebuah konsep yang abstrak. Negara tersusun rapi atas sejumlah unsur seperti eksistensi pemerintahnya, batas teritorial administrasinya, mobilitas penduduknya, serta tak ketinggalan pengakuan dejure dan defacto dari kolektivitas negara di dunia. Diantara keempat unsur itu eksistensi pemerintahlah yang paling konkrit merepresentasikan suatu negara. Praktis pemerintah pula yang bertugas mengklaim batas-batas teritorial sebuah negara, menentukan keabsahan seseorang sebagai warga negara dalam jarak perlindungannya, serta meyakinkan lingkungan pergaulan dunia untuk mengakui esksistensinya baik secara politik maupun hukum.  Sebagai personifikasi negara, pemerintah diproduk oleh masyarakatnya. Semakin berkualitas masyarakat dalam suatu negara semakin mungkin terpilih pemerintah yang ideal. Demikianlah mengapa wajah setiap pemimpin dianggap cukup merepresentasikan keinginan masyarakatnya sekalipun dalam banyak kasus sebaliknya. Untuk menghasilkan pemerintah yang berkualitas itu tentu saja masyarakat membutuhkan seperangkat mekanisme yang ideal pula agar proses selection maupun election itu benar-benar tidak saja mampu menjamin lahirnya suatu output berupa komposisi pemerintahan yang bermutu, juga memberi dampak positif bagi tercapainya kemakmuran serta kesejahteraan materil maupun non material (outcome, benefit dan impact). Realitasnya, kesejahteraan sebagai tujuan kolektif masyarakat itu tak selalu sejalan dengan tujuan ideal yang disepakati dalam kontrak politik pada setiap periode sebagaimana tergambar dalam konstitusi lengkap dengan turunannya. Kualitas masyarakat dalam memilih pemerintahnya terlihat jelas lewat semua tahapan seleksi diatas. Pada sejumlah pengalaman tampak bahwa tahapan input hanya dipadati oleh sekumpulan elit bernama partai politik. Partai politik sejogjanya dibentuk sebagai media penyaring mewakili masyarakat agar terpilih sosok pemerintah yang ideal.  Oleh sebab pengurus partai politik adalah kumpulan orang yang tak berurat, apalagi berakar di jantung hati masyarakatnya, maka proses menentukan bakal calon pemimpin hanyalah ritual formalistik dimana masyarakat hanya dapat mengintip dibilik bambu atau menjengket kaki agar sedikit terlihat ditengah lingkaran pesta demokrasi nan ramai.  Pada tahapan proses lain lagi, mekanisme demokrasi di desain ibarat mesin canggih yang dihadapkan pada sekumpulan masyarakat dengan kualitas pendidikan dan pendapatan berada di stadium memprihatinkan. Dengan mengambil ukuran kecerdasan dan ketebalan kocek warga di ibu kota, mekanisme demokrasi disodorkan ibarat menu empat sehat lima sempurna.  Akibatnya dapat dibayangkan, ditengah indeks kedalaman dan keparahan kemiskinan yang terdistribusi merata diluar ibukota mereka bergerak memilih pemimpin bukan dibawah kendali akal sehat, namun lebih didorong oleh semangat nomer piro wani piro (NPWP). Partisipasi politik tampak selain menurun juga semu dalam pandangan mata.
Dari dua tahapan itu maka terpilihlah pemerintah sebagai output-nya.  Keluaran tersebut secara faktual harus diterima secara hukum meskipun hakekatnya berjarak lebar dari sumbernya (masyarakat).  Maka ibarat cermin, pemimpin terpilih itu tak sepenuhnya sama persis dengan wajah publik. Wajah pemimpin itu penuh kepura-puraan, penuh bedak, penuh gincu, penuh lipstick bahkan dibalut topeng sehingga keindahan rupa pada cermin tak serupawan dalam realitas di dunia blusukan. Pada konteks semacam itu tanpa sadar cermin seringkali menjadi sasaran kemarahan. Semakin panik pemimpin melihat wajahnya yang buram penuh bopeng, semakin banyak cara yang digunakan untuk meng-ampelas wajah agar terlihat sempurna termasuk berbohong pada masyarakatnya. Berbohong sekali mungkin dapat dimaafkan, namun kebohongan berulangkali dapat mengubah kepercayaan menjadi resistensi.  Pemerintah yang terlalu sering berbohong dapat menimbulkan dua penyakit utama, yaitu meningkatkan antibody menjadi satu karakter buruk yang sulit diubah menjadi pemerintah pembohong. Penyakit kedua adalah munculnya gejala antibody pada masyarakat hingga menjadi masyarakat apatis. 
Pemerintah tanpa legitimasi sulit memberi manfaat bagi masyarakatnya (outcome). Kalaupun ada, sebesar-besarnya manfaat itu hanya untuk kepentingan segelintir orang yang berada dibelakangnya, bukan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat. Manfaat pemerintah tidak dirasakan oleh orang banyak. Pemerintah seakan jauh dari kehadiran sebagaimana prinsip filosofistiknya hadir dimana saja (omni presence). Kehadiran pemerintah biasanya bersifat formalistik dan transaksional.  Formalistik biasanya ditandai oleh sejumlah aktivitas seremonial baku yang jauh dari sentuhan ke titik-didih yang dikehendaki masyarakat. Transaksional ditandai oleh gelondongan bantuan sosial dan hibah yang kadang habis dikonsumsi lalu hilang tanpa bekas. Pengalaman menunjukkan bahwa bantuan sosial hanyalah upaya menurunkan tensi ketegangan masyarakat sesaat seperti menurunkan suhu panas badan dengan bodrex atau mengganjal perut dengan makanan instant.  Sepulang dari kerumunan semacam itu seluruh persoalan yang telah dilepas dimuka umum tak kunjung datang jawabannya, bahkan bantuan sosial hanya bertahan seminggu. Yang tersisa hanya sepotong photo selfi antara pemimpin dan masyarakatnya. Inilah tahapan yang meninggalkan jarak lebih lebar antara pemerintah dan masyarakatnya dalam kehidupan maya tanpa terhubung secara berkelanjutan.
Lalu apa keuntungan (benefit) kesejahteraan yang lahir dari pemerintahan semacam itu? Tentu saja bukan kesejahteraan materil dan non materil namun kemelaratan yang nyata. Pemerintah yang berjarak sedemikian jauh dari masyarakatnya sudah barang tentu sulit menangkap cita-cita rakyatnya apalagi merespon dengan cepat. Ditengah keterasingan akibat jarak semacam itu pemerintah bukannya memberi banyak keuntungan bagi masyarakatnya, justru masyarakat menjadi satu-satunya objek pajak paling menjanjikan guna menutupi semua kebangkrutan yang dialami. Akhirnya, dampak (impact) paling mungkin yang dapat dibayangkan adalah sikap resistensi akut dan perilaku apatisme politik yang dapat membahayakan masa depan sebuah negara. Kesejahteraan yang bertambah mendorong kepercayaan. Kepercayaan mendorong elektabilitas sebagai bentuk dukungan. Sebaliknya, kemakmuran yang gagal mendorong resistensi. Sifat resistensi menciptakan daya tolak bagi elektabilitas pemerintah pada periode berikutnya.  Inilah gambaran betapa jarak antara pemerintah dan masyarakat dalam siklus kebijakan publik mengalami kesenjangan yang semakin lebar.




Komentar

  1. http://beritapolitikterkini1945.blogspot.com/2017/06/trump-tantang-mantan-direktur-fbi.html
    http://beritapolitikterkini1945.blogspot.com/2017/06/naiknya-cadangan-devisa-bisa-jadi.html
    http://beritapolitikterkini1945.blogspot.com/2017/06/menunggu-gebrakan-polisi-ungkap.html
    http://beritapolitikterkini1945.blogspot.com/2017/06/militer-korsel-temukan-drone-korut-di.html

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengenang Sartono, M. Jaffar dan Indrarto

Seri: Kajian Filsafat Ilmu Pemerintahan

Pamongpraja, Tinjauan Filosofis, Etimologis, Historis, Relevansi dan Gagasan Kekinian