Membaca Pesan Politisi

Oleh. Muhadam

Usulan politisi Wahyu Sanjaya terhadap status IPDN agar diswastakan dapat dimaknai dalam ragam perspektif. Bila itu sekedar usul, tentu masih ada usulan yang lebih ekstrem, lihat usulan beberapa anggota dewan dan publik pasca kasus Wahyu Hidayat & Clift Muntu 2004/2007, IPDN dibubarkan. Kita telah melalui turbulensi itu. Andai kritik, patut dicermati nuansanya dengan hinaan. Beda tebalnya pada faedah. Kritik memberi tanggapan sekaligus mengurai masalah. Kepada kita diberi insight positif. Itulah mengapa kita butuh kritikus film, musik hingga karya ilmiah. Sentimen positifnya kita revisi atau rekonstruksi. Menariknya, kritik tak hanya membangun kesempurnaan dan intropeksi subjektif, juga menunjukkan bahwa seseorang telah menikmati karya kita sedemikian masif sehingga tak perlu dianggap pelecehan. Jangan-jangan sejak beliau lahir, masuk sekolah, hingga seleksi dan lolos di Senayan tak lepas dari pelayanan prima seorang Pamongpraja di desa, kelurahan, kecamatan, kabupaten/kota dan provinsi. Sama halnya Alex Litaay, Ahok dan mantan penasehat UKP4 era SBY, Kuntoro Mangkusubroto pun pernah menyampaikan kritik yang lebih keras. Bagaimanapun realitas kebenaran kata para ahli hikmah menimbulkan dua reaksi, bagi orang bijak mencipta perenungan, bagi orang bodoh memompa adrenalin ketersinggungan.

Bersebelahan dengan kritik, hinaan mengandung umpatan, basisnya jelas, ego dan emosi. Eksesnya menjatuhkan martabat seseorang atau institusi. Diruang media sosial mudah kita jumpai hinaan dan umpatan. Susunan pembicaranya rupa-rupa warnanya, seperti kata ahli sufi, orang besar bicara tentang ide, orang biasa bicara soal kejadian, sementara orang kecil bicara tak jauh dari perkara orang lain. Kita dengan mudah dapat meletakkan dimana posisi para politisi dengan kualitas statmennya masing-masing. Singkatnya kata Quora (2020), antara kritik dan hinaan itu, the two should be fairly easy to distinguish. Criticism carries some desire to improvement. Insult is just needless abuse.

Agar objektif, saya anggap usul Wahyu Sanjaya sebagai usulan biasa, walau tentu beliau bukan orang biasa. Mesti dimaklumi bahwa di lembaga politik semacam itu adalah tempat bersemayam para pembawa usulan. Entah itu lahir dari hasil reses dijalanan, titipan pengurus partai, bisa juga sisipan atas kepentingan pribadi. Pada titik tertentu, lalu lintas ide seringkali memicu perdebatan sengit antara emosi dan rasio. Usulan boleh apa saja, tapi kualitas gagasan perlu diseleksi lewat dialektika yang sehat, sebab pola induksi dan deduksi dalam sains sekalipun mengidap sejumlah kelemahan. Misalnya saja menyamakan kader pemerintahan dengan pegawai swasta tentu bukan saja tak relevan, juga tak proporsional, apalagi menjadikan kasus negatif sebagai refleksi atas keseluruhan. Itu contoh gagal simpul yang tak jarang di jumpai dalam dunia akademik, lebih-lebih diruang politik yang didominasi oleh hasrat telanjang kekuasaan.

Kata aktivis Islam Wahyu Almaroky (2020), swastanisasi adalah terminologi dalam paham kapitalisme dan liberalisme. Bila kader pemerintahan (baca:Pamogpraja Muda) diswastakan, sama artinya dengan mendistorsi cita-cita luhur para founding fathers. Saat Soekarno meresmikan IIP di Malang (1956), pengantar pemerintah menegaskan bahwa urgensi kader pemerintahan adalah mereka yang mampu menerjemahkan setiap kebijakan menjadi sama indahnya ketika berada di level implementasi. Idealitas teks setidaknya dapat direkatkan agar tak berjarak jauh dari realitas konteks. Urgensivitas itu tak bisa ditunda, bahkan kondisinya bersifat sine quo non (Ndraha, Haily, Rowa, 2004).

Pendidikan Pamongpraja bukan pendidikan biasa. Pasca Soekarno menyelesaikan pembangunan Akmil, ide selanjutnya adalah bagaimana membentuk aparatur pemerintah yang memiliki kekhasan tidak saja dari segi kognisi, lebih dari itu psikomotorik dan afeksi. Untuk sekedar meningkatkan aspek intelektual dan kecakapan teknis kita dapat belajar diberbagai perguruan tinggi umum, tapi untuk membentuk karakter militan (afeksi) dia membutuhkan sentuhan yang berbeda. Bila idiologinya uang, maka kader pemerintahan cukup dididik oleh swasta sebagaimana produk satpam yang bisa dipesan kapan saja. Pamongpraja Muda dibentuk dengan orientasi tunggal, berkhitmat pada negara dan rakyat. Kepada negara, Pamongpraja adalah personifikasi konkrit kelas pertama yang menjadi benteng terakhir lewat mesin birokrasi yang efektif dan efisien. Menanam 539 M dengan harapan menadah return investment bagi upaya merealisasikan tujuan negara jauh lebih berguna dibanding membuang sia-sia 4,53 triliun uang rakyat di BLBI. Secara konseptual investasi pendidikan dalam bentuk apapun tak ada ruginya bagi negara, yang ada jika uang rakyat disalah-kelola oleh wakilnya sendiri. Kepada rakyat, Pamongpraja menjadi pengasuh, guru, dan subjek penanggung derita kritik (among, ngomong, di omongin).

Jadi, jika pesan Wahyu Sanjaya adalah kritik, tentu kita perlu meresponnya dengan proporsional, sebab imunitas politisi hanya bisa diinfeksi lewat argumentasi bernalar. Setidaknya Wahyu Sanjaya paham bahwa perubahan peta kekuasaan sebagai agenda besar antara pusat dan daerah dalam sistem pemerintahan daerah sejak UU 5/74, 22/99, 32/2004, hingga 23/2014 tak lepas dari kognitivistik alumnus OSVIA, MOSVIA, KDC, APDN, IIP, STPDN, & IPDN. Wahyu Sanjaya juga perlu memahami bahwa sebagian besar kecakapan administrasi pemerintahan di hirarkhi terendah pemerintahan ditata apik oleh alumni Manglayang sehingga mengantarkan mereka setiap tahun ke Istana Merdeka sebagai Lurah, Camat, ASN, dan Kepala Daerah terbaik. Itu wujud dari integrasi antara sedikit kognisi, dan selebihnya psiko dan afeksi.

Pada akhirnya, kebuntuan diberbagai jalur pemerintahan yang mengandung kompleksitas masalah dengan mudah dipecahkan lewat afeksi positifnya (behavior). Akseptabilitas yang tinggi dari masyarakat dan user dilapangan pemerintahan menurut penelitian WB & Agus Harahap (2019), lebih karena kontribusi afeksinya yang menonjol. Performa ini setidaknya disokong oleh karakter moral dan karakter kinerjanya. Inilah wujud dari visi pendidikan kekinian, yang menurut Baswedan (2018) perlu menjadi visi pendidikan nasional, sebab dalam banyak penelitian menunjukkan bahwa 80% kesuksesan seseorang tidak ditentukan semata-mata oleh aspek kognitif, tapi soft skill, yaitu leadership dan self confidence (Hariyanto, 2009). Beruntungnya, pendidikan karakter itu ada di sekolah tertua Pamongpraja IPDN. Saya pikir Wahyu Sanjaya hanya perlu diberitahu soal kecermalangan itu, tanpa harus menghafal tokoh-tokoh besar Boedi Utomo yang menjadi cikal-bakal pendidikan Pamongpraja, kelompok elit pribumi dan non pribumi yang menjadi Pangrehpraja, apalagi sejarah panjang kaum abdi dalem di Kesultanan Ngayokyakarta. Barangkali hanya itu pesan yang dapat saya tangkap dalam keterbatasan kita terhadap usul yang juga minim argumentasi.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengenang Sartono, M. Jaffar dan Indrarto

Seri: Kajian Filsafat Ilmu Pemerintahan

Pamongpraja, Tinjauan Filosofis, Etimologis, Historis, Relevansi dan Gagasan Kekinian