Semangat Merdeka dan Keterjajahan


Oleh. Dr. Muhadam Labolo

          Di tengah semarak sukacita kemerdekaan kita merasa belum meraih merdeka sepenuh-penuhnya, bahkan tak jarang kita memasung orang lain dan diri kita sendiri kedalam penjara keterjajahan. Tantangan terberat kita sebagai suatu bangsa tidak saja menjauhkan penjajah asing dari bumi pertiwi sebagaimana komitmen dalam alinea pertama konstitusi ’45, namun sejogjanya kita mampu membuang sejauh mungkin bentuk penjajahan diantara sesama kita. Inilah wasiat kuno Bung Soekarno, bahwa tugas berat mereka sudah selesai, yaitu mengusir para penjajah dari muka bumi Indonesia, namun tugas terberat kita adalah mengusir penjajahan diantara sesama kita. Dalam konteks ini boleh jadi kita mulai meragukan penjajahan Belanda selama 350 tahun sebagaimana kritik G.J Resink dalam bukunya Indonesia’s History Between the Myths: Essay in Legal History and Historical Theory (University of British Columbia, 1968), namun yang pasti bahwa dibalik kemerdekaan seremonial, secara simbolik penjajahan sesama kita pun kini memasuki usianya yang ke 68 tahun. Sebuah usia penjajahan yang lebih muda dibanding prejudice kita terhadap Belanda, namun secara human being menunjukkan bahwa proses penjajahan kita memasuki usia purna. Dengan begitu, kalaulah durasi penjajahan tadi rata-rata seumur kita, maka selayaknya kita cukup bersabar menanti usia 70 hingga 75 tahun agar penjajahan tadi sesegera mungkin menghadap keharibaanNya. Sekalipun demikian, untuk kebanyakan kita usia penjajahan tersebut sebenarnya sudah melampaui batas kewajaran. Tapi biarlah, anggap saja bonus dari Tuhan. Bukankah banyak diantara kita berharap umur panjang hingga merawat diri sebaik mungkin agar bertahan di atas usia seratus tahun? Boleh jadi seperti mereka yang benar-benar dikarunia Tuhan umur panjang sebagaimana masyarakat di kaki bukit Merapi, atau satu dua diantaranya yang bersua dengan Malaikat Jibril di malam Lailatul Kadar. Maknanya, jika proses penjajahan tadi dirawat secara sistemik atau sebab alamiah, bukan mustahil dapat bertahan hingga sama dengan spekulasi kita, 350 tahun atau lebih.
           Makna kemerdekaan yang saya maksud adalah perasaan merdeka dari penjajahan dilingkungan kita sendiri. Jika setiap individu merasa merdeka dalam berpikir dan bertindak pada kerangka yang telah kita sepakati, maka disanalah makna sesungguhnya kemerdekaan tadi telah diraih. Apabila anak merasa dikerangkeng orang tua tanpa dapat mengeluh maka hilanglah kemerdekaannya. Bila Mahasiswa dipaksa duduk diam berjam-jam tanpa peluang dialog dari dosen, bahkan marah saat ditanya, mereka juga kehilangan kemerdekaan. Jika suami takut pada istri karena batasan jam malam dan kontrol keuangan yang ketat, bukankah mereka juga dalam kondisi kehilangan kemerdekaan. Bila pegawai dalam lingkungan birokrasi dilarang berbeda pendapat dan raib hak-haknya tanpa alasan yang jelas, sebenarnya kemerdekaan mereka juga telah dirampas. Boleh dikata, kemerdekaan kita dari tahun ke tahun baru sebatas proklamasi, baru sampai di pintu gerbang kemerdekaan. Relevansi internalnya baru sampai di pintu gerbang Gedung Rektorat, belum sampai ke Menza, apalagi sampai ke Wisma dan rumah para dosen dan staf yang hidup sederhana di bawah pucuk pohon cemara. Dalam perspektif saya pribadi, kemerdekaan ini telah digadaikan jauh sebelum saya paham apa makna merdeka, bahkan jauh sebelum saya lahir pada tanggal lima agustus, dua belas hari sebelum peringatan detik-detik kemerdekaan. Saya paham bagaimana para founding fathers tersandera dengan realitas hutang untuk membangun Indonesia yang masih belia kala itu. Saya juga mengerti mengapa Papua dan Aceh memiliki catatan kelam sejarah masa lalu sekaligus beban berat bagi bangsa ini. Sayapun paham bagaimana sulitnya memberi makan tiga kali sehari untuk 230 juta orang tanpa melepas sebagian besar aset berharga dari Sabang sampai Merauke. Memberi makan 5000 Praja saja sudah kelimpungan hingga menggunakan teknik lebih banyak libur dan magang daripada belajar, apalagi menyiapkan ompreng untuk penduduk sedemikian banyak. Jangan heran jika bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya sebagaimana pikiran Hatta dalam rumusan pasal 33 UUD 1945 agar dikuasai negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat nampak tak berarti bagi sebagian kita. Sepertinya semangat kemerdekaan untuk membebaskan baru muncul pada orang-orang sekelas Ustadz Yusuf Mansur yang dengan semangat ’45 mampu mengumpulkan modal untuk mengembalikan aset-aset bangsa yang raib di tengah jalan. Dengan semangat besar yang hanya ditopang oleh tubuh kecil, Yusuf Mansur berambisi membeli kembali perusahaan besar dengan kepemilikan asing seperti CIMB Niaga, Bank Muammalat, Freeport dan Indosat. Bahkan ia bermimpi membeli Manchester Unity  sebagaimana keberanian milyuner peranakan Indonesia Erik Tohir di Eropa. Inilah semangat kemerdekaan yang saya maksud, bukan berbalik dengan perilaku kaum komprador asing yang menjual aset bangsa secara sistemik. Sosok Rudi Rubiandini yang tampan dan berkumis (ideal buat wanita karier), adalah contoh semangat keterjajahan yang berbalik seratus delapan puluh derajat dibanding Yusuf Mansur. Dengan mengkombinasikan istilah Geertz, yang pertama adalah cermin sosok nasionalis-abangan, yang kedua mewakili nasionalis-santrian. Yang satu mantan dosen/guru besar, yang lain Da’i dengan aksen khas Betawi. Saya memberi label nasionalis karena keduanya saya yakin sama-sama mencintai republik ini pada awalnya, sekalipun yang pertama mengalami kekeroposan nilai nasionalisme (fathoniyah) disebabkan godaan materialisme semata. Bagi yang alergi dengan term nasionalisme, atau bahkan menganggapnya sebagai paham yang membatasi ikatan idiologis sempit, silahkan saja, itu hak setiap orang, namun faktanya Indonesia memang dibentuk di atas tumpukan semangat semacam itu, bukan semata semangat agama sebagaimana pikiran radikal kita selama ini. Itulah mengapa yang lahir adalah semangat republik (res dan publica=kembali ke masyakarat), bukan negara teokrasi seperti cita-cita sekelompok orang. Dengan semangat itu, maka semua kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikembalikan kepada publik, bukan dimiliki oleh orang-perorang, apalagi sampai dikuasai asing hingga ke sum-sum bumi yang paling dalam. Lewat semangat itu pula, Hatta menciptakan Koperasi sebagai wadah untuk memakmurkan orang banyak, bukan firma, PT, CV apalagi holding company raksasa yang menguasai hajat hidup orang banyak. Perusahaan-perusahaan asing disadari adalah akar-akar penjajahan sebagaimana pernah dipraktekkan VOC hingga kebangkrutannya yang kemudian menjadi milik Pemerintah Belanda. Dalam spirit merdeka itu, Hatta meletakkan Koperasi dalam semangat kebersamaan (kegotong-royongan). Itu berarti yang ditekankan adalah manusianya (sosialisme), bukan kebendaan (materialisme). Tentu saja ide ini terekam baik lewat pikiran WR. Supratman yang mengubah semangat tadi kedalam lirik lagu Indonesia Raya,….bangunlah jiwanya, barulah bangunlah raganya untuk Indonesia Raya. Dengan bangunan jiwa tadi, maka setiap individu akan memiliki seperangkat nilai yang menghubungkan dirinya dengan lingkungan secara bertanggungjawab. Secara spiritualitas ia bertanggungjawab pada Tuhan, secara moral dia bertanggungjawab pada diri dan masyarakatnya, bahkan secara profesional dia bertanggungjawab pada kode etik, hingga bangsa dan negara.
Dengan demikian jelas sudah perbedaan semangat kemerdekaan antara Yusuf Mansur dan Rudi Rubiandini. Meminjam kritik Plato bahwa orang baik tak memerlukan hukum untuk memerintah agar bertindak penuh tanggungjawab, sementara orang jahat akan selalu menemukan celah di sekitar hukum. Yusuf Mansur tak membutuhkan legitimasi hukum untuk mengumpulkan harta masyarakat, dengan modal trust mereka rela menyumbang milyaran rupiah untuk suatu tujuan bersama (sosial), sementara Rudi memanfaatkan celah hukum dan legitimasi yang melekat untuk menukar aset bangsa dengan mengumpulkan modal para penjajah bagi kepentingan individu.
Semoga kita termasuk orang-orang yang merasa merdeka, tentu saja dengan cara memberikan orang lain kemerdekaan tanpa harus menunggu untuk dilucuti, bahkan di demo di depan pintu kantor. Pernahkah kita merenung sejenak bahwa sadar atau tidak kita sedang menjajah dan memenjarakan orang lain dalam lingkungan kerja? Jangan-jangan anda dan saya sudah keasyikan menjajah bawahan hingga puluhan tahun. Kalau iya, segera kembalikan kemerdekaan mereka, agar anda benar-benar merdeka. Dirgahayu Indonesia ke 68.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengenang Sartono, M. Jaffar dan Indrarto

Seri: Kajian Filsafat Ilmu Pemerintahan

Pamongpraja, Tinjauan Filosofis, Etimologis, Historis, Relevansi dan Gagasan Kekinian