Relasi DPRD Dengan Pemerintah Daerah Dalam Undang-Undang Pemerintahan Daerah
Oleh. Muhadam Labolo
Pasca revisi UU 32/2004
menjadi UU 23/014 Tentang Pemerintahan Daerah, eksistensi DPRD menjadi lebih terang
benderang sekalipun pada sisi lain tetap mengandung misteri. Kejelasan
eksistensi DPRD tersebut setidaknya terlihat dalam pasal 2 UU No. 23/2014
dimana kedudukan DPRD adalah pejabat daerah. Selama ini satu-satunya entitas
yang tidak jelas jenis kelaminnya adalah DPRD, apakah pejabat negara atau
pejabat daerah. Konsekuensi sebagai pejabat daerah inilah yang menjadi dasar
mengapa diperlukan revisi terhadap PP 24/2007 dan turunan revisinya (37 dan 21/2008)
Tentang Kedudukan Protokol dan Keuangan Pimpinan dan Anggota Dewan. Sayangnya hingga memasuki awal tahun 2017
sejak janji Presiden SBY dan Jokowi, peraturan tersebut tak kunjung selesai
disesuaikan. Lamanya penyesuaian tersebut mengakibatkan DPRD sulit untuk
diperlakukan sebagai pejabat daerah dibanding Kepala Daerah dan Wakil Kepala
Daerah yang selama ini statusnya jelas sebagai Pejabat Negara. Persoalan yang selalu muncul adalah apakah
perlakuan terhadap DPRD setaraf dengan pejabat eselon tertentu di level pemerintah
provinsi dan kabupaten/kota ataukah perlakuan terhadap DPRD hanya pada soal
keprotokoleran dan keuangan semata. Pada
soal protokoler misalnya, apakah perlakuan terhadap DPRD sama persis dengan
pejabat daerah sekelas pimpinan tinggi pratama, madya atau utama. Atau, karena UU Nomor 5 Tahun 2014 Tentang
ASN tak mengenal istilah eselonisasi sebagaimana UU No. 23 Tahun 2014 Tentang
Pemerintahan Daerah, apakah perlakuan terhadap DPRD setaraf dengan eselon dua
atau eselon satu di level provinsi.
Dalam konteks keuangan bagi pimpinan dan anggota DPRD, apakah standar
gaji dan tunjangan sama juga dengan pejabat daerah yang disetarakan dengan itu
(eselon atau pejabat tinggi tertentu).
Masalahnya, bila kedudukan DPRD disamakan dengan pejabat pemerintah
daerah, maka perhitungan gaji pokok DPRD semestinya tidak lagi didasarkan pada
gaji pokok kepala daerah sebagai pejabat negara, tetapi didasarkan pada gaji
pokok pejabat pemerintah daerah. Jika hal itu disepakati maka kemungkinan gaji
pokok DPRD jauh lebih tinggi dibanding standar gaji pokok kepala daerah dan
wakil kepala daerah yang hingga saat ini juga belum mengalami perubahan. Apabila
PP terbaru menjawab semua itu maka Pemda segera menyesuaikan penganggaran yang
sesuai bagi aktivitas DPRD di tahun 2017.
Jika kita bandingkan
dengan UU 22/1999 Tentang Pemerintahan Daerah, posisi DPRD seakan terlepas dari
pemerintah daerah. Pada UU ini kekuasaan
Pemda mengalami pergeseran ke DPRD (legislative
strong). Pada UU 32/2014 kedua entitas tersebut tampak mencari keseimbangan
sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah. Terlepas dari itu, pertanyaan umum yang
sering dilontarkan adalah bagaimanakah relasi DPRD dengan pemerintah daerah
pasca revisi undang-undang pemerintahan daerah? Marilah kita lihat dinamika fungsi
awal DPRD yaitu legislasi, keuangan dan pengawasan. Sejak putusan MK terhadap sejumlah pasal pada
UU 27/2009 DPRD dinilai bukan Badan Legislatif sebagaimana DPR. Konsekuensi
atas putusan itu maka fungsi legislasi DPRD dalam UU tersebut dicabut.
Kedudukan dan fungsi DPRD selanjutnya diatur lebih jelas lewat UU No.23/2014
Tentang Pemerintahan Daerah. Oleh karena
DPRD bukan badan legislatif maka DPRD tidak menjalankan fungsi legislasi (membuat
undang-undang) tetapi melakukan fungsi lain yang setaraf dengan itu yaitu membentuk
peraturan daerah. Implikasinya alat kelengkapan DPRD berubah dari Badan
Legislasi (Baleg) menjadi Badan Pembentukan Peraturan Daerah (Bapemperda). Jadi
DPRD dalam hal ini bukanlah pembuat undang-undang yang bersifat nasional
sebagaimana DPR yang diatur dalam konstitusi namun sebagai pembentuk peraturan
daerah yang bersifat lokalistik dan berpedoman pada undang-undang yang lebih
tinggi. Tentang ketentuan teknis soal itu dapat dilihat pada Permendagri
No.80/2016 sebagai pengganti Permendagri No.1 Tahun 2014 Tentang Pembentukan
Produk Hukum Daerah.
Lalu sejauhmanakah fungsi DPRD dalam hal keuangan
daerah. Putusan MK No. 35/PUU-XI/2013 terhadap sejumlah pasal pada UU No.27/2009
Tentang MD3 dan UU Keuangan Negara, tampaknya pemerintah membatasi kewenangan
DPR dalam pembahasan anggaran hingga satuan tiga (fungsi, program, kegiatan dan
jenis belanja). Terlepas bahwa putusan
MK tersebut hanya ditujukan pada DPR, namun Surat Edaran Sekretaris Kabinet di
masa SBY No. SE-8/Seskab/VI/2014 tgl. 11 Juni 2014 dan SE Mendagri
No.902/3224/SJ tgl. 24 Juni 2014 point 1 huruf (a) menyebutkan bahwa persetujuan
DPR/DPRD terhadap APBN/APBD tidak mencakup pada pembahasan hingga unit
organisasi, fungsi dan program atau satuan tiga. Artinya putusan MK terhadap
DPR dianggap mutatis mutandis
terhadap fungsi DPRD dalam hal keuangan di daerah. Konsekuensi lebih jauh atas
surat edaran tersebut berarti fungsi DPRD dalam hal keuangan dibatasi hingga ke
aspek jenis belanja yang bersifat operasional. Dalam hal ini DPRD lebih pada
aspek pembahasan strategi kebijakan dan cenderung dipaksa menyetujui
perencanaan teknis operasional yang di desain pemerintah daerah dalam bentuk
program dan kegiatan rutin.
Dalam konteks fungsi pengawasan DPRD tampak pula bahwa
sebagai konsekuensi atas posisi DPRD sebagai salah satu unsur penyelenggara
pemerintahan daerah selain kepala daerah maka sulit bagi DPRD melaksanakan
fungsi pengawasan yang sesungguhnya karena berada dalam satu kamar
penyelenggaraan pemerintahan daerah (fused
model). Ditengah lemahnya fungsi pengawasan DPRD, konstruksi bikameral
ditingkat lokal semacam itu relatif menjamin stabilitas penyelenggaraan
pemerintahan daerah karena pertanggungjawaban kebijakan secara umum berada
ditangan kedua institusi. Lalu bagaimana
relevansinya dengan perangkat daerah dibawahnya? Didalam UU No.23/2014 dan PP
No.18/2016 Tentang Perangkat Daerah disebutkan bahwa perangkat daerah adalah
unsur pembantu kepala daerah dan DPRD dalam penyelenggaraan urusan
pemerintahan. Memaknai batasan ini maka
seluruh perangkat daerah yang menyelenggarakan urusan pemerintahan merupakan
unsur pembantu Kepala Daerah dan DPRD. Dapat dipahami bahwa batasan ini muncul
disebabkan DPRD maupun kepala daerah berada dalam satu kamar dimana
masing-masing adalah unsur penyelenggara pemerintahan daerah. Dampak lebih jauh terhadap batasan ini tentu
saja dapat menyeret keikutsertaan DPRD dalam menentukan tidak saja struktur
organisasi perangkat daerah, demikian pula komposisi personil yang layak atau
tidak menjadi unsur pembantu keduanya.
Tentu saja hal ini dapat memicu potensi konflik baru antara DPRD dan
Kepala Daerah. Mungkin strategi yang
tepat dalam menjaga harmoni kedepan adalah perlunya suatu desain perda
inisiatif tentang Tata Cara Pengangkatan Pejabat di Lingkungan Pemerintah
Daerah sehingga keterlibatan DPRD dan Kepala Daerah dalam menentukan para
pembantunya dapat dikomunikasikan bersama selain syarat lain yang telah
ditentukan dalam Undang-Undang ASN dan Pemda. Dalam hal fungsi pembentukan peraturan daerah
perlunya di desain perda inisiatif tentang Tata Cara Pembentukan Produk Hukum
Dilingkungan Pemerintah Daerah sehingga semua usul inisiatif DPRD maupun Pemda
dapat dibahas dan disetujui bersama. Hal ini untuk mencegah terciptanya masalah
pembatalan/sabotase pembahasan dari salah satu unsur penyelenggara pemerintahan
daerah, termasuk upaya mengantisipasi hasil evaluasi ranperda oleh entitas
pemerintah yang lebih tinggi (provinsi dan pemerintah). Dalam banyak kasus pasca evaluasi ditingkat
yang lebih tinggi mendorong terjadinya konflik laten antara DPRD dan Kepala
Daerah akibat raibnya sejumlah program dan kegiatan dengan alasan yang tidak
jelas. Masing-masing bertahan dengan
argumentasi yang tak memiliki dasar apakah perlu duduk kembali antara Banggar
dan TAPD ataukah cukup direvisi oleh pemerintah daerah. Bila hasil evaluasi bersifat perbaikan
redaksional mungkin tak perlu melibatkan DPRD, namun bagaimana jika berkaitan
dengan representasi DPRD di sejumlah dapil yang selama ini telah diperjuangkan dengan
sungguh-sungguh? Perda inisiatif semacam itu menurut hemat saya dapat sekaligus
mengatur sejauhmana keterlibatan DPRD dalam hal penggunaan fungsi keuangan
khususnya pembicaraan pada skala satuan tiga yaitu program, kegiatan dan jenis
belanja.
Komentar
Posting Komentar