Memaknai Ibadah dan Ilmu Pengetahuan Kita

Oleh. Dr. Muhadam Labolo

          Pasca ibadah monumental puasa kita langsung dihadapkan pada sejumlah konflik di tanah air. Konflik berbentuk perkelahian antar kampung hingga bertumbuhnya aliran sesat yang entah darimana asal muasalnya hadir disekeliling kita. Kita seperti disadarkan bahwa puasa sebulan penuh tak serta merta melahirkan individu yang berkualitas (baca:bertaqwa), sebagaimana harapan Tuhan dalam Qur’an Surah Al-Baqorah ayat 183 (laalakum tattaqun). Sejatinya setiap individu yang telah melalui tempaan hari demi hari puasa mampu melahirkan nilai-nilai etik sebagai modal dalam pergaulan hidup sehari-hari. Nilai etik yang saya maksudkan diantaranya berupa kesederhanaan, kedisiplinan, kejujuran, kesetiakawanan, keikhlasan, kesabaran dan segala hal yang menjadi dasar keutamaan dalam kehidupan pribadi dan sosial. Sebagai dasar keutamaan pribadi, seseorang akan memancarkan nilai spiritual dalam hal kesantunan akhlak yang terlihat dalam menjalankan pekerjaan apa saja, apakah sebagai warga negara biasa maupun warga kelas eksekutif, pemerintah. Kesederhanaan muncul dalam perilaku anti kesombongan, kedisiplinan lahir sebagai manifestasi anti kemalasan, kejujuran hadir dalam wujud anti korupsi, kesetiakawanan tumbuh sebagai bentuk perlawanan terhadap sifat individualistik, keikhlasan tampak sebagai penolakan terhadap ketamakan, sedangkan kesabaran terbentuk sebagai antitesa dari sifat ketergesa-gesaan. Sebagai dasar keutamaan sosial semua nilai tadi berkelindan membentuk harmoni yang mengarahkan setiap individu dalam masyarakat pada terbentuknya budaya dan peradaban yang tinggi. Dalam realitas sosial kesederhanaan dapat menyempitkan disosiasi antara mereka yang kaya dan miskin. Semakin menganga lebar relasi keduanya semakin tinggi pula jurang kecurigaan yang berpotensi pada konflik berkepanjangan. Sebagai sebuah bangsa, kedisiplinan memberi kita produktivitas kolektif yang tak mudah dipermainkan bangsa lain. Selama ini, kemalasan rupanya telah merenggut kesadaran kita terhadap bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya tak sepenuhnya dikuasai negara melainkan untuk sebesar-besarnya kemakmuran bangsa lain. Kejujuran dalam realitas sosial seperti sulit ditemukan di tengah meluasnya budaya korupsi. Ia seperti penyakit kronis yang tidak saja menyerang kaum muda, tua, pria, wanita, swasta, pemerintah, masyarakat, perguruan tinggi hingga institusi keagamaan sekalipun. Kejujuran lahir dari sanubari paling dalam, bukan sekonyong-konyong muncul karena pesanan dari majikan seperti bubur kacang ijo di depan kampus saya. Kesetiakawanan adalah jawaban bagi realitas sosial yang menampilkan dominasi dari karakter individualistik. Kesetiakawanan adalah modal sosial untuk mengangkat derajat mereka yang papa dan ter-alienasi karena tindakan diskriminasi. Kesetiakawanan adalah kepedulian sosial untuk membangun bangsa bukan kolusi yang dibalut nepotisme.  Keikhlasan adalah modal sosial dalam menciptakan kesetaraan (equality). Keikhlasan adalah pertanda memberi kesempatan dan peluang bagi yang muda untuk mempersiapkan diri melayani yang tua dimasa pensiun. Keikhlasan adalah sifat memberi, bukan menahan apalagi sampai melarang dan membatasi hanya karena tak mau orang lain lebih baik dibanding dirinya.  Keikhlasan adalah kerelaan untuk menyerahkan tongkat estafet bagi kepentingan dan kemaslahatan orang banyak. Keikhlasan adalah kemampuan meruntuhkan sifat egoisme, mengusir ketamakan, dan melunturkan kerakusan dalam berkuasa dengan niat dan ambisi selama-lamanya. Sebagai modal sosial, kesabaran menjadikan kita mampu menghargai makna sebuah proses dibanding hasil.  Jika ia seorang seniman apalah artinya sebuah lukisan jika tanpa makna. Bagi seorang pemerintah apalah artinya pelayanan jika tanpa manfaat bagi masyarakatnya (outcome).  Jika ia seorang ilmuan apalah artinya jika gelarnya tak merepresentasikan ilmu, amal dan spiritualitasnya. Keilmuan merujuk pada kedalaman pengetahuan yang memungkinkan seseorang mampu menjadi lebih baik, berfaedah bagi diri dan lingkungannya, bukan sebaliknya menjadi perusak atas kedalaman ilmu pengetahuan itu sendiri.  Jika itu yang terjadi, maka apa yang dipikirkan J.J Rousseau dalam karya klasik tentang Discourse on the Arts and Science (1750) tampak menerpa realitas dunia pendidikan dan masyarakat kita, dimana kemajuan seni dan pengetahuan justru mengkorupsikan manusia dan menjerumuskan pada kehancuran moral. Manusia menurutnya tidaklah semakin menjadi manusia yang sesungguhnya, melainkan menjadi manusia artifisial, penuh dengan kemunafikan dan kebusukan. Rousseau menemukan bahwa sifat alamiah manusia justru raib ketika bersentuhan dan hidup dalam lembaga-lembaga sosial. Sifat alamiah (genuine) seperti keluguan, kejujuran, keikhlasan, kesabaran, dan kesetiakawanan terberangus oleh alasan seni dan pengetahuan. Seni dan pengetahuan tak lebih dari bunga-bunga di rawa kebusukan suatu masyarakat yang dieksploitasi oleh golongan atas yang korup untuk menindas golongan bawah yang tak punya akses dan kekuatan untuk melawan (Suseno:1992).  Lewat pandangan semacam itu Rousseau ingin menyingkapkan sifat artifisial dari kebudayaan dan masyarakat. Segala bentuk tata krama hanyalah selubung untuk tingkah laku yang sia-sia mencegah persahabatan sejati dan membuat kita tak lagi percaya pada sesama kita.  Pada dasarnya, segala bentuk seni dan ilmu pengetahuan lahir dari kejahatan kita. Astronomi lahir dari takhyul, geometri dari ketamakan, fisika dari kemalasan, seni debat dari ambisi, dan etika dari kesombongan (Beraf:2012). Harus diakui bahwa pengamatan Rousseau terhadap realitas sosial haruslah menjadi catatan tersendiri bagi dunia pendidikan kita. Jika demikian, maka pertanyaan bagi ilmuan seperti saya adalah apakah ilmu pengetahuan yang terangkum dalam kurikula pendidikan telah mampu memurnikan moralitas anak didik sebagai kader pemerintahan sebagaimana dimaksud Rousseau dalam sejumlah nilai diatas? Ataukah justru saya dan kita semua telah merusaknya tanpa menyadarinya? Jika peserta didik kita berubah dari kritis menjadi apatis, berani menjadi pengecut, lugu menjadi munafik, pandai menjadi “cerdik”, jujur menjadi pembohong, malu menjadi tak tau malu, solider menjadi individualistik, atau rajin tiba-tiba menjadi pemalas, maka penting untuk mempertanyakan kembali mengapa visi dan misi ideal dalam dunia pendidikan kita tak mampu menciptakan nilai dasar sebagai keutamaan hidup secara individual dan sosial? Tampaknya kita mesti merenungkan kembali filosofi pendidikan klasik dimana metode lebih penting dari sekedar materi. Sebagus apapun materi, jika metode dalam bentuk keteladanan, penciptaan lingkungan yang kondusif, pengarahan, penugasan, pengajaran dan pembiasaan tak menemukan konkritisasinya, maka materi hanya akan tersimpan dalam rak buku peserta didik sebagai upaya menggugurkan kewajiban.  Dibanding metode, guru tentu saja lebih penting, namun jauh lebih penting lagi jiwa guru (soul) daripada guru itu sendiri. Tanpa penjiwaan sebagai guru maka proses belajar mengajar dalam dunia pendidikan tak lebih dari sekedar basa-basi. Jiwa guru harus lahir secara sadar sebagai bentuk pengabdian atas ilmu, amal dan nilai spiritualitasnya. Ilmu bukan untuk ilmu, tetapi ilmu untuk amal dan ibadah. Secara profesional ilmu dipertanggungjawabkan, lewat amal ilmu dibuktikan dan dimanfaatkan, melalui spiritualitas ilmu dijadikan sarana ibadah kepada Tuhan Yang Maha Berilmu. Mengutip Francis Bacon, semakin dalam pengetahuan kita terhadap suatu ilmu semakin dekat kita dengan Tuhan, sebaliknya semakin dangkal pengetahuan kita terhadap suatu ilmu semakin dekat ke atheisme.  Dengan jiwa guru yang demikian kita berharap lahir pemikiran yang waras, dan bukan sebaliknya.  Lewat kewarasan tadi kita memberi ujian kepada anak didik agar belajar, bukan belajar untuk sekedar ujian. Dengan ujian mereka diharapkan dapat hidup dan tak takut menghadapi segala bentuk rintangan. Simpelnya, berani hidup tak takut mati, takut mati jangan hidup, takut hidup mati saja. Untuk menghadapi semua itu maka dengan ilmu kita mendorong agar sedapat mungkin peserta didik berbuat kebaikan sehingga hidup lebih berarti. Jika hidup disadari hanya sekali, maka berbuatlah yang terbaik.  Mengutip sabda Nabi Muhammad Saw, sebaik-baik diantara kamu adalah yang dapat berbuat baik bagi orang lain. Kebaikan dapat menghasilkan kompensasi jasa dari orang lain dan pahala dari Yang Maha Pemberi. Sebab itu berjasalah pada orang lain tanpa harus meminta jasa.  Disamping itu kita perlu menanamkan prinsip bahwa hanya orang penting yang paham terhadap makna kepentingan, hanya pejuang yang paham arti perjuangan, sebagaimana halnya hanya orang sakit yang paham makna kesehatannya. Akhirnya, sebagai guru kita mesti mengingatkan kepada peserta didik bahwa lembaga pendidikan dalam bentuk apapun hanya sebatas memberi kail, bukan memberi ikan bagi mereka. (Jakarta, 23 Agustus 2012).




Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengenang Sartono, M. Jaffar dan Indrarto

Seri: Kajian Filsafat Ilmu Pemerintahan

Pamongpraja, Tinjauan Filosofis, Etimologis, Historis, Relevansi dan Gagasan Kekinian