Industrialisasi Lokal dan Dilema Kewenangan
Oleh.
Dr. Muhadam Labolo
Dalam empat belas tahun terakhir pasca
reformasi, industri lokal di Indonesia tumbuh laksana cendawan di musim hujan. Atas
nama otonomi pemerintah daerah memberikan izin seluas-luasnya untuk eksplorasi
dan eksploitasi semua mineral dan tambang yang bersemayam di perut bumi
nusantara. Akibatnya, fisik bumi penuh lubang dimana-mana ibarat jerawat batu
yang tumbuh subur tak berkesudahan. Dampak industrialisasi tersebut telah
mengubah perilaku psikis masyarakat lokal dalam aneka sudut pandang. Secara
ekonomi, industrialisasi telah mengubah status sekelompok masyarakat naik kelas
menjadi orang kaya baru. Pada kelompok akar rumput, industrialisasi telah
membuka pundi-pundi lapangan kerja mulai dari satpam hingga jajaran elite
perusahaan. Mereka yang dulu mengais rezeki di emperan jalan kini setidaknya
puas sebagai kaki tangan perusahaan di hilir hingga hulu. Yang paling mujur
adalah sejumlah aristokrat lokal pemilik lahan tambang yang memperoleh
kompensasi ganti rugi lewat klaim warisan nenek moyang. Mereka yang berada
dilingkungan birokrasi sekalipun tak menikmati langsung resapan
industrialisasi, namun terdapat banyak celah yang mendorong perilaku kolusi,
korupsi dan nepotisme sebagai jalan pintas agar terjadi semacam redistribusi,
stabilisasi dan alokasi sumber daya. Dengan memanfaatkan kesamaan identitas, celah
kolusi dilakukan dalam perkara memudahkan izin industri pertambangan misalnya. Komposisi
perusahaan tambang biasanya disisipi elit mantan birokrat militer dan sipil
yang memiliki akses langsung dengan jajaran pemerintah berkuasa baik di daerah
maupun pusat. Semua itu untuk
mempermudah mobilitas dan keamanan semesta perusahaan. Birokrasi memperoleh
keuntungan awal dengan mengutip milyaran rupiah mulai dari anak tangga pemerintah
desa hingga level pemerintah daerah. Disini terjadi semacam persengkokolan (korupsi)
yang banyak dicurigai publik namun tak memiliki kekuatan untuk menghentikan.
Nepotisme berkembang lewat jalur rekrutmen yang memungkinkan birokrasi
mendapatkan jatah dalam menempatkan sanak famili di perusahaan. Kondisi tersebut menjadikan birokrasi hidup
mutualistik dengan semua industri pertambangan. Dengan daya tawar (positioning) seperti itu, birokrasi tak lebih sebagai underdog perusahaan yang diperlukan
manakala perusahaan mengalami tekanan publik. Itulah mengapa ketika perusahaan
melakukan banyak kesalahan birokrasi seperti membisu seribu bahasa. Secara
sosiologis industrialisasi telah mengacak sebagian sistem sosial menjadi serba
kabur dan memprihatinkan. Sebagian generasi muda mulai beralih dari karakter
agraris ke sektor industrial. Indikasinya dari pemujaan alam sebagai rahmat dan
jaminan subsistensi dari Tuhan menuju pembiaran alam di eksploitasi bahkan deforestasi bagi kepentingan industri. Semua
mulai diterima dengan lapang dada sekalipun disana-sini terdapat resistensi yang
mulai menjinak. Mereka yang dulunya vokalis kini hanyalah vocal group yang hidup senada dan seirama dengan perusahaan. Pola
hubungan masyarakat bergeser drastis dari emosional menuju rasionalitas. Dampak
diberbagai sudut sosial meningkatnya angka perceraian dan menggejalanya
perselingkuhan. Batas-batas moralitas dan etika mulai menyusut sekaligus
kehilangan pamor diterjang sejumlah alasan rasional yang memuliakan kehidupan
duniawiah. Agama menjadi ritualitas semata untuk menghibur orang mati (takziyah dan tahlilan), gunting rambut, sunatan, siram kubur dan syukuran
tertentu. Kaum penganjur kebaikan semacam Ustadz, Imam Kampung dan Pendeta
dipandang hanyalah simbol bagi keselarasan dan harmonisasi antara yang hidup
dan mati. Mereka yang tadinya kukuh mempertahankan tradisi kini lebih pragmatis
menyelesaikan berbagai hal yang paling menguntungkan secara ekonomi. Hilangnya idealisme mengakibatkan langkanya
sumber daya bagi investasi kepemimpinan lokal, yang tersisa hanyalah kaum oportunis yang bersedia melakukan
kompromi sepanjang menjanjikan profit bagi individu dan kelompok. Secara politik, industrialisasi lokal telah
mendorong semacam spirit untuk merdeka dari induk kekuasaan agar dapat
mengontrol sumber daya yang terhampar luas di depan mata. Idealnya mereka yang beruntung adalah yang
mampu mengontrol masa lalu untuk kepentingan masa kini, atau mengontrol masa
kini untuk kepentingan masa akan datang (Latif:2012). Sayangnya, kaum pelopor
pemekaran di dominasi oleh elit lokal yang kecewa akibat redistribusi sumber
daya dinilai diskriminatif dan tak alokatif. Kalaupun semua impian tadi
terpenuhi bisa dibayangkan bagaimana pemerintahan daerah dikelola oleh
segerombolan aktor tanpa idealisme membangun pemerintahan daerah, kecuali
melampiaskan dendam kesumat akibat kekecewaan selama ini lewat pengerukan
kekayaan secara sistemik, masif dan terencana. Semua gagasan dan alasan yang
diajukan dalam proposal pemekaran hanyalah perisai untuk menutupi kepentingan yang
lahir dari pemikiran tak waras. Gejala tersebut menguat lantaran hilangnya
ketokohan lokal akibat kemiskinan dan kebodohan yang selama ini menimpa
sebagian besar masyarakat di daerah.
Jika dulu kekayaan alam tersedot secara sentralistik pada satu dua orang
dan terkontrol, hari ini kekayaan alam terdistribusi pada banyak orang
sekaligus sulit dikontrol. Industrialisasi
lokal tampak seperti gejala sinetrikal yang berakhir dengan konfliktual tak
berkesudahan. Izin usaha dari satu tangan dengan mudah berpindah ke tangan lain
lewat harga dan kepentingan yang berbeda-beda. Semua itu merupakan permainan
kotor yang sengaja dilakonkan untuk mengeruk keuntungan sekaligus mengelabui
pajak yang menjadi kewajiban. Rakyat di daerah
dan negara secara utuh benar-benar ketiban sampah, erosi, serta kekosongan kas
yang tak terhingga sebagai akibat kegagalan renegosiasi kontrak karya selama
ini. Kini, bagaimanakah menyelesaikan kepandiran kita dalam mensyukuri
industrialisasi lokal yang menguras bahan baku tak dapat diperbaharui bagi masa
depan generasi berikutnya? Menarik kewenangan di level provinsi sebagaimana
ekspektasi pemerintah bukanlah penyelesaian yang terbaik di tengah mengendornya
kesadaran para pemimpin lokal dalam berpemerintahan. Kalau dimasa lampau kita
suka mengkritik desentralisasi kewenangan dari pusat ke kabupaten/kota hanya
menciptakan raja kecil dari raja besar, maka bukankah menarik kewenangan
perizinan termasuk pengelolaan tambang ke tingkat provinsi sama saja dengan
menciptakan raja baru diantara raja besar dan raja kecil? Yang penting bagi kita adalah bagaimana memastikan
agar amanah konstitusi Pasal 33 UUD 1945 benar-benar memiliki mekanisme yang
jelas dimana bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai negara
dan dipergunakan bagi sebesar-besarnya kepentingan rakyat, bukan penguasa
apalagi pengusaha. Faktanya, semua pesan
konstitusi diatas jatuh ketangan penguasa yang kebetulan pengusaha. Pasca
reformasi trend kekuasaan di pusat dan daerah bergeser dari kelompok aktivis ke
kelompok pengusaha sebagaimana analisis Baswedan (2011). Menurutnya, trend
kekuasaan orde lama dikendalikan kelompok militer, orde baru oleh kelompok
nasionalis dan militer, orde reformasi cenderung dikendalikan oleh kaum
aktivis, artis dan pengusaha. Kombinasi yang sempurna sebagai penguasa
sekaligus pengusaha memungkinkan kepala daerah dengan mudah mentransfer APBD
dari organisasi publik ke organisasi swasta/privat. Dengan modal legitimasi sebagai penguasa,
sebagian alokasi dalam postur belanja langsung dan tak langsung dapat dipreteli
satu persatu menuju aliran dana pribadi. Lewat sejumlah perusahaan berlabel Anak,
Menantu, Ponakan dan Istri (AMPI), sejumlah program dan kegiatan di iris tipis
menjadi bagian-bagian kecil agar aman dari interogasi publik. Sebagai pengusaha,
cara kerja pemerintah daerah dengan segala kewenangan yang melekat padanya
cenderung memandang bahwa efisiensi dan efektivitas hanya mungkin diperoleh
jika modal yang dikeluarkan seminim mungkin untuk memperoleh hasil yang
sebesar-besarnya bagi keuntungan pribadi. Sebagai pengusaha tentu saja rakyat
dipandang sebagai objek projek bagi keuntungan perusahaannya. Akhirnya, seluruh
akumulasi laba ditentukan di suatu muara kemudian di hitung sendiri sebagai
keuntungan bagi pengembalian modal selama masa transisi pemilukada. (Hotel
Citra Luwuk, Agustus 2012)
Komentar
Posting Komentar