Jabatan Profesor, Untuk Apa?
Oleh. Muhadam Labolo
Gejala menumpuk jabatan di akhir hayat kemungkinan berhubungan dengan gejala post power syndrom. Semacam krisis kejiwaan di ujung kuasa. Seseorang tak ingin kehilangan pengaruh dan harga diri. Maslow (1908-1970) menjustifikasi sebagai refleksi atas hirakhi kebutuhan yang tak jarang meloncat dari level terendah (physiological needs) ke level tertinggi, penghargaan (esteem needs) dan aktualisasi diri (self-actualization).
Apakah gejala itu di dorong oleh motivasi kekurangan (deficiency motivation) ataukah motivasi perkembangan (growth motivation), hanya perlu diteliti oleh para psikolog. Sejujurnya, dalam realitas politik gejalanya kadang muncul ketika seseorang terpilih menjadi politisi kawakan dan punya singgasana. Tak berapa lama tiba-tiba disergap penegak hukum. Satu hipotesis mengatakan, beberapa diantaranya terlalu lekas mencapai dinding puncak aktualisasi diri sekalipun perut dalam keadaan lapar. Piramidal Maslow dilangkahi.
Guru besar (profesor) adalah jabatan tertinggi dalam dunia akademik. Para pendidik di perguruan tinggi merangkak dari asisten ahli. Untuk sampai di level itu butuh keseriusan luar biasa lewat tiga matra, mengajar, meneliti & mengabdi di lapangan. Di level struktural, jabatan tertinggi yang setaraf disebut sekjen & dirjen. Di militer dan kepolisian, pangkat tertingginya dibilang jenderal. Namun ketika pensiun semua jabatan & pangkat itu selesai, alias tidak digunakan lagi. Namanya purnawirawan, purna tugas atau purna bakti.
Bisa dimaklumi ketika bertemu MS Grindle & John W Creswell yang populer sebagai rujukan metode penelitian (dunia) di sebuah webinar tak melabeli jabatan profesor. Kalaupun jabatannya diperpanjang tergantung kebutuhan perguruan tinggi. Lazim disebut profesor emeritus. Hanya di Indonesia yang masih melekat sampai pensiun, bahkan sampai di batu nisan agar selaras dengan peribahasa klasik, Harimau mati meninggalkan belang, gajah mati meninggalkan gading, manusia mati meninggalkan nama (lengkap).
Dalam kasus seorang pejabat bergelar profesor bermakna Ia diberi tambahan jabatan fungsional (kehormatan). Tanggungjawab akademiknya tak mengikat, meski tak pernah masuk kelas & meneliti seumur hidup. Mungkin cukup konsisten di lapangan praktikum dengan kriteria sumir. Sejauh ini di Kementrian Dikti berkembang dua isu, pertama memberi kebebasan perguruan tinggi mengangkat sendiri gubes. Konsekuensinya, intervensi kekuasaan dan kapitalisasi rektorat rentan terjadi.
Kedua, mengangkat seseorang pada jabatan tersebut sesuai pilihan konsentrasinya. Apakah profesor pengabdian (mungkin para paktisi), profesor pengajaran (karena profesinya mengajar seumur hidup), atau profesor penelitian (meneliti seumur hidup). Kedua isu itu walau sudah berkali-kali dirapatkan sebagai konsekuensi logis kampus merdeka belum juga diputus Mentri Dikbud.
Politisasi jabatan fungsional telah berlangsung sejak para eksekutif masuk ke ranah perguruan tinggi. Sebutlah mantan petinggi polisi, militer, bahkan jaksa aktif. Politisi pun tak ketinggalan, antri masuk seperti beberapa anggota di Senayan. Ada pilihan jalur reguler dan kehormatan, tergantung kuat tidaknya koneksi dan afiliasi di perguruan tinggi. Asal lolos disitu mudah di dikti. Beda dengan pendidik karier, walau lolos di senat belum tentu lancar di dikti.
Fenomena ini terasa berbeda di barat. Mereka puas jika mencapai jabatan tertinggi di profesi dan jabatan karier yang digeluti. Misalnya artis, olahragawan, seniman, jenderal, profesor riset dll. Disini, orang baru puas jika semua jabatan tertinggi di struktural, fungsional, militer, kepolisian, kejaksaan, politisi dll dapat diemban sekaligus. Eksesnya tak ada legacy spesifik yang ditinggalkan. Jenderal Eisenhower hebat bukan semata pernah menjadi presiden, rektor dan manajer perusahaan, tapi berada di tengah desingan peluru saat perang dunia kedua.
Rhoma Irama, bila pergi pasti semua orang paham akan meninggalkan warisan lagu dangdut yang fenomenal. Itu contoh profesi yang digeluti lebih dari separuh hidupnya. Sepantasnya Ia mendapat gelar doktor & profesor kehormatan untuk musik dangdut dari American University Hawai pada 2005. Dosen pasti akan meninggalkan ilmu dalam bentuk buku, hasil penelitian dan pengadian. Tentara dan polisi akan meninggalkan sejarah di medan tugasnya. Bukankah para jenderal seperti Soedirman di kenang bukan karna berdiri di depan papan tulis, tapi mengangkat bedil di medan tempur.
Dalam sejarah, para politisi dikenang bukan karna berdiri di kelas, tapi memperjuangkan idiologi bangsa seperti Soekarno dan Hatta. Bukankah Jenderal Polisi Hoegeng dikenang bukan karna berdiri berjam-jam di hadapan mahasiswa, tapi melindungi masyarakat dengan kejujuran. Bukankah Jaksa Baharuddin Lopa, Hakim Bismar Siregar, Benjamin Mangkoedilaga dan Alkostar populer bukan karena meneliti & mengajar bertahun-tahun, tapi mampu menegakkan hukum di tengah gempuran suap & tekanan rezim otoriter. Itu semua legacy luar biasa untuk anak bangsa. Lalu untuk apa para pejabat sibuk memburu jabatan profesor yang tak perlu?
Komentar
Posting Komentar