Mendudukkan Metodologi Ilmu dan Penelitian Dalam Pemerintahan

Oleh. Muhadam

Pada aras epistemologi ilmu pengetahuan, upaya menemu-kenali objek baik sepintas maupun mendalam lazim dilakukan lewat metodologi ilmu dan metodologi penelitian. Titik point yang pertama berkaitan dengan upaya memahami materi (objek materi) lewat kacamata formal (objek formal). Objek materi boleh sama sebagaimana kita memandang negara sebagai kumpulan padat atas variabel pemerintah, rakyat, wilayah dan kedaulatan. Semakin lengkap konsep yang digunakan, semakin mandiri dan jelas faktor pembeda suatu ilmu dihadapan ilmu lain. Bagi ilmu pengetahuan yang masih belia seperti pemerintahan, konsep-konsep tertentu mesti dipinjam-pakai dari ilmu pengetahuan lain lewat transfusi, pencangkokan dan okulasi interdisiplin, antardisiplin hingga multidisiplin. Dalam masa tertentu, hasil hybridized discipline tersebut melahirkan disiplin baru dalam rumpun yang sama. Kybernologi misalnya, harus diakui adalah disiplin baru yang dibangun diatas paradigma subkultur kekuasaan, ekonomi dan sosial dalam taksonomi rumpun ilmu sosial. Walau bila dirunut secara historiografi termasuk ilmu tua yang mengalami normal science pasca reformasi.

Dalam upaya memandirikan ilmu pemerintahan, tentu diperlukan berbagai cara (metodologi) agar konsep-konsep pemerintahan dapat lebih mudah dipahami baik sebagai sains murni (akademik), maupun sebagai terapan pemerintahan (appliyed). Kegagalan para pembelajar memahami metodogi ilmu pemerintahan mengakibatkan kaburnya konsep-konsep pemerintahan yang dianalisis pada kajian literatur. Kebuntuan ini membuat pengkaji ilmu pemerintahan terjebak pada kubangan kajian asal-usul ilmu pemerintahan, bukan merujuk pada konsep atau teori pokok dalam ilmu pemerintahan, atau setidaknya hasil transfusi, pencangkokan, okulasi, asimilasi, adaptasi, bahkan hibridisasi dari spesis lain pada rumpun ilmu sosial. Kenyataan ini menjadikan pembelajar pemerintahan di level doktoral khususnya selain gagal paham atas konsep-konsep ilmu pemerintahan, juga gagal mengkontribusikan hasil risetnya guna memperkuat body of knowledge ilmu pemerintahan. Mirisnya lagi kalau pembimbing dan yang dibimbing sama-sama berada dalam labirin gelap Jendela Johari, kemungkinan kita sedang menuju kesesatan yang nyata. Didalam jalan panjang memahami ilmu pemerintahan itu, Prof. Talizi sebenarnya telah menuntun kita lewat bukunya, Metodologi Ilmu Pemerintahan (2010) dan Metodologi Pemerintahan Indonesia (1983). Buku pertama bersifat konseptual teoritik, yang kedua lebih pada upaya mendekatkan kita dalam memahami pemerintahan Indonesia secara konseptual-praktikal.

Guna melahirkan konsep-konsep baru dalam ranah ilmu pemerintahan kita membutuhkan metodologi penelitian sosial. Produk penting dari hasil penelitian itu adalah apa yang kita istilahkan invention dan novelty. Invention diharapkan mampu melahirkan konsep baru yang akan digunakan secara mandiri sekaligus pembeda bagi ilmu pemerintahan dihadapan ilmu pengetahuan lain. Demikian pula novelty, sebuah produk hasil modifikasi atau hibridisasi yang dapat memperkuat disiplin ilmu pemerintahan dalam performa body of knowlegde nya. Karena itu, menjadi penting bagi pembelajar ilmu pemerintahan memahami metodologi penelitian agar output yang dicapai tidak sekedar pemaksaan hibridisasi dengan mencantolkan nama peneliti dalam akronim konsep-teori sebagai novelty. Itu sama halnya dengan pemerkosaan telanjang terhadap konsep maupun teori baku dalam ilmu-ilmu sosial.

Pilihan metodologi penelitian dalam ilmu sosial (termasuk ilmu pemerintahan) dapat menggunakan kuantitatif, kualitatif atau mixed method (Bungin, 2019). Pilihan pertama bila populasinya bersifat meluas, cenderung homogen dan karena itu dilakukan pengambilan sampel untuk disimpulkan lewat induksi. Inilah generalisasi. Kegunaannya untuk melihat trend yang sedang berlangsung, sifatnya relatif tergantung ruang dan waktu. Dewasa ini perilaku calon pemimpin dan basis konstituen dapat diukur pada skala tertentu lewat survei quick qount. Metode penelitian ini sifatnya mengukur, sumber pemikirnya Aristoteles, berkembang di Inggris dan Perancis, aliran filsafatnya behavioralisme, empirisme, naturalisme, dan saintisisme. Pemikiran positivistik ini dikembangkan oleh Auguste Comte untuk melihat realitas sesaat sehingga dapat dilakukan intervensi.

Sebaliknya, pilihan kedua bila objeknya spesifik, khas, heterogen, dan kasuistik. Hasil simpulnya tanpa generalisasi. Penelitian dengan metode ini berusaha untuk mencapai kepuasaan (satisfaction), keberartian (meaningful), kedalaman (interdepth), dan keutuhan objek (holistic). Metode penelitian kualitatif yang b1erbasis pada cara pikir Plato merupakan antitesis dari cara pikir posivistik yang dikembangkan Hegel di Jerman. Talizi menyarankan agar para pembelajar dibidang pemerintahan menggunakan metode kualitatif dengan sejumlah alasan, satu diantaranya agar kita sebagai pemerintah benar-benar mampu menangkap dan merasakan langsung apa yang menjadi kemauan masyarakat, bukan sekedar laporan hasil sampling. Akhirnya, pilihan terhadap salah satu metode atau campuran keduanya sangat bergantung pada tujuan peneliti terhadap objek, apa yang ingin dicapai, serta bagaimana ruang-lingkupnya, bukan berdasarkan batas-batas administrasi pemerintahan seperti strata doktor di pusat, magister di provinsi, sarjana di kabupaten/kota, diploma di kecamatan dan desa.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengenang Sartono, M. Jaffar dan Indrarto

Seri: Kajian Filsafat Ilmu Pemerintahan

Pamongpraja, Tinjauan Filosofis, Etimologis, Historis, Relevansi dan Gagasan Kekinian