Ironi Kelangkaan Minyak Goreng
Oleh. Muhadam Labolo
Kemandirian bangsa terus di uji. Di uji lewat kelangkaan minyak goreng hingga minyak bumi (solar). Minyak goreng bersentuhan dengan hajat hidup orang banyak. Maklum, harga diri seorang Emak dihadapan keluarga bergantung pada bahan pokok itu. Anak dan suaminya tak peduli, bila waktunya makan semua tersedia lewat proses minyak goreng.
Dulu, minyak bumi umumnya dipakai sebagai bahan bakar. Konsumennya mayoritas kelompok berkenderaan. Kini bahan bakar alternatif diperoleh lewat tumbuh-tumbuhan. Satu diantaranya kelapa sawit. Bumi tak selamanya sanggup mendekomposisi tulang-belulang menjadi minyak. Butuh ratusan tahun dan tak dapat diperbaharui. Beda bahan bakar nabati yang dapat ditumbuh-kembangkan hanya dengan berkebun Sawit.
Bahan bakar nabati salah satunya dapat menghasilkan biodisel. Energi dan tumpuan hidup manusia dimasa depan. Hebatnya, Indonesia adalah negara penghasil Sawit tertinggi di dunia dengan 48,42 juta ton pertahun (BPS, 2019). Jauh melampaui Malaysia & Thailand dengan pertumbuhan 3,61% pertahun. Dunia jelas bergantung pasokan pada Indonesia. Bila serius, energi itu dapat mengantarkan kita ke pintu gerbang kemakmuran.
Di Sumatera bagian selatan, sepanjang mata memandang yang tumbuh hanya Sawit. Kiri-kanan jalan dari Bengkulu, Kepahyang, Lubuk Linggau, Musi Rawas dan Musi Rawas Utara dipenuhi rumpun Palma itu. Malangnya, sebuah video menampilkan ledakan antrian minyak goreng di salah satu pusat perbelanjaan Lubuk Linggau. Di tempat lain terjadi hal yang sama, rebutan minyak goreng di toko swalayan, bahkan menimbulkan korban jiwa.
Kelangkaan tersebut menimbulkan pertanyaan, dimanakah kemandirian bangsa sesuai visi Nawacita. Secara teknis, dimanakah kehadiran pemerintah dalam mengontrol sepak terjang subkultur ekonomi hingga mencemaskan subkultur sosial. Dua soal itu seakan mendorong kita merenungkan kembali visi dan eksistensi pemerintah terkait tanggungjawab alokasi, distribusi dan stabilisasi pasar.
Tanggungjawab itu adalah kemampuan mengatur tetesan Sawit dari hulu hingga hilir. Sebanyak Sawit di Sumatera Selatan misalnya hanya tersedia 1 pabrik pengubah CPO menjadi minyak goreng. Tumpahan besar dengan mudah di lego ke luar negeri. Apalagi jika kewajiban 20% minimal konsumsi domestik tak di kontrol dengan tegas. Para pelaku meraup untung seraya menyuap pengambil kebijakan agar di lisensi. Jadilah kejahatan yang dilegalisasi. Hasilnya tak ada yang dapat disentuh kecuali penimbun minyak goreng kelas teri. Mereka kambing hitam.
Sawit, tanaman yang memiliki nilai ekonomi tinggi. Tanaman hutan ini menghasilkan ragam kebutuhan seperti cokelat, keju, margarin, lipstik, sabun, sampo, hingga kue kering. Secara ekonomi nilainya relatif tinggi ketimbang di peras menjadi minyak goreng. Dapat dipahami jika arus perdagangan sawit ke pasar luar negeri lebih kompetitif dibanding melepas sawit di swalayan dalam wujud minyak goreng.
Ibarat produk bahan bakar, nilai tertinggi mulai pertamax plus hingga pertalite. Di pasar, nilai ekonomi Sawit bergantung kebutuhan. Bila di produk untuk cokelat dan keju tentu nilainya lebih tinggi dibanding bermetamorfosis ke Ibu rumah tangga dalam rupa minyak goreng. Disini berlaku hukum besi, hanya mereka yang mampu yang dapat mencicipi minyak goreng kelas premium. Sisanya, menyaring minyak curah yang umumnya tak terstandarisasi.
Dalam logika ekonomi rasional itu, para pelaku membawa komoditi ke pasar yang menjanjikan profit besar. Dampaknya kelangkaan domestik. Tentu realitas pasar semacam itu tak bisa dibiarkan selamanya. Eksesnya ketidak-adilan sosial. Disitu soal pertaruhan nasionalisme. Sayangnya kapitalisme tak selalu berkawan dengan nasionalisme. Kenyang di tetangga, kelaparan di rumah sendiri. Tikus mati dilumbung padi. Disini pentingnya kehadiran pemerintah lewat invisible hand guna menjaga keseimbangan kata Marx.
Ironi kelangkaan minyak goreng mengingatkan kita pada fakta yang disembunyikan. Senafas penyanyi Edo Kondologit yang menyindir tambang emas dikampungnya, kami tidur di atas emas, berenang di atas minyak, tapi bukan kami yang punya. Kami hanya menjual Buah Pinang. Kita seperti tak pernah bisa memutus muasal penderitaan setelah bergumul panjang lewat derita universal pandemi. Seharusnya, dengan kesadaran baru kita kembali hidup bermakna, tumbuh mekar saling berbagi agar tercipta keseimbangan hidup yang lebih baik.
Bila pasar tak sanggup mencipta keseimbangan itu, eksesnya seleksi alam, struggle for life, survival of the fittest, dan konflik (Ndraha, 2002). Dalam konteks ini subkultur sosial yang paling dirugikan, sebagaimana kritik keras Mark Twain (1830-1910), bahwa ketika orang kaya merampok orang miskin di sebut bisnis. Namun saat orang miskin melawan di sebut kejahatan. Dalam dilema kriminal itulah negara tak jarang turun tangan, merepresi semua tindakan masyarakat yang dinilai anarchis dan mengancam stabilitas.
Komentar
Posting Komentar