Problem Demokrasi dan Kebijakan Tanpa Rujukan
Oleh. Dr.
Muhadam Labolo
Ditengah keresahan kita tentang nasib
dan masa depan transisi demokrasi bangsa ini, sejumlah kebijakan sejatinya
diperlukan sebagai terapi agar demokrasi tak layu sebelum berkembang. Berbagai
persoalan yang mengancam matinya demokrasi secara substansial misalnya rendahnya
perilaku kedewasaan publik, kesenjangan antar kelompok, terbukanya diskriminasi
serta jauhnya kesejahteraan dan pemakmuran sebagaimana tujuan demokrasi itu
sendiri (Croisant & Merkel, 2004). Jika empat belas tahun reformasi menjadi
periode transisi pembelajaran, maka tahap selanjutnya kiranya dapat dirancang
bagaimana bangsa ini memasuki pintu gerbang berdemokrasi yang sesungguhnya,
mantap secara substantif sekaligus kokoh secara prosedural. Demokrasi memang
membutuhkan kesabaran hingga ke usus dua belas jari kalau tidak ingin
terjerambab ditengah jalan seperti dialami negara sekuat Uni Soviet. Demokrasi
yang dalam kehidupan sehari-hari ramai oleh hiruk pikuk pemilukada membutuhkan grand desain sebagaimana otonomi yang
kita rancang bagi masa depan pemerintah daerah.
Tanpa itu, pemerintah hanya akan mendulang kecemasan demi kecemasan
hingga menanti keruntuhan bernegara yang menyayat hati. Lewat perencanaan
demokrasi yang matang masyarakat
dididik secara evolutif menuju tatanan negara demokrasi yang
kuat ber-style keIndonesiaan. Terkait
substansi demokrasi, kita mendorong agar semua mekanisme yang kita gunakan
terarahkan sesuai konsep dan tujuan utama. Secara sosiologis, demokrasi diarahkan tidak saja bagi kepentingan
mayoritas, namun terakomodasinya kepentingan minoritas dalam rumah tangga
demokrasi. Dari aspek psikologis, demokrasi dibiasakan merujuk pada bagaimana masyarakat
mampu mengidentifikasikan semua sarana yang ada, termasuk partai yang serius memperjuangkan masa depannya sekaligus
menampilkan kualitas kepemimpinan yang menjanjikan. Dari perspektif rasional, demokrasi mesti disadarkan kearah keuntungan kualitatif
dalam jangka panjang, bukan laba sesaat sebagaimana dikalkulasikan selama ini.
Bahkan
pada tingkat tertentu demokrasi harus diasumsikan sebagai barang publik (public goods) sebagaimana
dikatakan Olson (1967), sehingga siapapun
yang menjadi pemimpin atau kebijakan apapun yang akan dibuat, tak seorangpun
yang akan mendapat lebih banyak atau lebih sedikit secara pribadi, berapapun
sumbangsihnya bagi pembentukan barang publik tersebut. Pada ujungnya demokrasi
harus dipahami sebagai alat, bukan tujuan mencapai kesejahteraan.
Dalam
konteks Indonesia, demokrasi baru saja dipahami sebagai kebebasan, belum
beranjak duarius pada upaya menciptakan kondisi yang makmur nan sentosa. Disemak
belukar pemahaman publik demokrasi diartikan sebagai kebebasan berekspresi, tak
lebih dan tak kurang. Pengetahuan sebatas itu bukan salah, apalagi keliru jika
diteliti lebih jauh (Mujanie, Liddle & Ambardo:2012), sebab demokrasi
berakar dari nilai-nilai kebebasan sejak orasi masyhur Abraham Lincoln di
Geetysburg 257 tahun lalu. Terlepas dari itu, demokrasi sebagai alat harus di
paksa kearah tercapainya kesejahteraan rakyat, apapun alasannya apabila kita
masih percaya kepadanya. Tanpa itu kita hanya akan bangga dengan kategori
negara demokrasi namun menggigil miskin seperti negara-negara di gurun Afrika. Bukankah
Singapura sekalipun tak dikategorikan negara demokrasi hidup bermandikan
kesejahteraan? Sementara Philipina sekalipun termasuk genus negara demokrasi
hidup dibawah standar kesejahteraan? Pada akhirnya demokrasi tak serta merta
menjanjikan kesejahteraan sebagaimana contoh kedua negara diatas, demokrasi
hanyalah pilihan sistem yang paling sesuai dimanapun ia berada (Rasyid:1999). Pertanyaan-pertanyaan
besar yang mesti dijawab pemerintah misalnya mengapa mekanisme demokrasi dalam
bentuk langsung kurang adaptif bagi bangsa ini, mengapa korupsi menjadi semacam
budaya bangsa, mengapa nafsu ormas dalam partisipasi politik melampaui
kewenangan pemerintah, mengapa otonomi tak kunjung menghasilkan perbaikan
kesejahteraan, mengapa kinerja birokrasi tak produktif melayani masyarakat,
mengapa pemerintah pusat dan daerah semakin hari semakin boros di tengah
kampanye reformasi birokrasi, mengapa radikalisasi agama muncul dan mengancam
kesatuan berbangsa dan bernegara, atau mengapa Pancasila menjadi semacam
idiologi batu akik yang sulit diewajantahkan pada generasi muda. Semua pertanyaan diatas hanya mungkin terjawab
jika pemerintah serius mengumpulkan data dan menelitinya sungguh-sungguh
sebelum dikembangkan menjadi kebijakan jangka panjang. Selama ini, rendahnya
kualitas data pada semua instansi menciptakan keragu-raguan publik terhadap sejumlah kebijakan pemerintah. Ambil contoh
jumlah orang miskin, tingkat kesejahteraan, jumlah pemilih, angka pengangguran,
angka melek huruf hingga jumlah daerah otonom seringkali berbeda antar satu
instansi dengan instansi lain. Pemerintah seperti tak memiliki kesatuan
informasi untuk mendorong kesepaduan tindakan dalam bentuk kebijakan dikemudian
hari. Lebih dari keprihatinan itu, semua monopoli data dari level pemerintah
terendah hingga puncak kekuasaan hanya tersimpan rapi tanpa penelitian lanjutan
serta terbatas bagi akses publik jika tanpa sedikit banyak represi. Akibatnya,
banyak data terbengkalai dan kadaluwarsa tanpa action plan penelitian sebagaimana dilakukan negara-negara maju.
Lihat saja bagaimana Singapura, Malaysia, Philipina dan India mengalokasikan
jutaan dolar untuk membiayai penelitian berkenaan dengan masalah yang dihadapi
pemerintah sebelum berlanjut dalam bentuk kebijakan. Inilah yang saya sebut
sebagai kebijakan dengan rujukan, bukan bersandar pada feeling dan bisikan, apalagi insting
semata. Jika pemerintah mengalami keresahan lantaran otonomi tak
menghasilkan apa-apa kecuali perkara pragmatis seperti pergantian rumah dinas
dan kenderaan dinas, persengketaan dimana-mana, lahirnya pemimpin tak bermutu
(kecuali bermuka tua), lenyapnya isi kas daerah dan negara tanpa alasan,
terkurasnya bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya, sejogjanya
diteliti agar diketahui sebab dan akibatnya sebelum otonomi kemudian dilarang,
dibatasi atau dibiarkan berlarut-larut. Jika atas nama demokrasi nafsu ormas
agama terhadap lingkungan sedemikian ekstrem sampai harus melakukan sweeping diberbagai kesempatan maka
apakah yang mesti diteliti untuk menghasilkan obat mujarab bagi harmonisasi
kehidupan berbangsa dan bernegara. Dengan demikian setiap kebijakan pemerintah
yang menyangkut hajat hidup orang banyak benar-benar didasari oleh nalar yang
sehat, bukan like and dislike. Kita
yakin kemajuan Singapura, China, India, Amerika dan sebagian besar Eropa karena
ditopang oleh data hasil evaluasi lalu ditindak lanjuti dalam bentuk penelitian
sebelum diputuskan oleh pemerintahnya. Tentu saja semua hasil yang
direkomendasikan tak selalu benar dan baik, pada aspek tertentu menyisakan
dampak yang telah dikalkulasikan hingga skala terkecil (margin error). Dinegara ini,
hampir tak ada instansi tanpa lembaga penelitian termasuk pemerintah daerah.
Ironinya, lembaga-lembaga penelitian dan pengembangan tersebut jauh dari
rujukan pemerintah sebelum mengambil keputusan.
Kita tak begitu paham apakah lembaga-lembaga tersebut kekurangan biaya
untuk meneliti, ataukah sumber daya manusianya tak lebih dari sekumpulan
pegawai yang memang sulit berkembang (litbang). Sepertinya kita mesti belajar
dari negara-negara yang meletakkan kebijakannya diatas rujukan penelitian yang valid lagi reliable. Atau mungkin kita patut belajar pada sejarah masa lalu
ketika Pemerintah Belanda frustasi menghadapi meluasnya spirit pan Islamisme di
wilayah Jawa, Sumatera dan Aceh. Ketika itu Menteri Negara Jajahan, Kruijt
meminta seorang sarjana muda bernama Snouck Hurgronje dari Universitas Leiden
meneliti meluasnya pembangkangan rakyat melawan pemerintah kolonial Belanda.
Snouck Hurgronje, seorang sosiolog yang pada akhirnya menyelesaikan disertasi
mirip dengan penelitian saya tentang Haji, mampu menyajikan hasil penelitian
yang menjadi rujukan utama Pemerintah Belanda lewat politik jangka panjang de vide et impera. Hasil penelitian
pertama berjudul Mekka menggambarkan
bagaimana pengaruh pan Islamisme yang dibawa oleh jama’ah haji, pengembang tarekat
dan kaum cendekiawan saat belajar di Mekkah memasuki alam pikiran masyarakat
sebagai suatu idiologi radikal. Mesti untuk penelitian semacam itu Pemerintah
Belanda membayar mahal agar Prof. Snouck Hurgronje berganti nama menjadi Abdul
Gaffar ketika memasuki perjalanan haji di Mekkah (1884-1885). Hasilnya jelas, Pemerintah
Belanda kemudian merelaksasi kebijakan haji pada waktu itu yang sebelumnya dicurigai
mengispirasi permusuhan secara vertikal antara masyarakat dan pemerintah
kolonial. Untuk kedua kalinya Snouck Hurgronje dikirim ke Bogor dan Garut
sebelum akhirnya menulis laporan hasil penelitian di Aceh dengan judul The Acehnese. Dua bab dalam laporan
penelitian tersebut mendeskripsikan tentang struktur masyarakat Aceh yang sesungguhnya
serta bagaimana Islam dalam ritualitasnya tak begitu adaptif dalam budaya
masyarakat (Koningsveld:1989, Benda:1973,Burhanuddin:2012). Uraian tersebut
sekaligus menjelaskan betapa kuatnya pengaruh sistem sosial budaya dibanding
pengaruh Islam yang hanya dipraktekan menurut ritualistik belaka. Kesimpulan ini mendorong Pemerintah Belanda menjauhkan
dua kutub yang berjarak diametral yaitu Uleebalang
dengan Ulama sebagaimana halnya rekomendasi
kaum Penghulu atau Menak dan Ulama di Jawa. Dua bab selanjutnya yang tak
dipublikasikan oleh perpustakaan Leiden menurut kecurigaan saya berisi
rekomendasi akhir yang melahirkan intervensi militer terhadap kelompok Islam
yang dinilai memiliki kaitan erat dalam mengembangbiakkan permusuhan antara
masyarakat dan pemerintah kolonial Belanda.
Dalam konteks ini yang ingin saya tandaskan bahwa apapun kebijakan
Pemerintah Belanda pada saat itu dengan segala konsekuensinya setidaknya tak
sekedar lahir berdasarkan nafsu imperialisme semata, namun dipertimbangkan
lewat prosedur penelitian yang objektif. Terlepas dari itu, untuk tujuan yang
mungkin menurut akal sehat kita tak sepaham, bukankah cara-cara demikian lebih
logis dan rasional dalam menentukan kebijakan untuk maksud yang mulia dan luhur
bagi masalah bangsa. Sayangnya, gambaran penelitian kita menunjukkan sebaliknya
sehingga tak perlu kaget jika kebijakan pemerintah dalam banyak hal salah
sasaran atau gagal ditengah jalan. Di
sudut lain, nasib lembaga-lembaga penelitian sosial yang melekat diberbagai
instansi pemerintah termasuk di perguruan tinggi ibarat hidup tak mau mati tak hendak. Bagaimana mau meneliti,
mempublikasikan dan merekomedasikan bagi rujukan kebijakan pemerintah kalau
untuk menyusun proposal penelitian saja dananya sudah habis duluan sebelum
observasi dilaksanakan. Demikianlah gambaran mengapa kebijakan pemerintah,
lebih-lebih pemerintah daerah kehilangan rujukan dalam bertindak. (Banggai, Sulteng, Agustus 2012).
Komentar
Posting Komentar