Puasa & Penderitaan

Oleh. Muhadam Labolo

Puasa salah satu ritual religi paling tua di muka bumi. Dipraktekkan kaum religi dimasa lampau hingga kini. Di religi tertentu bahkan menjadi syarat guna mencapai derajat spiritual tertinggi. Puasa menjadi sarana bagi upaya meningkatkan keintiman antara Sang Pencipta dengan MaklukNya. Puasa bergerak dari realitas derita menuju idealitas bahagia.

Dengan ragam istilah, puasa dijalani tidak saja oleh manusia, juga hewan dan tumbuhan. Masa pengeraman dan metamorfosis menjadi proses mencapai tahap kesempurnaan. Dengan semua fungsi spiritual dan biologis itu, puasa berkembang menjadi penawar bagi derita jasmani dan rohani. Dalam derita jasmani puasa menjadi syarat sebelum masa pembedahan. Lebih lagi dalam aspek rohani. Ia prasayarat menuju nirwana.

Dalam puasa itu, setiap subjek mengendalikan dirinya dari hasrat duniawiah. Semua rutinitas dikendalikan untuk masa tertentu demi tujuan yang lebih tinggi, kesempurnaan hidup (tattaqun). Makan, minum dan kontak biologis dibatasi. Bahkan pada lapis tertentu kendali itu tak cuma menekan kelaparan dan kehausan jasmani, juga penyakit rohani sebagai wabah sosial yang utama (khushusil khushus).

Kegagalan mengendalikan tuntutan jasmani tak jarang melahirkan derita akibat sifat instingtif manusia. Hasilnya konflik. Puasa meminimalisir tuntutan itu agar berbagi. Setidaknya, merelakan untuk sementara agar yang lain tumbuh dalam kewajaran. Dengan begitu efek derita jasmani dapat di tekan dan di ubah menjadi kesejahteraan kolektif. Nilai pentingnya adalah empati & simpati.

Derita rohani mengeluarkan racun kebencian, kesumat, dengki, dan arogansi sebagai ciri individualitas. Sebagai mahluk individu kata Hobbes (1651), manusia cenderung mempertahankan dirinya dari apa saja dan siapa saja.Termasuk melenyapkan semua yang merugikan dirinya. Konsekuensi logis dari sifat individualistis itu adalah homo homini lupus, bahkan bellum omnium contra omnes.

Sigmund Freud (1896) mengatakan, penderitaan manusia secara psikoanalisis bertumbuh dari tiga hal. Pertama, tubuh manusia dengan segala kelemahan, kerentanan, kefanaan dan kesakitan. Kedua, duniawiah dengan semua kebencanaan seperti banjir, wabah, tsunami dan ketakberdayaan manusia. Ketiga, relasi sosial dengan semua gejala ketidaktertiban, ketidaksukaan tanpa alasan, termasuk gosip.

Ketiga sumber penderitaan itu membutuhkan obat. Dan sebagaimana sifat obat, pahit di telan untuk kebugaran dimasa berikutnya. Dalam fungsi yang sama, puasa menurut religi adalah obat penawar. Meredakan derita manusia akibat tekanan internal dan eksternal. Puasa terbukti secara medik menguatkan fisik lewat proses autofagi akibat asupan makanan berlebihan (Oshumi,1993).

Puasa secara psikologis membangun kesabaran manusia menghadapi ancaman duniawi. Mentalitas mengekang keinginan berlebih memberi manusia kekuatan rohani, kecerdasan emosi, dan kesuksesan hidup (Goleman, 2010). Pada relasi horisontal puasa terbukti mampu menjaga soliditas, merakit kohesi, merangsang kepekaan, melunturkan sikap anti sosial, serta mengendalikan hoax sebagai bibit gosip.

Namun untuk sampai ke mahligai tertinggi itu kata seorang filosof India, kita mesti meneteskan air mata untuk membersihkan jalan, agar kita dapat melihat arah dengan benar. Maknanya, hari-hari puasa mesti dilalui dengan sungguh-sungguh. Dalam kelamnya malam derita itu boleh dijejali satu-persatu dihadapanNya. Setiap ritus diresapi sebagai komunikasi akhir di bilik VVIP. Lewat semua itu, puasa semestinya mengubah derita menjadi kebahagiaan sejati.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Seri: Kajian Filsafat Ilmu Pemerintahan

Pamongpraja, Tinjauan Filosofis, Etimologis, Historis, Relevansi dan Gagasan Kekinian

Memosisikan Mahakarya Kybernologi Sebagai Ilmu Pemerintahan Berkarakter Indonesia[1]