Distorsi Mengatur Elit Daerah


Oleh. Dr. Muhadam Labolo

          Hampir tak ada negara dalam panggung politik demokrasi dewasa ini yang memberikan kewenangan sedemikian besar kepada pemerintah daerah kecuali Indonesia. Kalaupun kewenangan tadi diberikan dengan porsi seluas-luasnya dan berisi serangkaian urusan gono-gini, pastilah bukan dalam kerangka otonomi daerah melainkan negara bagian. Lewat paham negara integralistik kita tak berkehendak membawa Indonesia dalam mainstream negara bagian sekalipun faktanya demikian. Pemandangan menunjukkan pusat tampak lebih banyak mengerjakan urusan sisa dibanding daerah. Semua kewenangan diasumsikan secara normatif berada dipangkuan pemerintah daerah kecuali lima perkara, keamanan/pertahanan, kehakiman, agama, moneter dan kebijakan luar negeri plus urusan lain yang ditentukan oleh undang-undang.  Barangkali inilah yang disebut Mboi (2012) sebagai kerangka bernegara yang cenderung bersifat unitaris-federalistik dibanding sebaliknya. Kini, tinggal bergantung dari sudut mana kita melihatnya, jika daerah yang mengerjakan sisa maka bentuknya bisa jadi federalistik-unitaris. Dalam pada itu, besarnya kewenangan pusat yang disalurkan lewat kebijakan desentralisasi mengakibatkan tumbuhnya sentra-sentra kekuasaan baru diberbagai strata pemerintah daerah. Semua itu merupakan konsekuensi dari apa yang dibayangkan Susan Ackerman (1999) tentang implikasi demokratisasi di level pemerintahan tertentu. Setiap daerah seakan subur berkecambah sekaligus menggandakan diri menjadi daerah otonom baru. Anehnya, sisi negatifnya cenderung lebih dominan dibicarakan daripada sisi positifnya. Pemerintah daerah seperti mengalami kegalauan dimasa transisi yang penuh dinamika dan tantangan berotonomi.
Sekalipun kekuasaan yang diserahkan telah dimodifikasi dalam bentuk kewenangan yang memiliki batas-batas kuasa-normatif, realitasnya banyak ruang kosong tersisa sebagai peluang bagi kepala daerah dalam mengatur daerahnya. Maka atas nama spirit demokrasi, otonomi dan kewenangan yang dipatrikan lewat ubun-ubun kepala daerah saat pelantikan, ambisi mengatur semua atribut yang disangkakan tadi melaju tanpa batasan kilometer perjam.  Akibatnya, saban hari kita disuguhkan berita yang tak sepadan dengan etika, kinerja dan performa pemerintahan itu sendiri, dimana ratusan kepala daerah diburu pihak berwenang tanpa batas. Nafsu mengatur berlebihan tadi lahir sebagaimana membaca dan menafsirkan defenisi otonomi daerah secara linier, yaitu hak untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri tanpa meletakkannya dalam kerangka kepentingan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pengaturan (regulation), sebagai salah satu fungsi pemerintahan memiliki makna seberapa cerdas pemerintah daerah menata seluruh kewenangan yang diberikan untuk kemaslahatan masyarakat dalam bingkai kewenangan pemerintah pusat (Rasyid:1999). Dalam makna lain Michel Foucault (1991) dalam Governmentality menjelaskan bahwa pengaturan berarti pengarahan perilaku, yakni upaya untuk mengarahkan perilaku manusia dengan serangkaian cara yang telah dikalkulasikan sedemikian rupa.  Pengaturan berorientasi pada peningkatan kesejahteraan orang banyak, dimana untuk maksud itu kesejahteraan masyarakat membutuhkan perbaikan keadaan tentang hidup masyarakat, peningkatan kemakmuran yang berlimpah, serta jaminan terhadap kualitas hidup dalam bentuk kesehatan, pendidikan dan pendapatan.  Pemahaman ini mengantarkan kita pada kesimpulan bahwa pengaturan mengandung sejumlah dimensi kepemimpinan, manajemen dan perencanaan. Keseluruhan dimensi tadi tentu saja diarahkan pada terwujudnya kesejahteraan masyarakat, bukan orang perorang apalagi kelompok tertentu. Kepemimpinan daerah berperan mengarahkan perilaku masyarakat agar penggunaan hak dan kewajiban yang diberikan negara bergerak diatas matras hukum sehingga tercipta social order. Parahnya, kepemimpinan daerah memperlihatkan panorama dimana para elitlah yang memprakarsai semua pelanggaran hak dan kewajiban. Elit, sebagaimana bayangan Pareto dan Moska (Varma:2010) adalah sekelompok individu yang memiliki kualitas lebih dibanding masyarakat pada umumnya. Mereka menjadi manusia pilihan yang layak diletakkan di ruang etalase (a choice of the person, best of the best, or primus inter pares). Mereka, dengan semua atribut yang dimiliki menjadi individu dan kelompok berkelas sekaligus menjadi examplary center (Geertz:1999).  Jika kepala daerah tak malu merambah hutan, anggota DPRD berpraktek mafia anggaran, maka dimanakah letak kepemimpinan daerah menjadi panutan? Manajemen dalam lingkup pengaturan bermakna seberapa cerdas pemerintah daerah mengendalikan segenap sumber daya berupa man, money, machine, methode, material dan market kedalam tujuan pencapaian kesejahteraan masyarakat.  Dibanding perusahaan swasta, institusi pemerintah daerah adalah satu-satunya perusahaan negara yang hampir tak pernah berkurang disubsidi setiap tahun sekalipun derajatnya berada di level disclaimer.  Artinya, dengan modal rata-rata 2% pegawai birokrasi dari total jumlah penduduk, pemerintah daerah seharusnya menjadi elit yang paling perkasa dalam memampukan 98% masyarakatnya untuk mencapai kesejahteraan. Dengan modal 400-600 milyar pertahun sejogjanya pemerintah daerah cukup menjamin ketersediaan pangan, sandang dan papan bagi masyarakatnya, bukan sebaliknya tercurah dan ludes untuk belanja aparatur sebanyak 60-70%. Dengan seluruh perangkat kerja yang tersedia mewah dari kenderaan dinas hingga alat berat milik dinas pekerjaan umum semestinya pemerintah daerah mampu menjamin tersedianya infrastrukur bagi upaya mendongkrak pendapatan masyarakat.  Sayangnya, ratusan jalan antar desa, kecamatan, kabupaten, provinsi hingga jalan negara sebagai tanggungjawab pemerintah pusat tak kunjung tersentuh sejak Indonesia merdeka 67 tahun lalu. Tampak pula cara-cara kerja pemerintah daerah tak mengalami perubahan signifikan pasca otonomi daerah, bahkan terkesan bergantung dan menyusui lewat dana alokasi umum, khusus dan dana perimbangan. Mereka hidup bahkan tanpa pendapatan asli daerah yang bisa disandarkan sebagai primadona anggaran dan belanja tiap tahun. Disisi lain daerah kehilangan banyak sumber daya material akibat pembiaran, pelelangan dan penjualan ilegal oleh kelompok rezim berkuasa. Gejala demikian faktanya dimotori oleh elit daerah dan pusat lewat pelepasan lahan kelapa sawit, tambang hingga sumber-sumber yang menguasai hajat hidup orang banyak. Faktor lain harus diakui bahwa daerah tak memiliki cukup sumber daya manusia untuk mengelola sumber daya yang tersedia. Selain itu daerah yang memiliki cukup sumber daya diantaranya tak mampu mengembangkannya disebabkan akses market yang terbatas sebagaimana jamak ditemukan di wilayah Indonesia Timur.
Bagian terakhir dalam kerangka pengaturan diatas berkaitan dengan pola perencanaan pemerintah daerah.  Perencanaan daerah dilakukan guna mengendalikan cuaca ketidakpastian dari intervensi dan kepentingan kelompok tertentu. Perencanaan tersebut dilakukan baik secara teknokratis maupun politik untuk mengintegrasikan semua kepentingan kedalam kebutuhan yang senyatanya. Perencanaan meliputi keseluruhan rangkaian visi, misi, program dan kegiatan yang bersifat tangible maupun intangible.  Faktanya, perencanaan di daerah berjalan menurut dominasi insting politis yang mewakili orang dan kelompok, bukan masyarakat. Pola perencanaan teknokratis bernama Musrembang tak lebih dari sekedar ritual formalistik agar semua alur perencanaan berjalan diatas kerangka ideal-normatif, bottom up and top down planning. Lihat saja bagaimana muramnya wajah pemerintah desa dan kecamatan usai mengikuti Musrembang ditingkat Kabupaten/Kota. Apabila diusulkan sepuluh paket kegiatan sudah mujur jika terakomodir dua paket kegiatan, sisanya dengan alasan skala prioritas pemerintah daerah berhak memangkas di tengah jalan. Dalam konteks inilah bisa saya pahami mengapa anggota DPRD seringkali sungkan hadir jika diundang Musrembang tingkat kecamatan sekalipun merupakan daerah pemilihan yang bersangkutan. Alasannya jelas, takut menanggung malu dihadapan basis konstituennya.  Dengan demikian jelas bahwa ambisi mengatur kepala daerah selama ini jauh dari dimensi kepemimpinan, manajemen dan perencanaan. Harus diakui pula bahwa fungsi pengaturan masih berjalan menurut selera perorangan dan terkonsentrasi pada sekelompok elit di level pemerintahan daerah. (Simeuleu, Juli 2012)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Seri: Kajian Filsafat Ilmu Pemerintahan

Pamongpraja, Tinjauan Filosofis, Etimologis, Historis, Relevansi dan Gagasan Kekinian

Memosisikan Mahakarya Kybernologi Sebagai Ilmu Pemerintahan Berkarakter Indonesia[1]