Renegosiasi Kembali Keadilan Energi Bagi Masyarakat Banggai

Oleh. Dr. Muhadam Labolo

          Dalam kurun waktu lima tahun terakhir pengelolaan sumber daya alam di Kabupaten Banggai Provinsi Sulawesi Tengah tampak berjalan normal ditengah sesaknya ketidakadilan.  Normal, karena praktis tidak ada satupun kendala yang dihadapi oleh para pemilik modal di LNG Senoro maupun pertambangan lain yang dikelola pertamina.  BUMN plat merah dan swasta sebagai penyokong utama pertambangan berkelas atas di kampung halaman saya itu praktis menikmati limpahan rezeki dengan omset lebih kurang 42 Milyar perhari, bukan perminggu, perbulan, apalagi pertahun (Sutomo,2016). Dari manakah angka asumsi 42 Milyar/hari itu? Dengan menggunakan perhitungan kasar maka 415mmscfd x 1.000mmbtu/mmscfd x USD 7,5 permmbtu x Rp. 13.500 per USD diperoleh angka fantastis tersebut. Dengan omset energi sebesar itu semestinya penduduk di Kabupaten Banggai yang hanya terdiri dari 323.872 orang (Wikipedia, 2017) tak perlu membayar listrik apalagi menanak nasi pakai kompor dan gas eceran.  Disinilah ketidakdilan berjalan damai dengan kenormalan.  Kita mesti berterima kasih kepada nenek moyang masyarakat Banggai, sebab limpahan energi yang dikandung oleh perut bumi Banggai adalah hasil dari perasan fosil nenek moyang dan kini berubah dalam berbagai bentuk setelah disuling lewat teknologi modern. Hasilnya dapat berbentuk minyak tanah, spertus, premium, pertamax, biosolar, pertalite, dex, avtur, gas dan sebagainya.  Dengan ragam energi semacam itu maka penghasil di hulu hingga penjaja di hilir dapat dibayangkan nilai pertambahan kekayaannya.  Lalu tuntutan moral apa yang perlu saya sampaikan dalam tulisan ini ? Tentu saja seberapa besar kontribusi energi Donggi Senoro tersebut bagi kemaslahatan masyarakat Banggai yang secara absolut berhak atas tetesan keringat nenek moyangnya. Sebab membandingkan dengan pengelolaan energi di Aceh, Papua dan Kaltim, tampaknya masyarakat disana sudah lebih dulu memperoleh tetesan dari perasan tulang-belulang nenek moyangnya dibanding masyarakat Banggai yang dianggap sepi ing pamrih rame ing gawe.  Limpahan energi itu faktanya hanya mengalir kencang ke saluran Mitsubishi, Medco dan PLN. Masyarakat Banggai tetap saja mensubsidi sendiri gas dan lampu listrik di siang dan malam hari.
Di Aceh, pengelolaan Gas Arun memberi banyak konsesi bagi Pemda dan masyarakatnya apakah dalam bentuk subsidi langsung maupun subsidi tak langsung. Di Papua, keuntungan pengelolaan energi mengalir deras lewat dana otonomi khusus yang kini menetes hingga ke tenggorokan masyarakat Papua di pelosok desa pedalaman. Di Kaltim, kelebihan energi menetes normal kerumah tangga masing-masing. Sisanya dimanfaatkan dalam bentuk pengelolaan Pupuk Kaltim yang terkenal di seantero nusantara. Pemda melalui BUMDnya tampak berjaya dan tak kehilangan muka didepan kaum kapitalis yang menyedot habis kekayaan energi masyarakat awam.  Dalam kasus Senoro, alokasi gas domestik tampaknya tak dinikmati dengan nyaman oleh BUMD Pemkab Banggai, lebih-lebih konsesi bagi masyarakat Banggai secara luas.  Kendatipun  relasinya dengan pertambangan semacam itu dijamin seratus persen oleh UU Nomor 22 Tahun 2001 Tentang Migas, BUMD Pemkab Banggai tampak hidup tak mau mati tak hendak setelah menderita gagal panen sejak penyertaan modal APBD beberapa tahun lalu yang mengalami masalah hukum. Jika mereka diberi kesempatan dan suntikan modal yang sama dari sumber-sumber pertambangan diatas tentu saja nasibnya akan lebih baik sebagimana BUMD di Provinsi Kalimantan Timur.  Sekiranya itu terjadi bukan mustahil BUMD Kab Banggai dapat membangun pembangkit tenaga listrik tenaga gas tanpa harus menderita listrik padam seminggu sekali sebagaimana jamak dirasakan akhir-akhir ini.  Sayangnya PLN tampaknya mengubah sepihak RUPTL dan menutup kesempatan BUMD dan swasta untuk lebih berperan dalam hal ini.
          Dari sisi keseimbangan sumber daya, dapat kita bandingkan kontribusi dan efek LNG Senoro dan Pertamina di Kabupaten Banggai. Dengan asumsi terdapat sekurang-kurangnya 15.000 serapan tenaga kerja di wilayah potensial tersebut dengan gaji 5-10 juta rupiah, faktanya serapan tenaga kerja domestik sangat rendah dan berada di level buruh kasar.  Kita mungkin akan kesulitan menemukan seorang presiden direktur atau komisaris maupun job bergengsi sederajat itu kecuali buruh kasar yang notabene berasal dari masyarakat Banggai. Komposisi pengelola sumber energi di perusahaan pertambangan baik di pusat maupun di daerah terdiri dari kelompok kapitalis terdidik dan berpengalaman baik swasta maupun unsur pemerintah pusat.  Malangnya kita tak menemukan satupun putra asli daerah yang berasal dari kelompok swasta maupun pemerintah duduk bermartabat untuk turut mengontrol mobilitas harta karun nenek moyang masyarakat Banggai. Supervisor dan manager keatas didominasi oleh tenaga kerja import Korea dan Jepang.  Komposisi yang jauh dari representasi keadilan tersebut juga beresiko dimana sulit bagi kita untuk mengontrol dampak negatif yang ditimbulkan dalam kurun waktu 10-20 tahun kedepan, apakah semakin baik atau hanya meninggalkan hamparan kering yang rusak bagi isi perut generasi mendatang.  Parahnya, keempat perusahaan raksasa itu (Pertamina, Medco, Mitsubishi dan Panca Amara Utama) tak sedikitpun membuka diri untuk jujur pada masyarakat Banggai tentang sejauhmana kontribusi CSR dan peta pemberdayaan masyarakat disekeliling sumber energi tersebut. CSR keempat perusahaan itu kedengaran jatuh pada sejumlah lembaga non government diluar kampung halaman. Dengan alasan pemberdayaan desa mandiri masyarakat Banggai tampaknya tak lebih dari sekedar objek yang dibungkus melalui proposal ilmiah sehingga terkesan rasional. Tidakkah dengan hati nurani yang tulus keempat pengebor minyak dan gas dikampung saya itu membagi posisi untuk putra asli daerah untuk bagian humas dan CSR agar tampak lebih seimbang?  Menurut saya, jika Pemda dan DPRD sendiri sudah tak bersemangat lagi sebagai representasi masyarakat Banggai dalam mengartikulasikan kekayaan yang terampas dan menganggap bahwa bagi hasil yang telah ditentukan selama ini telah sesuai amanah UU, tentu saja itu sebuah kepandiran  dan kebohongan luar biasa. Sebuah kebohongan yang sama ketika masyarakat Aceh dan Papua dikelabui bertahun-tahun lamanya hingga mereka memperoleh keadilan tanpa letih masuk-keluar hutan mengangkat senjata dengan nama GAM dan OPM.  Akankah saya dan kawan-kawan di Jakarta yang terdidik sebagai putra asli Banggai mesti dipaksa masuk hutan dulu hanya untuk memperjuangkan keadilan yang dirampas oleh komprador asing dan aseng hari-hari ini? Bagi saya dan kawan-kawan ini hanya soal waktu, dimana mereka yang paham akan makna keadilan akan gelisah dan turun kelapangan.  Belajar dari itu, bagi Pemda sendiri tak perlu mengulang kelalaian yang sama dengan rezim sebelumnya dimana terdapat sejumlah energi tak terbarukan menunggu didepan mata dan siap digagahi oleh penambang kelas kakap.  Dalam banyak hal kita tak pernah merasa tersinggung dan marah ketika energi di sedot didepan mata lalu masyarakat hanyalah penonton dan satpam dihalaman rumahnya sendiri. Mengutip firman Allah Swt, “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum kecuali kaum itu sendiri yang mengubah apa-apa yang ada pada diri mereka” (QS.13:11).

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Seri: Kajian Filsafat Ilmu Pemerintahan

Pamongpraja, Tinjauan Filosofis, Etimologis, Historis, Relevansi dan Gagasan Kekinian

Memosisikan Mahakarya Kybernologi Sebagai Ilmu Pemerintahan Berkarakter Indonesia[1]