Derajat Desentralisasi Asimetrik Papua
Oleh. Dr. Muhadam Labolo
Abstrak
Kebijakan desentralisasi
asimetrik di Indonesia relatif tak memiliki derajat kualitatif disebabkan
perbedaan aksentuasi pada wilayah yang menganut perlakuan khusus. Tekanan
daerah khusus sebagaimana terkandung dalam lex
specialis membuat pemerintah kesulitan mengevaluasi capain masing-masing
lokus diterapkannya desentralisasi asimetrik. Pemerintah lebih fokus dan
mengutamakan perlakuan terhadap wilayah yang secara umum menerapkan
desentralisasi simetrik. Secara normatif pemerintah berpijak pada asumsi bahwa semua
yang tak diatur dalam kebijakan desentralisasi asimetrik berlaku ketentuan
sebagaimana kebijakan desentralisasi simetrik. Asumsi ini mengakibatkan daerah
khusus mengalami stagnasi dalam mengevaluasi derajat desentralisasi asimetrik.
Derajat desentralisasi asimetrik pada suatu wilayah hanya dapat dilakukan
dengan membandingkan derajat kebijakan desentralisasi simetrik dimasa lalu.
Fenomena kebijakan desentralisasi asimetrik di Papua sejauh ini tampak seperti
gelombang pasang menghantam karang kokoh. Dalam kurun waktu lebih dari sepuluh
tahun implementasi kebijakan desentralisasi asimetrik Papua tampak belum
mencapai tujuan sebagaimana tertuang dalam arah kebijakan otonomi khusus. Dengan
mengintegrasikan parameter derajat desentralisasi simetrik, derajat
desentralisasi asimetrik Papua setidaknya dapat diketahui dari faktor besaran
kewenangan, jenis urusan yang dikelola, pengawasan, alokasi finansial, otoritas
pengambilan keputusan, partisipasi politik lokal, tingkat ketergantungan, serta
cakupan area pelayanan.
Kata Kunci : derajat desentralisasi asimetrik, otonomi
khusus papua
Pendahuluan
Implementasi
desentralisasi asimetrik pada sejumlah wilayah di Indonesia tak terkecuali
Papua tampak kehilangan standar evaluasi pengukuran yang jelas. Berbeda dalam
penerapan desentralisasi simetrik yang menggunakan evaluasi melalui sejumlah
instrumen yang tersedia, kebijakan desentralisasi asimetrik sejauh ini relatif tak
memiliki standar evaluasi disebabkan perbedaan tekanan pada masing-masing
daerah khusus (politik, sosial, ekonomi dan budaya). Keragaman dalam corak
khusus menjadi salah satu sebab sehingga pemerintah sulit menyiapkan instrumen
secara khas pula. Akibatnya derajat desentralisasi asimetrik sulit di evaluasi
pada suatu daerah, apalagi jika pemerintah menggunakan instrumen yang sama dengan
standar evaluasi desentralisasi simetrik. Kondisi ini menjadikan kualitas daerah
khusus terkadang di evaluasi sejajar dengan kualitas daerah secara umum.
Perlakuan semacam itu menjadikan daerah khusus kehilangan objektivitas dalam
hal penentuan derajat atau kualitas desentralisasi asimetrik. Derajat
desentralisasi secara umum adalah ukuran yang dapat dijadikan standar untuk
menentukan apakah suatu daerah lebih desentralistis atau sebaliknya. Makna
lebih desentralistik menunjukkan ukuran seberapa besar kualitas otonomi
dikelola pemerintah daerah. Dalam konteks ini seberapa besar kualitas desentralisasi
asimetrik di Papua. Secara domestik derajat desentralisasi dapat dijadikan
ukuran maupun standar untuk membandingkan tingkat implementasi dalam pencapaian
tujuan. Dengan dasar itu itu maka derajat desentralisasi asimetrik disini
adalah ukuran maupun standar yang bersifat khusus untuk mengetahui kualitas
dari penyelenggaraan urusan oleh daerah yang bersifat asimetrik.
Dalam
kasus Papua, penerapan desentralisasi asimetrik sejak tahun 2001 hingga 2013
bukan tanpa masalah. Dari sisi besaran kewenangan khusus yang diberikan hampir
melampaui semua kewenangan kecuali aspirasi merdeka. Pasca pelantikan Gubernur Provinsi
Papua terpilih 2013-2018, tuntutan terhadap peningkatan derajat desentralisasi
asimetrik meningkat dalam bentuk harapan beraksentuasi otonomi khusus plus. Tuntutan ini mendorong pemerintah untuk
melakukan rekonsiliasi bagi pertarungan masa depan otonomi khusus Papua. Dari
aspek kualitas, urusan khusus sendiri mengalami pengendapan disebabkan rendahnya
keseriusan para elit lokal dan pemerintah mengidentifikasi secara konkrit,
termasuk mekanisme dan hubungannya dalam kerangka pembagian urusan antara pemerintah
dan daerah. Realitas ini dipertajam oleh tarik-menarik kewenangan di aras lokal
antara DPR Papua sebagai lembaga formal disatu sisi, dan Majelis Rakyat Papua
sebagai representasi budaya di sisi lain. Dinamika tersebut setidaknya
menunjukkan bahwa kanalisasi partisipasi melewati saluran yang tersedia secara
sehat yaitu partai politik di tingkat terendah hingga level provinsi. Kedua
lembaga tersebut setidaknya mewakili masyarakat dalam mengartikulasikan
kepentingan secara idiologis. Terlepas dari meningkatnya ketegangan dalam
setiap aktivitas demokrasi lokal, terdapat sejumlah konsesi, negosiasi dan
kompromi sebagai hasil tertinggi yang dapat dicapai dalam proses melahirkan
pemimpin lokal dari akar rumput (bottom
up). Secara umum kekuatan aspirasi dan artikulasi kepentingan memperoleh
saluran yang lebih dari cukup, dimana tersedia pilihan formal (DPRP) dan informal
(MRP) yang memiliki kekuatan seimbang dalam merepresentasikan kepentingan
masyarakat Papua. Terhadap proses dan pada akhirnya produk dari dinamika dan
kohesivitas yang terjadi disatu pihak tak dapat dihindari berhadapan dengan pengawasan
pemerintah. Sayangnya, pengawasan pemerintah mengalami ambiguitas antara bertindak represif atau bersikap preventif dalam
menghadapi ekspresi politik lokal yang terkadang bersifat ekstrem. Sejumlah
konflik horizontal dan pembakaran fasilitas pemerintah akibat ketidakpuasan
dalam berbagai hal menunjukkan kelalaian sekaligus kegamangan pengawasan
pemerintah.
Pada
aspek finansial, hampir 40 triliun dana otonomi khusus seperti tak manjur
menyelesaikan problem kemiskinan di Papua[1]. Pertambahan
kuantitatif dana otonomi khusus lewat APBN setiap tahun tak serta merta
berkorelasi dengan penurunan jumlah dan persentase penduduk miskin. Sejak
implementasi otonomi khusus tahun 2001, pemerintah telah mengucurkan dana
secara keseluruhan sebesar 33,7 triliun. Meskipun demikian, data Badan Pusat
Statistik Provinsi Papua menunjukkan kecemasan dimana jumlah dan persentase
penduduk miskin masih menjadi yang tertinggi di Indonesia. Pada tahun 2001
jumlah penduduk miskin tercatat 1,14 juta orang atau 54,75 persen. Sementara pada
2013 jumlah penduduk miskin berjumlah 1,01 juta orang atau 31,13 persen.
Sekalipun data tersebut memperlihatkan derajat penurunan yang cukup cepat,
namun posisi awal yang berada di puncak klasemen daerah dengan jumlah penduduk
miskin terbesar mengakibatkan pencapaian tersebut tak berpengaruh secara
signifikan. Potret demikian seakan bertolak belakang dengan penghargaan yang
diterima Provinsi Papua pada tahun 2013 dalam kategori daerah dengan penurunan
angka kemiskinan tercepat di Indonesia. Faktanya, dalam dua tahun terakhir
jumlah dan persentase penduduk miskin cenderung mengalami stagnasi dan tak
pernah lebih rendah dari angka 30 persen. Padahal otoritas pengambilan
keputusan dalam hal keuangan sepenuhnya berada di tangan Pemerintah Provinsi
Papua. Kenaikan dana otonomi khusus setiap tahun tanpa hasil yang sepadan dari
pendapatan asli mengindikasikan terciptanya ketergantungan, sekaligus secara
perlahan gagal mendorong kemandirian sebagai tujuan dari kebijakan
desentralisasi asimetrik. Faktor lain adalah cakupan area yang luas dengan
sumber daya yang kurang memadai mengakibatkan kebijakan desentralisasi
asimetrik belum menyentuh aspek vital kepentingan masyarakat diberbagai pelosok
kabupaten dan kota Provinsi Papua.
Gambaran
di atas setidaknya mendorong perlunya evaluasi terhadap derajat desentralisasi
asimetrik, khususnya di Provinsi Papua. Untuk kepentingan itu dibutuhkan
pengukuran kualitatif dengan menyertakan faktor-faktor tertentu sebagai
indikator dalam kerangka meningkatkan kualitas desentralisasi asimetrik. Apakah
evaluasi semacam ini menunjukkan kegagalan menyeluruh dalam penerapan
desentralisasi asimetrik di Indonesia? Tentu saja tulisan ini jauh dari upaya
menggeneralisasi. Tulisan ini akan menjelaskan faktor-faktor yang menentukan derajat
desentralisasi asimetrik di Papua. Derajat pengukuran dimaksudkan untuk
mendekatkan perspektif yang berbeda antara pemerintah dan daerah khusus dalam
hal menilai kualitas penerapan desentralisasi asimetrik. Disatu sisi pemerintah
cenderung menggunakan instrumen desentralisasi simetrik untuk memetakan derajat
desentralisasi asimetrik, sementara daerah dengan status khusus mengalami
kegamangan untuk mengukur kualitas desentralisasi asimetrik disebabkan
kekosongan instrumen evaluasi yang berciri khusus. Satu-satunya cara adalah
mencoba membandingkannya dengan kebijakan desentralisasi simetrik dimasa lalu.
Tentang Derajat Desentralisasi Asimetrik
Tanpa
melupakan perdebatan di aras konsep dan teori desentralisasi, hal yang
seringkali dilupakan adalah bagaimana mengetahui derajat desentralisasi dalam
praktek penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Pengukuran derajat
desentralisasi pada suatu daerah paling tidak berguna untuk mengevaluasi
perkembangan desentralisasi secara domestik maupun perbandingan kualitas
desentralisasi antar negara secara eksternal. Namun demikian persoalan
pengukuran derajat desentralisasi bukanlah hal yang mudah sebagaimana dikatakan
James Fesler (dalam Smith:1985).[2]
Hal itu paling tidak disebabkan oleh tiga soal mendasar yaitu; terminologi
bahasa yang selama ini mendikotomikan pemikiran tentang sentralisasi dan
desentralisasi, pengukuran dan kelemahan indeks desentralisasi, serta persoalan
bagaimana membedakan desentralisasi antar wilayah pada suatu negara. Terlepas
dari polemik itu, derajat desentralisasi asimetrik dapat disusun berdasarkan
faktor-faktor kekhususan meskipun tetap saja menyisakan perdebatan. Dengan
tetap berpijak pada konsep pengukuran derajat desentralisasi simetrik oleh
James Fesler, sejumlah faktor berikut telah dimodifikasi untuk mengukur derajat
desentralisasi asimetrik. Pertama,
seberapa besar fungsi atau urusan khusus yang dapat diserahkan oleh pemerintah
ke daerah khusus. Semakin banyak fungsi atau urusan khusus sebagaimana tekanan
pada tiap daerah khusus yang dapat diserahkan, semakin tinggi derajat
desentralisasi asimetrik. Faktor pertama berkenaan dengan seberapa besar
kewenangan yang dapat ditransfer pemerintah pusat ke daerah untuk menyelesaikan
urusan yang menjadi kekhususan masing-masing. Secara politik, kewenangan yang
besar memungkinkan daerah khusus mampu mengembangkan rumah tangganya secara
mandiri, kreatif dan inovatif. Kebebasan yang menjadi elemen penting dari
kewenangan dimaksud memungkinkan daerah khusus dapat menggali keunggulan
dirinya (core competence) lewat
proses yang bersifat demokratis untuk mencapai sebesar-besarnya kesejahteraan
rakyat di daerah. Secara administratif, kewenangan yang besar memungkinkan
daerah khusus mampu memberikan pelayanan yang terbaik dalam hal apa yang
dibutuhkan masyarakat melalui prinsip efisiensi dan efektivitas. Secara ekonomi,
kewenangan yang besar memungkinkan daerah khusus mampu menggali sumber daya
yang tersedia secara nyata dan bertanggungjawab. Secara kultural, kewenangan
yang besar memungkinkan daerah khusus dapat mengembangkan tradisi yang selama
ini terbatasi akibat uniformitas
dimasa lalu. Aspek ini dapat memposisikan daerah khusus memiliki harga diri
sekaligus memperkuat bargaining position
dihadapan pemerintah. Faktor kedua
berkenaan dengan jenis pendelegasian fungsi. Dalam hal ini terdapat dua jenis
pendelegasian fungsi, yaitu general
competence dan ultra-vires doctrin.
General competence memungkinkan
daerah khusus dapat mengembangkan kemampuannya secara maksimal diluar urusan
yang menjadi kewenangan pemerintah. Sebaliknya, ultra-vires doctrin memberikan wewenang terbatas pada daerah dimana
fungsi-fungsi tertentu ditentukan secara jelas oleh pemerintah. Jenis pertama
cenderung dipraktekkan dalam negara federalistik, sedangkan jenis kedua menjadi
rujukan dalam banyak negara berbentuk kesatuan. Dalam perkembangan dewasa ini
kedua jenis pendelegasian fungsi tersebut seringkali dijalankan oleh beberapa
negara secara kombinatif. Faktor ketiga berkaitan dengan seberapa besar
kontrol pusat terhadap daerah khusus. Kontrol yang lebih fleksibel memberikan
peluang pada daerah khusus untuk menumbuhkan kemandirian, kreativitas dan inovasi
mendahului intervensi pusat. Sebaliknya,
kontrol yang ketat dipandang membatasi peluang bagi daerah khusus untuk
mengembangkan kemandirian, kreativitas dan inovasi. Dengan demikian kontrol
yang bersifat fleksibel diyakini lebih mendorong derajat desentralisasi asimetrik
dibanding kontrol yang bersifat ketat. Secara umum dan tak dapat dihindari
bahwa faktor ini seringkali menimbulkan kecurigaan antara pemerintah dan daerah
khusus. Faktor keempat berhubungan
dengan otoritas pengambilan keputusan menyangkut pengelolaan keuangan baik
penerimaan maupun pengeluaran daerah khusus. Semakin tinggi diskresi
pengambilan keputusan dalam hal alokasi keuangan yang didasarkan pada kebutuhan
nyata daerah khusus semakin tinggi pula derajat desentralisasi asimetrik. Dalam
konteks ini perbandingan dilakukan dengan menekankan pada aspek keleluasaan memutuskan,
bukan hanya didasarkan pada seberapa besar alokasi keuangan yang ditransfer
pusat ke daerah khusus. Faktor kelima
berkorelasi dengan metode pembentukan dan penetapan daerah khusus. Mekanisme
pembentukan dan penetapan daerah khusus yang berlangsung secara bottom up menunjukkan derajat
desentralisasi asimetrik lebih tinggi dibanding jika inisiasi pembentukan dan
penetapan daerah khusus terjadi secara top
down. Faktor ini memiliki relevansi kuat terhadap derajat demokrasi, dimana
partisipasi masyarakat menjadi faktor penentu dibanding kepentingan politik
elit semata. Faktor keenam adalah
seberapa besar tingkat ketergantungan finansial daerah khusus terhadap
pemerintah. Faktor ini dapat dilihat dari seberapa besar alokasi finansial
pemerintah diluar pendapatan asli daerah khusus. Semakin tinggi pendapatan asli
daerah khusus dibanding alokasi bantuan pemerintah dalam berbagai mekanisme
yang dirancang, semakin tinggi derajat desentralisasi asimetrik. Faktor ketujuh berkaitan dengan cakupan luas
area pelayanan. Semakin luas cakupan area pelayanan dipandang semakin tinggi
derajat desentralisasi asimetrik. Sekalipun faktor ini memiliki kelemahan, namun
patut diketahui pula seberapa besar dominasi pemerintah terhadap daerah khusus dalam
sejumlah urusan yang dikerjakan selama ini. Daerah-daerah yang memiliki
kekhususan dari aspek geografis, demografis, topografis, sosiologis, historis
dan politis memungkinkan untuk menyelesaikan masalahnya secara khusus sekaligus
membatasi campur tangan pemerintah. Faktor terakhir berhubungan dengan peranan
partai politik lokal dalam mengartikulasikan kepentingan masyarakat di daerah khusus
dibanding dominasi partai politik nasional. Semakin tinggi diskresi partai
lokal dalam mencerminkan kebutuhan masyarakat lewat sarana legislasi yang
tersedia semakin tinggi pula derajat desentralisasi asimetrik. Diantara delapan
faktor yang sering digunakan dalam menentukan derajat desentralisasi, dua
faktor pertama seringkali menjadi perhatian utama sebagaimana dikatakan Conyers
(1986).[3]
Lebih jauh dalam hal distribusi kewenangan menurutnya perlu memperhatikan
sejumlah hal yaitu, aktivitas fungsional apa yang didesentralisasikan, kekuasaan
apa saja yang perlu dilekatkan pada fungsi-fungsi dimaksud, seberapa besar
kekuasaan pada setiap tingkatan, kepada siapa distribusi fungsi tersebut
diberikan, serta menyangkut cara seperti apakah fungsi dan wewenang tersebut
didesentralisasikan. [4]
Derajat Otonomi Khusus Papua
Pasca
implementasi Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus bagi Provinsi
Papua, tampak bahwa Papua memasuki babak baru dalam penyelenggaraan
pemerintahan daerah, setidaknya dari status desentralisasi simetrik bergerak
dan menjadi bagian dari kebijakan desentralisasi asimetrik. Konsekuensi dari
kebijakan desentralisasi asimetrik memposisikan Papua sebagai daerah khusus dengan
aksentuasi pada aspek budaya. Aksentuasi kebijakan asimetrik di Papua tentu
saja berbeda jika dibandingkan dengan otonomi khusus di Provinsi DKI Jakarta,
Jogjakarta dan Nanggroeh Aceh Darussalam. Kondisi ini memastikan pengelolaan
urusan khusus membutuhkan standar evaluasi tertentu guna mencapai tujuan dan
sasaran kebijakan desentralisasi asimetrik. Dengan menggunakan parameter
derajat desentralisasi simetrik, derajat desentralisasi asimetrik Papua setidaknya
dapat dilihat dari faktor besaran kewenangan, jenis dan kualitas urusan khusus,
pengawasan, alokasi finansial, otoritas pengambilan keputusan, partisipasi
politik lokal, tingkat ketergantungan, serta cakupan area pelayanan. Sejumlah
faktor tersebut hanya mungkin dibanding dengan kebijakan desentralisasi
simetrik dimasa lalu, ketika Papua memasuki era otonomi daerah melalui
penerapan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999. Tentu saja membandingkan Papua
dengan daerah lain dalam cakupan desentralisasi asimetrik sulit dilakukan
disebabkan perbedaan tekanan otonomi khusus, demikian pula terhadap daerah yang
menerapkan kebijakan desentralisasi simetrik secara luas.
Pertama,
seberapa besar kuantitas urusan yang secara khusus didesentralisasikan selama
ini dari Pemerintah ke Papua. Sejak tahun 1999, kewenangan yang
didesentralisasikan pada dasarnya mencakup semua hal kecuali menyangkut
kepentingan nasional seperti pertahanan, keamanan, moneter, yudisial, agama dan
hubungan luar negeri. Semua kewenangan
di luar itu menjadi urusan pemerintah daerah yang berhak diatur dan diurus
berdasarkan asas otonomi dan tugas pembantuan. Jika dibandingkan pasca implementasi
kebijakan otonomi khusus di Papua sejak tahun 2001, praktis Papua menerima
tambahan urusan khusus sebagai konsekuensi dari kebijakan desentralisasi
asimetrik. Urusan menyangkut pengaturan aspek budaya dalam masyarakat Papua
menjadi kewenangan khusus yang dikendalikan lewat Majelis Rakyat Papua (MRP). Secara
riil MRP memiliki kewenangan yang bahkan melampaui DPR Papua dalam hal
penentuan persyaratan pemimpin lokal di tingkat Kabupaten/Kota dan Provinsi.
Sekalipun DPR Papua secara normatif memiliki fungsi menyerap aspirasi dan
berhak memberikan rekomendasi dalam seleksi kepemimpinan lokal, namun lembaga
MRP memiliki otoritas budaya yang bersifat superior, termasuk menyeleksi dan
menolak calon sekalipun disetujui oleh DPR Papua. Kewenangan MRP sebagai
manifestasi masyarakat Papua secara politik lebih dominan dalam
merepresentasikan aspek budaya, khususnya seleksi kepemimpinan putra asli
Papua. Jelas bahwa kewenangan khusus semacam ini terbatas dilakukan dimasa lalu,
termasuk isi dan luas otonomi khusus yang mengalami kualifikasi bahkan
cenderung meningkat. Peningkatan derajat
otonomi khusus Papua juga memiliki peluang untuk terus bertambah seiring dengan
sinyal pemerintah yang menyetujui perlunya otonomi
khusus plus. Sekalipun skema otonomi khusus plus sebagaimana diusulkan
Gubernur Papua terpilih (2013-2018) masih dalam bentuk blanko kosong yang mesti dirumuskan secara konkrit, namun harus
diakui bahwa kuantitas urusan pasca desentralisasi asimetrik di Papua mengalami
peningkatan cukup signifikan.
Kedua,
kebijakan desentralisasi asimetrik di Provinsi Papua secara delegatif telah
meletakkan kualitas urusan khusus lebih besar dibanding urusan yang selama ini
dikerjakan pemerintah. Jika dilihat skema pembagian urusan di Provinsi Papua,
terdapat tidak saja urusan wajib dan pilihan sebagaimana di terima oleh daerah
dalam kerangka desentralisasi simetrik, lebih dari itu terdapat urusan yang
bersifat khusus (budaya). Kecuali urusan pemerintah, Provinsi Papua secara
kualitatif berhak mengatur dan mengurus aspek budaya diluar urusan wajib dan
urusan pilihan. Faktanya, kualitas urusan khusus dalam aspek budaya yang
menjadi titik tekan tak mampu dikembangkan secara rinci melalui peraturan
daerah istimewa dan peraturan daerah khusus sebagaimana amanat undang-undang.
Satu-satunya yang tampak ialah seleksi kepemimpinan lokal oleh Majelis Rakyat
Papua untuk memastikan pemimpin terpilih benar-benar putra asli daerah Papua.
Terbatasnya kualitas sumber daya manusia merupakan faktor yang sangat
menentukan sehingga elit lokal kurang mampu mengembangkan urusan khusus yang
diamanahkan undang-undang.
Dengan
keterbatasan itu, daerah secara langsung tak memiliki kemampuan untuk mengeksplorasi
dan mengeksploitasi sumber daya yang tersedia bagi sebesar-besarnya kemakmuran
Daerah Papua. Kewenangan umum dimaknai sebagai apa saja yang diserahkan pusat
untuk dikelola semaksimal mungkin bagi kepentingan daerah sepanjang tak
melanggar aturan yang lebih tinggi. Selain lima kewenangan pokok pemerintah,
sebenarnya daerah khusus memiliki general
competence yang memadai untuk mengelola urusan rumah tangganya
masing-masing. Pengelolaan urusan berkaitan dengan paling tidak tiga kewenangan
dasar yaitu membuat kebijakan, mengatur keuangan dan mengelola kepegawaian.
Sepanjang penerapan kebijakan desentralisasi asimetrik tahun 2001, kewenangan
membuat kebijakan dalam bentuk pengaturan dan pengurusan di Daerah Papua
memperoleh peluang dengan batasan undang-undang yang lebih tinggi, kewenangan
antar tingkatan, serta kepentingan publik. Demikian pula kewenangan dalam
pengaturan keuangan yang memberikan keleluasaan Daerah Papua sebagai lembaga
otoritas untuk menerima dan mengeluarkan dana otonomi khusus sesuai kebutuhan.
Di bidang kepegawaian, Daerah Papua pada dasarnya memiliki diskresi untuk
melakukan promosi, mutasi, bahkan mendemosikan pegawai hingga golongan tertentu
sesuai kepentingan pemerintah daerah. Sayangnya, dampak dari besarnya otoritas
dalam konteks itu mengakibatkan Pemerintah Daerah Papua diindikasikan terlalu
mudah mengeluarkan uang untuk alasan dan kepentingan yang bersifat konsumtif.
Hingga tahun 2013 gejala korupsi di legislatif dan eksekutif Papua cukup
merisaukan, sekalipun pada faktanya Badan Pemeriksa Keuangan dan KPK tak mampu menciduk
secara langsung.[5] Konflik internal dibidang
kepegawaian akibat politisasi birokrasi mencapai puncaknya sejak tahun 2005,
akibat mekanisme pemilu kepala daerah dilakukan secara langsung (direct election). Problem kewenangan
berkaitan dengan bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya
semestinya dikuasai negara, namun faktanya menjadi bibit ketegangan antara
pemerintah dan Daerah Papua. Skema
pembagian sumber daya kini berbalik tajam antara proporsi Pemerintah sebanyak
20 persen, dan untuk Daerah Papua sebesar 80 persen. Derajat desentralisasi
dari aspek kewenangan pengelolaan pertambangan dan gas bumi sejauh ini masih menjadi
kewenangan Pemerintah dengan proporsi perimbangan lebih besar pada Daerah
Papua. Sementara derajat desentralisasi dibidang pengelolaan keuangan juga
mengalami defisit sebagai respon terhadap meluasnya korupsi diberbagai bidang.
Dalam bidang kepegawaian derajat desentralisasi hanya mengalami peralihan untuk
jabatan tertentu dari persetujuan di level terendah menjadi urusan entitas
pemerintah di level yang lebih tinggi (kabupaten/kota ke provinsi). Secara umum
derajat desentralisasi dari faktor pendelegasian fungsi sejak penerapan
kebijakan desentralisasi asimetrik di Daerah Papua dapat dikatakan mengalami stagnasi.
Ketiga,
sejak penerapan otonomi khusus Papua tahun 2001, kecenderungan kontrol pemerintah
masih mengalami peningkatan sebagai ekses masa lampau. Namun demikian tekanan
kontrol lebih ditekankan pada aspek keamanan dan pertahanan dibanding implementasi
otonomi khusus secara umum. Lemahnya kontrol pemerintah dalam aspek perencanaan
hingga implementasi kebijakan otonomi khusus pada sisi lain mengakibatkan
lahirnya beberapa peraturan dibawah tingkatan peraturan daerah khusus yang
dinilai bertentangan dengan kebijakan pemerintah. Rendahnya kontrol juga menciptakan
lemahnya pengawasan terhadap kebijakan daerah khusus. Dapat dikatakan bahwa
sekalipun penerapan desentralisasi asimetrik sejak tahun 2001 membuahkan dampak
bagi lahirnya beberapa kebijakan di Papua, namun meningkatnya kontrol pemerintah
dari aspek keamanan sedikit banyak berdampak dalam penyelenggaraan otonomi
khusus. Tingginya kontrol yang dilakukan pemerintah akhir-akhir ini terhadap isu
separatisme dan dampak yang ditimbulkannya dipandang sebagai upaya membatasi
kemandirian otonomi khusus. Dalam kondisi ini sekalipun derajat desentralisasi asimetrik
terkesan menurun, namun alasan pemerintah dalam hal peningkatan keamanan dan
pertahanan di wilayah Papua dalam batas tertentu dapat dipahami.
Keempat,
jika dilihat penerapan kebijakan desentralisasi asimetrik sejak tahun 2001,
otoritas Pemerintah Daerah Khusus Papua dalam pengelolaan keuangan lebih besar
dibanding kebijakan desentralisasi simetrik tahun 2004. Terhadap faktor ini,
aspek penerimaan dalam bentuk Dana Alokasi Umum, Dana Alokasi Khusus, Dana
Perimbangan serta Dana Otonomi Khusus sebagai sumber keuangan daerah cenderung
mengalami kenaikan signifikan. Mekanisme pengeluaran keuangan daerah di Provinsi
Papua sejak tahun 2001 relatif tak dibatasi lewat mekanisme pengeluaran
keuangan yang ketat.[6]
Sejumlah instrument yang dikeluarkan pusat untuk mengendalikan selera konsumtif
tanpa pertanggungjawaban yang jelas diasumsikan hanya berlaku bagi daerah
dengan kebijakan desentralisasi simetrik. Sekalipun pemerintah setiap tahun
berupaya menambah alokasi dana otonomi khusus, namun secara kumulatif
Pemerintah Daerah Papua merasa tak pernah cukup dihadapkan pada beban urusan
khusus yang telah didesentralisasikan. Pernyataan Gubernur Provinsi Papua Lukas
Enembe setidaknya memperkuat kesimpulan diatas, dimana Papua dinilai terlalu
luas dengan 30 kabupaten/kota sehingga membutuhkan dana yang tak sedikit.
Alokasi dana otonomi khusus menurutnya lebih penting diarahkan dalam
pembangunan sektor pendidikan, kesehatan dan ekonomi sebagai masalah
fundamental.[7] Jika dilihat dari aspek
ini sebenarnya alokasi keuangan Pemerintah masih lebih tinggi dibanding
keuangan daerah secara keseluruhan. Masalahnya apakah banyaknya urusan yang
didesentralisasikan ke Papua secara paralel perlu mengubah keseimbangan
keuangan sebagaimana prinsip yang selalu dikemukakan No Mandate Without Funding? Apabila hal itu menjadi prinsip pokok,
maka neraca keuangan pemerintah versus
daerah kemungkinan lebih seimbang jika tidak menguntungkan daerah. Persoalan
hubungan pusat-daerah dari aspek keuangan harus diakui masih menjadi kendala
utama tidak saja di Indonesia, demikian pula di berbagai negara. Hal ini
berkaitan pula dengan komitmen pemerintah dalam sejumlah agenda besar seperti
reformasi birokrasi yang tampak belum berjalan konsisten. Gambaran ini
menunjukkan bahwa derajat desentralisasi asimetrik mengalami peningkatan dimana
perubahan mekanisme pengelolaan keuangan mengakibatkan otoritas pengambilan
keputusan lebih besar dapat dilakukan oleh Pemerintah Daerah Khusus Papua.
Terlepas dari itu, dampak dari tingginya otoritas pengelolaan keuangan oleh
pemerintah daerah tak sedikit menimbulkan gejala korupsi di wilayah Papua.
Kelima,
kemampuan legislatif daerah dalam menetapkan berbagai produk peraturan daerah
sejak tahun 2001 tak mengalami peningkatan signifikan, bahkan cenderung stagnan. Sekalipun intervensi pemerintah
dalam pengambilan keputusan cenderung berkurang dengan alasan memberikan
diskresi yang lebih luas untuk mengembangkan otonomi khusus, namun faktanya DPR
Papua tak mampu menghasilkan peraturan daerah istimewa dan peraturan daerah
khusus sebagaimana diamanatkan undang-undang otonomi khusus. Akibatnya, kinerja
otonomi khusus terkesan berjalan di tempat disebabkan belum memadainya perangkat hukum
sebagai landasan teknis dalam mengoperasionalisasikan undang-undang otonomi
khusus Papua. Dalam enam tahun pertama implementasi otonomi khusus Papua,
perangkat hukum dalam bentuk Peraturan Daerah Istimewa (Perdasi) dan Peraturan
Daerah Khusus (Perdasus) yang sudah dirumuskan dan ditetapkan hanya 4 Perdasi,
sementara undang-undang otonomi khusus Papua mengamanatkan pembuatan 17 Perdasi
dan 11 Perdasus. Harus diakui bahwa rendahnya kualitas legislatif
lokal menjadi salah satu sebab banyaknya peraturan daerah yang tak mampu
diselesaikan. Selain itu lemahnya kaderisasi dan rekrutmen partai di tingkat
lokal turut memberi kontribusi bagi lahirnya peraturan daerah yang tak bermutu.
Untuk faktor ini harus diakui pula bahwa derajat desentralisasi asimetrik tak
dapat dikatakan semakin baik, sebab sekalipun diskresi yang diberikan lewat
otonomi khusus sedemikian luas, namun sejauh ini DPR Papua tak mampu
meningkatkan fungsinya dalam menetapkan regulasi di tingkat lokal baik secara
kuantitatif maupun kualitatif. Selain rendahnya sumber daya manusia, kendala
lain yang dihadapi DPR Papua adalah kekuatan bargaining politic
Majelis Rakyat Papua sebagai partner
sekaligus bersikap oposan dalam hal kebijakan strategis.
Keenam,
tingkat ketergantungan Pemerintah Daerah Khusus Papua terhadap keuangan pemerintah
menentukan derajat desentralisasi asimetrik. Fakta bahwa tingkat ketergantungan
pemerintah daerah khusus terhadap keuangan pusat dibanding pendapatan daerah
yang diharapkan menjadi dasar bagi perkembangan desentralisasi asimetrik dapat
dilihat dari peningkatan sumber keuangan daerah yaitu Dana Alokasi Umum, Dana
Alokasi Khusus, Dana Bagi Hasil dan Dana Otonomi Khusus itu sendiri. Khusus
peningkatan dana otonomi khusus Papua sejak tahun 2002 hingga 2013 dapat dilihat
pada tabel berikut;
Tabel.1
Peningkatan Dana Otonomi Khusus
di Provinsi Papua
Tahun 2002-2013
Tahun
|
Jumlah (Triliun)
|
2002
|
Rp.
1.175
|
2003
|
Rp.
1.539
|
2004
|
Rp.
1.642
|
2005
|
Rp.
1.775
|
2006
|
Rp.
2.913
|
2007
|
Rp.
3.295
|
2008
|
Rp. 3.59
|
2009
|
Rp. 3.59
|
2010
|
Rp.
3.849
|
2011
|
Rp. 4.51
|
2012
|
Rp.
5.476
|
2013
|
Rp.
6.222
|
Sementara kontribusi pendapatan asli daerah
rata-rata hanya berkisar 2-10% dari total anggaran yang diterima pemerintah.[8] Sekalipun
beberapa daerah sejak penerapan kebijakan desentralisasi tahun 2004 memperoleh
tambahan dari alokasi sumber baru dalam bidang pertambangan dan gas termasuk
Papua, namun tingkat ketergantungan daerah tetap tinggi disamping bertambahnya
daerah otonom yang pada masa penerapan desentralisasi tahun 1999 mengalami
pertumbuhan ibarat cendawan di musim hujan. Hingga tahun 2013, Provinsi Papua
mengalami pemekaran menjadi Provinsi Papua Barat berikut sejumlah daerah otonom
baru setingkat kabupaten seperti Mappi, Paniai, Daiyai, Mamberamo, Manokwari Selatan dan Pegunungan
Arfak.
Terlepas dari itu, yang menjadi
ukuran dalam menentukan derajat desentralisasi asimetrik adalah apakah daerah
otonom baru tumbuh sebagai manifestasi dari kebutuhan masyarakat ataukah lebih
di dorong oleh keinginan pemerintah dalam mengendalikan gejolak di Papua. Jika
diteliti lebih jauh, sejumlah pemekaran di Papua banyak mengandung masalah
seperti tak terpenuhinya syarat jumlah penduduk dan parameter ekonomi
sebagaimana di atur dalam peraturan pemerintah. Sekalipun demikian, tumpukan
proposal pengajuan pemekaran terus bertambah di DPR dan Pemerintah. Indikasi
tersebut menyiratkan bahwa sekalipun sejumlah persyaratan yang ditentukan dalam
peraturan perundang-undangan tak sepenuhnya terpenuhi, namun pemerintah tetap
menyetujui terbentuknya daerah otonom baru di Papua dengan pertimbangan politik
mempercepat pelayanan dan pembangunan daerah terisolir. Tuntutan yang
sedemikian tinggi menunjukkan bahwa aspirasi lebih di dorong oleh kebutuhan
masyarakat setempat (bottom up)
dibanding kekuatan pemerintah dalam mendesain tumbuhnya daerah otonom baru. Tanpa
menutup mata, terdapat pula pendapat tentang persoalan terciptanya
ketergantungan sebagaimana dikatakan Kambuaya (dalam
Syarwi:2013), bahwa “strategi dan pendekatan pembangunan yang dilaksanakan di
Tanah Papua selama puluhan tahun lebih banyak di dominasi oleh kebijakan dan
pendekatan politik daripada pendekatan-pendekatan kesejahteraan”. Menurutnya,
akibat dari model pendekatan seperti itu telah menciptakan ketergantungan yang
sangat kental di kalangan masyarakat asli Papua. Ketergantungan tampak dalam
bentuk ketergantungan pemerintah daerah (kabupaten/kota) kepada pemerintah
provinsi, maupun ketergantungan kabupaten/kota dan provinsi pada pemerintah
pusat.
Ketujuh,
luas wilayah khusus menentukan derajat desentralisasi asimetrik. Alasannya, dengan
kewenangan yang ada daerah khusus lebih mampu menyelesaikan berbagai masalah
secara efisien dan efektif. Luas wilayah menunjukkan tanggungjawab pemerintah
daerah sehingga semakin luas cakupan pelayanan semakin kecil peran dan
intervensi pusat. Sekalipun sejak 1999 luas wilayah dan cakupan pelayanan
dilakukan secara fused model, namun prinsip-prinsip pelayanan
yang bersentuhan langsung dengan urusan daerah lain tak begitu jelas di atur
sehingga derajat desentralisasi asimetrik sulit ditentukan. Persoalan yang
dihadapi adalah apakah dengan luas wilayah dan besaran isi desentralisasi asimetrik
dapat dilaksanakan oleh daerah khusus? Faktanya banyak kewenangan dan urusan
yang diberikan belum maksimal dijalankan. Sejak era desentralisasi 2004, pengelolaan
kewenangan ditentukan berdasarkan prinsip eksternalitas, akuntabilitas dan
efisiensi. Prinsip ini menjadi dasar dalam penyelesaian urusan kesehatan, pendidikan,
pertanahan, sampah, perbatasan, tambang dan lintas daerah otonom yang menjadi
urusan bersama. Prinsip yang dikandung dalam kebijakan ini tidak saja memberi
koridor bagi daerah namun mekanisme yang lebih mudah dalam pengelolaan
pelayanan lintas daerah. Urusan yang dilaksanakan dibagi dalam dua klaster
utama yaitu urusan wajib dan urusan pilihan. Disamping itu terdapat urusan
bersama (concurrent) yang dapat
dilaksanakan oleh dua entitas pemerintahan yang berbeda.
Apabila
derajat desentralisasi dalam faktor ini dilihat dari aspek kemampuan daerah
khusus menyelesaikan masalah dengan luas wilayah dan semakin minimnya
intervensi Pemerintah, maka dapat dikatakan bahwa derajat desentralisasi asimetrik
sejak tahun 2001 di Papua lebih tinggi dibanding derajat desentralisasi
simetrik tahun 1999. Pada era 1999 daerah memang memiliki cakupan wilayah dan pelayanan
yang luas, namun realitasnya banyak urusan tak dapat dijalankan dengan baik. Sekalipun
diakui lambat, namun periode pertama kebijakan desentralisasi asimetrik di
Papua (2001-2005), persentase penduduk miskin mengalami penurunan sebesar 0,97
persen dari 41,8 persen menjadi 40,83 persen. Sayangnya kondisi ini tak
bertahan lama, sebab sampai dengan Maret 2013 persentase kemiskinan di Papua
belum menunjukkan gambaran yang memuaskan. Tampaknya diperlukan skema alokasi
anggaran yang lebih besar ke level terendah kabupaten/kota disamping perlunya
transparansi pengelolaan dana otonomi khusus.
Kedelapan,
faktor terakhir berkaitan dengan seberapa jauh dominasi partai lokal dalam
mengartikulasikan kepentingan dibanding intervensi partai nasional. Di luar Provinsi Nanggroeh Aceh Darussalam
yang memiliki partai lokal, semua daerah memiliki struktur hirarkhi partai
nasional. Partai politik yang berada di Papua hanyalah kepanjangan organ partai
politik di tingkat nasional. Secara umum kebijakan partai nasional
dikanalisasikan secara hirarkhi ke cabang dan ranting di daerah. Dampaknya, semua
kebijakan partai politik di Papua sangat tergantung pada kebijakan partai di
tingkat nasional. Sekalipun beberapa partai nasional telah memberikan otonomi
yang luas pada pengurus cabang dan ranting partai di daerah, namun artikulasi
kepentingan di tingkat legislatif pada umumnya belum mencerminkan kepentingan
masyarakat lokal, kecuali kepentingan elit itu sendiri. Sebagai contoh kasus
pemilu lokal di Papua, semua pasangan kandidat yang akan berkompetisi sebagai
kepala daerah wajib memperoleh restu dari elit partai di tingkat nasional
selain sangat ditentukan oleh persetujuan Majelis Rakyat Papua. Tanpa
rekomendasi tertulis dari pimpinan puncak partai nasional, pasangan kandidat
sulit memperoleh tiket melaju ke pemilu lokal. Ini menunjukkan bahwa peran
partai lokal dalam merepresentasikan kepentingan masyarakat masih didominasi
partai nasional. Sejak implementasi desentralisasi tahun 1999 hingga kebijakan
desentralisasi asimetrik 2001, kinerja partai politik lokal di Papua tak banyak
memainkan peranan kecuali mengamini semua kebijakan partai nasional dan menunggu
restu MRP. Untuk faktor ini dapat dikatakan bahwa peranan partai politik yang
minim menunjukkan derajat desentralisasi asimetrik rendah. Namun demikian,
apabila posisi MRP dalam banyak hal dianggap telah menggantikan peran partai
lokal, sehingga secara bottom up
mampu memainkan peran partai politik lokal, maka dapat saja dikatakan bahwa
derajat desentralisasi asimetrik cukup tinggi.
Penutup
Dari
gambaran sejumlah faktor di atas dapat disimpulkan bahwa derajat desentralisasi
asimetrik di Provinsi Papua secara kuantitatif mengalami peningkatan, namun
secara kualitatif tak banyak memperlihatkan hasil yang menggembirakan. Jika
derajat desentralisasi asimetrik dimaknai sebagai kebebasan daerah khusus dalam
mengatur dan mengurus rumah tangganya secara khusus pula, maka dengan sejumlah
kewenangan yang diberikan dapat dikatakan mengalami peningkatan. Tetapi jika
derajat desentralisasi asimetrik dilihat dari dampak yang ditimbulkannya, maka
terdapat sejumlah catatan yang mesti diantisipasi jika tak ingin dikatakan
gagal. Tampak pula bahwa perubahan desentralisasi simetrik ke desentralisasi
asimetrik di Papua cenderung belum dipahami dalam makna kualitatif, yang
cenderung mengemuka adalah tuntutan kuantifikasi kewenangan dalam bentuk alokasi
dana yang terus meningkat. Hal ini dapat dilihat pada faktor besaran kewenangan
yang diserahkan serta jenis kewenangan khusus yang dikerjakan. Jika kondisi ini
dibiarkan tanpa upaya pengendalian yang efektif dapat menciptakan
ketergantungan dalam jangka panjang, selain ancaman isu separatisme. Dalam
konteks itu diperlukan suatu pemahaman yang setaraf dalam bentuk hubungan
sistemik sehingga pengawasan pemerintah tidaklah dipandang sebagai ancaman,
melainkan upaya mendorong kualitas desentralisasi asimetrik. Kesimpulan itu
setidaknya didukung oleh gambaran faktor kontrol pemerintah serta seberapa
besar otoritas pengambilan keputusan di level pemerintah daerah.
Faktor
lain yang mempengaruhi kualitas desentralisasi asimetrik di Papua adalah
kesiapan sumber daya manusia untuk menghasilkan regulasi di tingkat lokal,
demikian pula partisipasi elit dan masyarakat. Dalam hubungan itu selain upaya
pendidikan yang berkelanjutan, diperlukan pula sosialisasi konsep dan kebijakan
desentralisasi asimetrik secara terus-menerus sehingga dapat diterima tidak
saja oleh elit, demikian pula masyarakat luas di Papua. Tanpa strategi ini,
kemungkinan desentralisasi asimetrik hanyalah milik elit politik dan birokrasi
dengan setumpuk gejala korupsi sebagai indikasinya, jauh bagi kemanfaatan masyarakat
Papua. Kondisi ini setidaknya di dukung oleh gambaran faktor inisiasi
masyarakat serta peran partai politik lokal dalam menghasilkan produk hukum
daerah.
Harus
pula diakui bahwa kebijakan desentralisasi asimetrik menjadi sarana strategis
bagi Papua untuk meretas jalan menuju pembelajaran demokrasi, sekalipun derajat
desentralisasi secara umum paradoks dengan upaya efisiensi dan kontrol
pemerintah. Kesimpulan ini mengingatkan pada dilema demokrasi, dimana semakin
tinggi orientasi pada upaya pencapaian kualitas demokrasi yang diinginkan,
semakin tinggi pula dampak in-efisiensi.
Sebaliknya, semakin tinggi orientasi terhadap efisiensi semakin rendah pula
upaya kearah pencapaian kualitas demokrasi.
Referensi
Conyers, Diana, 1986. Decentralization and Development: a
Framework for Analysis, Community Development Journal. (Vol.21, Number 2,
April)
Cheema, G Shabbir, Dennis A Rondenelli,
1983. Decentralization and Development,
Policy Implementation in Developing Countries. Sage Publication, Beverly
Hills/London/New Delhi
Gaffar, Affan, 1999. Politik Indonesia, Transisi Menuju
Demokrasi. Pustaka Pelajar, Jogjakarta
Hanif, Nurcholis, 2005. Teori dan Praktek Pemerintahan dan Otonomi
Daerah. Grasindo, Jakarta
Hidayat, Syarif, 2007. Too Much Too Soon, Local State Elite’s
Perspective On and The Puzzle Of Contemporary Indonesian Regional Autonomy
Policy, Jakarta, Rajawali Grafindo Persada
Jusuf SK, 2012.
Otonomi
Daerah Di Persimpangan Jalan. Pustaka Spirit, Jakarta, Edisi 2
Kaho, Josef
Riwu, 1997. Prospek Otonomi Daerah di
Negara Republik Indonesia. Rajawali Pers, Jakarta
Koirudin, 2005.
Sketsa Kebijakan Desentralisasi Di
Indonesia, Format Masa Depan Otonomi Menuju Kemandirian Daerah. Averroes
Press, Malang
Komariah, Siti, 2009. Otonomi Khusus dan Percepatan Pembangunan di Tanah Papua, diakses
tgl 20 Juli 2013
Labolo, Muhadam, 2012. Cela Korupsi di Pemerintah Daerah, Jurnal MIPI, Jakarta, Vol.1
Tahun 2013
Muluk,
Khairul, 2006. Desentralisasi dan
Pemerintahan Daerah. Bayumedia, Jakarta
Maslichah, Siti, 2012. Upaya Pemerintah Daerah dalam Pencegahan
Korupsi di Kabupaten Keerom, Jatinangor, Perpustakaan IPDN
Romli,
Lili, 2007. Potret Otonomi Daerah dan
Wakil Rakyat di Tingkat Lokal. Pustaka Pelajar, Jogjakarta
Sarundajang,
S.H, 2005. Babak Baru Sistem Pemerintahan
Daerah. Kata Hasta, Jakarta
Smith, Brian C, 1985. Decentralization: The Territorial Dimension of the State. London:
George Allen & Unwin
Syarwi, Pangi, 2013. Dasar Pemikiran Otonomi Khusus Papua, diakses tgl 20 Juli 2013
Kompilasi
Undang-Undang Otonomi Daerah dan Sekilas Proses Kelahirannya (1903-2004),
Kerjasama Institute for Local Development-Yayasan
Tifa, Jakarta, 2004
Suara Pembaharuan, 2000. Otonomi atau Federalisme, Dampaknya
Terhadap Perekonomian. Jakarta
Data Direktorat Anggaran Kementrian
Keuangan Republik Indonesia
Data Badan Pusat Statistik Provinsi
Papua.
Koran Republika, 8 Juli 2013.
[1] Sumber: Direktorat jenderal
Anggaran Kementrian Keuangan/BPS Provinsi Papua 2013.
[2]
Smith, Brian C, 1985. Decentralization: The Territorial Dimension
of the State. London: George Allen & Unwin, pg.84.
[3]
Conyers, Diana, 1986. Decentralization and Development: a
Framework for Analysis, Community Development Journal, (Vol.21, Number 2,
April), pg, 88-100.
[4]
Untuk ulasan soal ini lihat
Muluk, Khairul, 2006, Desentralisasi dan
Pemerintahan Daerah, Bayumedia, Jakarta, hal.18-22.
[5] Untuk hal ini lihat catatan Siti
Maslichah dalam “Upaya Pemerintah Daerah dalam
Pencegahan Korupsi di Kabupaten Keerom Provinsi Papua”, Perpustakaan IPDN,
2012. Sebagai perbandingan lihat juga Muhadam Labolo dalam “Celah Korupsi di Pemerintah Daerah, Jurnal MIPI, Vol. 1 Tahun
2013.
[6]
Berbagai aturan pelaksanaan
dikeluarkan secara berlapis-lapis mulai UU 33/1999 tentang Perimbangan Keuangan
Pusat dan Daerah, juga Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2005 yang
menjadi Pedoman Umum Pengelolaan Keuangan Daerah, termasuk Peraturan Menteri
Dalam Negeri tentang Penyusunan APBD setiap tahun berjalan. Di luar itu daerah
diwajibkan merujuk pada Pengelolaan Keuangan Negara sebagaimana diatur dalam UU
No.15 Tahun 2007 dan turunannya seperti proses pengadaan barang dan jasa yang
diatur melalui Keputusan Presiden.
[7]
Koran Republika, Dana Otsus Papua Tak
Manjur, hal,3, Senin, 8 Juli 2013. Terlepas dari itu menurut
Syarwi (2013), problem
menyangkut dimensi keuangan tampak pada pembagian dan pengelolaan dana Otsus
sejauh ini belum dilakukan sesuai amanat UU Otsus lewat hadirnya Perdasus. Pembagian
dana Otsus hanya dilakukan berdasarkan kesepakatan Bupati/Walikota se-tanah
Papua. Sementara pengelolaannya hanya didasarkan pada Permendagri (terakhir
Permendagri No. 59 Tahun 2006) yang dianggap tidak tepat sasaran. Dalam
struktur APBD Papua sejak pemberlakuan Otsus juga tidak ditemukan kuota dana
sebesar 30 persen untuk pendidikan dan 15 persen untuk kesehatan. Pembagian
dana Otsus yang besarnya 70 persen untuk Papua dan 30 persen untuk Papua Barat
sejak tahun 2008 juga dilakukan dengan tanpa dasar hukum yang jelas.
[8]
Satu contoh kontribusi
Pendapatan Asli Daerah Kabupaten Padang Pariaman dapat dilihat sejak penelitian
tahun 2001 oleh Tri Ratnawati dalam Romli, Potret
Otonomi Daerah dan Wakil Rakyat di Tingkat Lokal, 2007, Pustaka Pelajar,
Jogjakarta. Bandingkan dengan data Kementrian Dalam Negeri dalam Evaluasi Otda
tahun 2012.
Komentar
Posting Komentar