Konfigurasi Islam Indonesia


Oleh. Dr. Muhadam Labolo

          Konfigurasi Islam di Indonesia penuh warna jika diperbandingkan dengan Islam di pelosok negara lain. Dalam sudut politik warna Islam mengikat diri pada sebagian besar partai politik dengan artikulasi kepentingan yang hampir tak berjarak. Pada kedalaman idiologi ia bahkan bersenyawa dalam ikatan nasionalis-religius. Satu-satunya bagian yang membedakan hanyalah warna kulit dari masing-masing partai, apakah kuning, putih, merah atau biru. Fakta empirik yang menguatkan hipotesis semacam itu adalah kemenangan partai-partai sekuler pada setiap kali pesta demokrasi ketimbang partai yang sejak awal mengidentifikasi diri sebagai partai Islam. Realitas politik semacam ini setidaknya menggambarkan bahwa masyarakat Indonesia secara politik tak begitu gandrung dengan sistem politik alternatif yang bersifat ekstrem teokrasi. Dari segi politik aliran, boleh dikatakan bahwa politik Islam di Indonesia selalu memposisikan diri di area tengah, bukan di kanan, apalagi di kiri. Ia seakan mengambil jarak yang sama terhadap sosialis dan agamis, bahkan dalam ruang yang lebih makro bercenderungan menjembatani barat dan timur. Posisi Islam Indonesia dalam konteks inilah yang saya katakan unik, sekaligus mengagumkan dalam perspektif dunia barat. Bagi dunia barat, kemampuan Indonesia yang secara historisitas meletakkan semua nilai dalam fundamen Pancasila tampak mencapai konsistensinya ketika hidup berdampingan dengan demokrasi. Dalam konteks ini, demokrasi sekalipun bagi sebagian kelompok pegiat Islam radikal adalah virus yang sejajar dengan nasionalisme, namun ia bukanlah paham yang seluruhnya tak sejalan dengan ajaran Islam, kendatipun ia terlahir dari sekedar akal pikiran manusia (antroposentrik). Islam pada dasarnya dapat hidup bersama tanpa mesti bertentangan dengan demokrasi. Jika demokrasi membutuhkan hukum sebagai prasayarat berinteraksinya masyarakat sebagaimana disarankan oleh Montesquieu (1689-1755), maka bukankah Islam selalu saja merujuk pada dasar hukum Tuhan sebelum suatu jawaban diberikan oleh Muhammad? Jelaslah sudah bahwa keduanya membutuhkan nilai hukum sebagai dasar pijakan, apakah secara rasional (aqli) maupun secara transedental (naqli), bergantung pada karakteristik problem apakah profan atau sakral. Diluar itu, demokrasi tentu saja memiliki sejumlah catatan sebagaimana slogan klasik vox populi vox dei yang dapat memproduk pemimpin tanpa isi kepala, kecuali didukung oleh jumlah kepala. Tentu saja semua nilai semacam itu membutuhkan standar aplikasi sebagai prakondisi yang dipersyaratkan, sehingga tak melulu di telan mentah-mentah. Dalam hubungan diatas sekalipun politik Islam lahir dari proses pewarnaan yang majemuk, namun semakin menukik ke level pragmatis yang menyentuh kepentingan langsung baik pribadi maupun orang banyak (sosial/jamaah) semakin refleks ia mengalami peluluhan hingga membentuk konsensus bersama. Dapat disaksikan bagaimana mesranya partai-partai Islam dengan partai sekuler hidup bergandengan tangan dalam pengambilan keputusan maupun pencalonan kepala daerah hingga pemilihan presiden.

Warna ekonomi Islam juga memperlihatkan hal yang tak jauh beda, dalam contoh nyata sekalipun bank-bank konvensional menghitung bunga uang secara tak adil (pendekatan riba), faktanya sebagian besar investasi masyarakat Islam justru tersimpan aman di bank-bank konvensional dibanding Bank Syariah yang rendah kalori riba. Maknanya, masyarakat Islam tak begitu mempersoalkan pertimbangan dimaksud, sekalipun jelas-jelas berhadapan dengan ancaman keras riba dalam Qur’an dan Hadits. Terlepas apakah pengetahuan masyarakat Islam Indonesia yang rendah tentang hukum Islam dalam hal bagaimana mengelola keuangan yang anti riba, faktanya bank-bank konvensional seperti BNI, Mandiri dan BRI adalah contoh bank yang paling diuntungkan dalam pengumpulan modal masyarakat Islam setiap kali menunaikan Ibadah Haji. Demikian pula bank konvensional lain seperti CIMB Niaga, Panin, Danamon dan BCA.

Dalam warna budaya, perilaku lokal lebih kuat mencirikan eksistensinya dibanding corak Islam yang lebih ketat. Istilah ketat kiranya sejalan dengan pendapat Voltaire yang menilai Islam ketat dalam hal melarang berjudi, minum keras serta mewajibkan sembahyang lima waktu (Ida Sundari Husen, 2011). Realitas Islam di Indonesia menunjukkan bahwa persoalan judi, minuman keras dan kewajiban sholat lima waktu tak terlalu mendapat tekanan kecuali dipaksakan oleh satu dua kelompok Islam garis keras seperti Forum Pembela Islam (FPI). Dalam soal judi dan minuman keras misalnya, sekalipun terdapat larangan menurut sistem hukum positif, namun terdapat sejumlah toleransi yang memungkinkan tetap beroperasinya judi dan minuman keras secara laten maupun terbuka di tempat-tempat tertentu. Dengan alasan budaya kuno misalnya, berjudi lewat sabung ayam, termasuk kebiasaan menangguk arak hingga mabuk dalam pesta adat bukanlah hal terlarang dibeberapa tempat. Disamping itu, prosesi adat yang mengandung banyak aktivitas klenik tetap saja menjadi persyaratan utama dalam banyak kesempatan, bahkan mengalami persentuhan dengan budaya Islam. Tak aneh jika dualitas nilai tersebut melahirkan Islam dalam warna locally yang rukun dan damai. Dalam realitas sosial pertemuan Islam Abangan dan Santrian bukanlah problematik utama, kecuali sumber analisis sosiolog Geertz dalam menggambarkan klasifikasi masyarakat Islam di Jawa. Deskripsi semacam itu bergantung pada untuk kepentingan apa frame budaya digunakan. Jika ia digunakan sebagai peluang bagi pintu masuk asimilasi, maka secara historis para Wali Songo adalah pembaharu paling efektif yang mampu mentranformasikan Islam melalui pernak-pernik budaya lokal hingga terbentuknya struktur pemerintahan Islam pertama di Jawa. Tasbih dan Kemenyan adalah artefak yang dapat dijadikan saksi bisu. Namun bagi Snouck Hurgronje, seorang sosiolog Belanda, kesenjangan antara nilai Islam dan budaya lokal dalam praktek sehari-hari merupakan signal dalam upaya menjalankan politik de vide et impera. Ketegangan antara Tengku dan Teuku di Aceh, atau meletupnya Perang Paderi di Sumatera Barat adalah pencapaian atas rekomendasi Hurgronje.

Dengan keterbatasan melihat gambaran tiga variabel utama diatas, dapatlah disederhanakan bahwa masyarakat Islam di Indonesia secara politik lebih nyaman berada dalam batasan Islam sekuler, dimana nilai lebih penting dibanding menghadirkan Islam secara struktural (Negara Islam). Kondisi ini mungkin saja masih dibayangi oleh praktek hukum Islam yang kejam, sekalipun pada sisi tertentu efektif mengendalikan kejahatan. Kekuatiran lain adalah bayangan terhadap ikatan hukum Islam yang bersifat ketat dan disiplin sehingga sulit mengekspresikan diri dibanding sistem politik demokrasi yang lebih banyak memberi kebebasan berekspresi pada batas tertentu. Dalam aspek ekonomi, masyarakat Islam Indonesia cenderung berorientasi materialistik dibanding mempersoalkan keabsahan riba melalui sarana perbankan konvensional. Mereka kebanyakan tak mempersoalkan proses sejauh tujuan tersebut bersifat wajib dari Tuhan (berhaji). Dalam konteks budaya, masyarakat Islam Indonesia cenderung sulit meninggalkan tradisi lokal sebagai residu animisme dan dinamisme. Simbol-simbol keagamaan tampak secara lahiriah seperti berkopiah haji, bersorban, bergamis, berjilbab, berjenggot atau berbaju koko warna putih, namun dalam konteks tertentu sulit membedakan antara seorang kyai agama dan pengusir roh halus, atau antara guru agama dan tabib, sebab secara keseluruhan menggunakan simbol yang relatif sama, sekaligus berpraktek keduanya. Pada banyak tradisi yang mengandung unsur klenik tampak sulit ditinggalkan begitu saja sehingga terkesan bersepadu dalam prinsip manunggaling kawula gusti. Bahkan pada kelas elite dan rasional di perkotaan, kebiasaan mengoleksi batu akik, keris, tongkat hingga peringatan seratus hari kematian merupakan budaya yang tetap melekat sekalipun mereka berpendidikan luar negeri. Menurut saya, inilah wajah Islam Indonesia dalam potret kebanyakan, sekuler, materialistik dan traditionalistik. Dampaknya, sekularitas memberi peluang bagi tumbuh-suburnya demokrasi sekaligus membatasi lahirnya negara agama (teokrasi). Sementara perilaku materialistic secara tak sadar menumbuh-kembangkan modal kapitalisme, sekaligus merugikan dan berdampak negatif dimana kekayaan bertumpuk pada kelas tertentu serta kemiskinan sulit dituntaskan. Fakta dalam hubungan ini dapat dilihat dari rendahnya pengumpulan zakat oleh BAZNAS dibanding pengumpulan modal oleh bank-bank konvensional. Akhirnya, budaya traditionalistik tampak turut berkontribusi dalam melonggarkan disiplin dan keketatan beragama sehingga mampu mengendalikan nilai fanatisme yang berlebihan. Suka atau tidak, kita mungkin menyukai kalimat Voltaire, L’esprit d’indulgence ferait des freezes, celui d’intolerence ferait des monsters (Tenggang rasa akan menciptakan saudara, sedangkan kepicikan pikiran akan menimbulkan monster-monster).

 

 

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengenang Sartono, M. Jaffar dan Indrarto

Seri: Kajian Filsafat Ilmu Pemerintahan

Pamongpraja, Tinjauan Filosofis, Etimologis, Historis, Relevansi dan Gagasan Kekinian