Mencari Keseimbangan Etika
Oleh. Dr. Muhadam Labolo
Ditengah belantara kehidupan sosial dan
berpemerintahan kita diperhadapkan pada banyak kontradiksi etik. Dalam peristiwa
Miss World kali ini kita seperti
dibenturkan kembali dalam persoalan etika, dimana kita adalah satu mahluk
dengan pribadi aneka rupa. Sebagai mahluk sosial, kita tak mungkin menghindar dari
seperangkat aturan dalam masyarakat yang mengharuskan setiap individu patuh
jika tak ingin dianggap asosial.
Sebagai mahluk Tuhan, kita sejak lahir ditasbihkan menjadi pribadi spiritual yang
berkewajiban tunduk pada kuasa Tuhan jika tak ingin disebut ateis. Dalam kerangka bernegara kita pun
diwajibkan patuh pada semua aturan yang di produksi jika tak ingin di vonis kriminal, pengkhianat atau insubordinasi. Persoalannya,
bagaimanakah mencari keseimbangan etik dalam eksistensi sebagai mahluk sosial,
mahluk Tuhan, dan sebagai bagian dari warga negara? Mengingat pelajaran Bartens
dalam Haryatmoko (2011), etika setidaknya mengandung pengertian nilai,
pengetahuan dan persepsi. Sebagai nilai, etika membentuk karakter yang
bersejajar dalam rupa khusus dan universal. Semakin universal suatu nilai
semacam kejujuran, keadilan dan tanggungjawab, semakin mungkin ia diterima menjadi
konsensus kolektif bagi sandaran muammalah
masyarakat dibelahan dunia manapun. Agama adalah salah satu sumber nilai.
Gejala korupsi misalnya, adalah bentuk pelanggaran nilai yang secara universal
ditentang oleh setiap individu, tak terkecuali apakah ia hidup dalam negara
bersistem politik totaliter, otoriter maupun demokrasi. Korupsi adalah racun yang
dapat mengancam matinya kehidupan bermasyarakat dan goyahnya sistem bernegara.
Oleh karena ia menjadi musuh bersama (common
enemy), maka tak heran jika nilai semacam itu mewujud kedalam norma
universal layaknya konvensi, traktat, konsititusi, undang-undang, hingga
peraturan lokal yang memaksa setiap warga negara menghindari kecurangan dalam
konteks bermasyarakat dan berpemerintahan. Mereka yang berperilaku curang mesti
berurusan dengan hukum positif dimanapun ia berpijak untuk menentukan kadar
kebenaran dan kesalahannya. Kadar kebenaran dan kesalahan setidaknya berkonsekuensi
dalam bentuk reward and punishment. Dengan
begitu, maka seseorang yang pernah korupsi di suatu negara, pemerintahan atau
daerah, tidaklah mungkin berpeluang menjadi pemimpin di negara, pemerintahan
dan atau daerah lain. Mengapa? Sebab ia telah melanggar nilai universal yang
telah disepakati bersama. Inilah hukuman atas pelanggaran etika sebagai nilai
universal. Dalam hubungan itu patut kiranya dipertimbangkan usulan KPK untuk
memberikan hukuman tambahan bagi koruptor dalam hal penghilangan hak politik
jika memang terbukti korupsi.
Sebagai ilmu, etika berupaya membedakan makna
baik dan buruk. Etika dalam konteks ini berwajah rasional dan logis dari rahim
filsafat. Sekalipun filsafat bersifat antroposentrik
dan agama disisi lain bernuansa teosentrik,
namun dalam keyakinan kita filsafat adalah bagian dari agama yang melingkupi ruang
makro dan mikrokosmos. Jika nilai agama menjadi rujukan filsafat, maka aplikasi
agama dalam kerangka bernegara seperti Indonesia dapat berwujud fatwa bagi setiap penganutnya, apakah
Islam, Kristen, Hindu maupun Budha. Filsafat sendiri secara praktikum akan
bermetamorfosa kedalam code of conduct,
dalam hal mana profesi setiap orang dipertanggunjawabkan. Dengan demikian maka
efektivitas etika pada satu sisi bergantung pada seberapa kuat keyakinan
penganut terhadap agamanya. Mereka yang taat pada etika agama akan takut
melanggar ajaran agama, sebab berkonsekuensi dosa. Bagi mereka yang paham filsafat
akan sungkan melanggar kode etik sebagai kehormatan pada profesi. Pelanggaran disiplin
profesi seperti Samurai hanya mungkin jika disudahi lewat harakiri untuk menebus rasa malu yang tiada tara.
Sebagai suatu persepsi, etika bergantung pada
kepercayaan satu kelompok dalam masyarakat. Semakin tinggi kohesivitas nilai
dalam kelompok, semakin kuat identitas budaya mengikat kelompok tersebut dalam
bentuk adat. Dalam konteks Indonesia, inilah hukum adat (adatrecht), sebagaimana catatan para sosiolog Belanda yang menjadikannya
rujukan dalam pemetaan masyarakat untuk mengadu-domba kelompok bagi kepentingan
penjajah. Dalam masa kini, nilai adat beradaptasi dalam budaya yang lebih
ramah, yaitu kearifan lokal (local
wisdom). Kearifan lokal tidak saja menjadi keunikan tersendiri bagi etnik
tertentu, namun dalam konteks pembangunan menjadi modal bagi pengembangan
otonomi daerah. Pengingkaran terhadap budaya dalam realitasnya diselesaikan
lewat hukum adat, apakah kurungan atau denda. Kontribusi terpenting dalam
pengembangan etika semacam ini pada akhirnya membantu meringankan beban negara
dalam hal penyelesaian konflik antar individu dan kelompok yang menjadi
kebiasaan kita saban hari.
Lewat tiga pengertian dan bentuk etika dalam
interaksi kehidupan bermasyarakat dan bernegara di atas, dapatlah dipahami
mengapa rentan terjadi benturan peradaban dalam kehidupan kita, baik sebagai
mahluk sosial, mahluk Tuhan maupun sebagai warga negara biasa. Dalam skala yang
luas, inilah inti kecemasan Jhon Naisbitt dalam Global Paradox maupun Samuel P Huntington lewat tesis konflik peradaban.
Sebagai mahluk sosial seseorang suka atau tidak dipengaruhi oleh persepsi
kelompok dalam sistem adat yang mengharuskan tunduk pada konsensus dalam
masyarakat, jika tidak ingin dianggap melanggar adat dengan segenap konsekuensinya.
Demikian pula sebagai mahluk Tuhan dan warga negara, kita membutuhkan ketaatan
yang sungguh-sungguh jika tak ingin dikatakan berbuat dosa, melanggar etika
profesi, atau melanggar hukum negara. Jika demikian, maka fenomena kontes ratu
sejagad dapatlah dipahami mengapa resistensi muncul dari sekelompok orang yang
merasa terancam dilanggar etika, khususnya sebagai suatu nilai dan persepsi
kelompok. Sebagai nilai, eksploitasi keindahan dianggap pelanggaran etika
kesopanan seorang wanita dan ajaran agama. Sebagai persepsi kelompok, perilaku lenggak-lenggok dipanggung tak lebih
dari sekedar eksplorasi seksualitas yang dapat merugikan kaum hawa. Sekalipun
sebagai suatu pengetahuan peristiwa semacam itu tampak dapat dibuat lebih rasional
dan logis, namun agama sebagai sumber nilai maupun ilmu pengetahuan ketat
memberikan toleransi untuk hal semacam itu. Ironisnya, kita tak memiliki
seperangkat sistem untuk menyeleksi perkara semacam itu.
Sebagai pemerintah yang bijak, tugas kita
adalah bagaimana mendesain sistem yang mengadopsi etika sebagai nilai, persepsi
kelompok maupun ilmu pengetahuan. Dalam hal nilai, sistem harus mampu menyerap
universalitas dari peradaban manusia sehingga ia dapat diterima oleh masyarakat
luas. Dalam hal persepsi, sistem harus mampu mengabsorbsi kearifan lokal
sebagai modal guna menumbuh-kembangkan harkat dan martabat individu agar ramah
terhadap lingkungannya. Dalam hal ilmu pengetahuan, sistem selayaknya dapat
dilaksanakan secara rasional dan logis, sehingga suatu kebijakan tak hanya bergizi
baik, namun benar pula adanya. Realitas kekinian menunjukkan bahwa betapa
banyak pemerintah yang baik namun dikelabui oleh sistem yang buruk sehingga
mengantar mereka ke buih. Sementara sistem yang benar namun tak bermutu membuat
pemerintah pandir di depan masyarakat.
Simpelnya, semakin rapat jarak antara nilai, persepsi dan ilmu dalam
sebuah sistem, semakin rendah pula peluang terjadinya konflik. Sebaliknya,
semakin lebar jarak antara nilai, persepsi dan ilmu dalam sebuah sistem,
semakin tinggi pula peluang konflik di tengah masyarakat. Demikianlah mengapa
sebuah sistem harus benar-benar mempertimbangkan etika sebagai suatu nilai,
persepsi kelompok dan ilmu pengetahuan, tidak lain dan tidak bukan kecuali
mencari titik keseimbangan etika agar tak mudah menimbulkan kegoncangan dan
polemik dalam masyarakat.
Izin pak diantara nilai, ilmu, persepsi, mana yang baiknya kita utamakan? karena seimbang itu bukan berarti sama rata kan pak?
BalasHapusBenar, bergantung konteksnya saja,..
Hapus