Menguji Eksistensi BPIP Dalam Mengawal Pancasila

Oleh. Muhadam

Seperti sengatan arus listrik, ruang publik kembali gaduh oleh lahirnya Rancangan Undang-Undang Haluan Idiologi Pancasila (RUU HIP). Draft setebal 9 bab dengan 60 pasal itu tidak saja mengundang polemik pada substansi, pertimbangan yuridisnya seakan mencoba melupakan sejarah Tap MPRS XXV Tahun 1966 yang telah ditetapkan melalui Tap MPR No.1/2003 terkait isu paling sensitif komunisme. Konsensus itu sebenarnya telah memperlihatkan itikad baik pemerintah untuk menghentikan indikasi kebangkitan idiologi komunisme hari ini dan dimasa mendatang. 

Mengintip catatan rapat panja di Senayan, pemerintah telah memberi respon kuat terhadap sejumlah pasal bermasalah. Diantaranya gagasan Soekarno yang menarik benang merah kelima sila menjadi trisila dan ekasila. Perasan dimaksud berakhir pada esensi penting Pancasila, gotong-royong. Ini dianggap mengecilkan dimensi spiritualitas yang justru diyakini melandasi empat sila yang lain. Bila dimasa kekunoan konsep gotong-royong dianggap sebagai akar sosialisme oleh Hatta (1945), di era kekinian disimpul sebagai elemen dasar good governance (Pranowo;2010, Suroatmojo;2015). Dimasa tumbuh-kembangnya, meski Pancasila dianggap final, namun sebagai satu idiologi tetap terbuka dan fleksibel (pidato Soeharto, 16 Agusus 1996). Artinya, Pancasila dapat ditafsir agar kompatibel dengan perkembangan jaman, tak terpojok di sudut kelas sebagai hafalan usang ditengah himpitan revolusi 4.0. Dalam sistem politik demokrasi, fleksibilitas Pancasila sebagai idiologi terbuka memungkinkan untuk terus berkembang. Meski demikian, diskursus dan distingtif Pancasila harus tetap terkendali agar tak meluas hingga kehilangan makna sejatinya, atau bahkan menyempit menjadi kaku. Fleksibilitas berpotensi kearah liberalisasi-anarkhi, sedangkan kekakuan mendorong tafsir tunggal-otoriarianisme (Alfian;1998).

Guna merumuskan, mengkoordinasikan, membina, mensinkronisasi, bahkan mendidik dan melatih agar nilai-nilai Pancasila meresap sesuai tuntutan jaman maka pemerintah merancang Badan Pembinaan Idiologi Pancasila (BPIP). Hakekatnya menjembatani idealitas teks Pancasila agar tak berjarak jauh dengan realitas konteks sebagaimana catatan Yudi Latif dalam bukunya Negara Paripurna, Historisitas, Rasionalitas, Aktualitas Pancasila (Gramedia, 2012). Gagasan kental itu setidaknya cair dan menetes laksana Mata Air Keteladanan Pancasila Dalam Perbuatan di buku keduanya (Mizan, 2014). Saya tak akan membedah kedua buku itu, catatan pendek ini hanya akan mendalami peran BPIP dalam mengawal spirit Pancasila dalam kehidupan bernegara. 

Salah satu pasal yang menarik dicermati adalah rencana pembentukan struktur kelembagaan BPIP di level pemerintah daerah. Peran BPIP mulai disadari mandul jika hanya memproduk fatwa pendek penuh resistensi disamping Istana. Bisa dipahami mengapa RUU HIP di inisiasi, setidaknya BPIP mencoba merakit mesin pengungkit kekuasaannya sampai ke ujung kampung. Terkait tata kelola urusan, BPIP seyogjanya meletakkan posisi sebagai bagian dari urusan pemerintahan umum (algemene bestuuren). Dengan begitu maka operasionalisasi urusannya dapat diletakkan lewat urusan concurrent menurut rezim UU Pemda. Ini penting karena berkaitan dengan konsekuensi kelembagaan, personil dan alokasi pembiayaan di daerah. Apalagi jika urusan BPIP diberi stempel urusan strategis nasional, tentu lebih urgen lagi. Hemat saya, urusan BPIP itu adalah urusan yang dapat dikolaborasikan antara pemerintah pusat dan daerah. Urusan bersama itu dapat diintegrasikan pada struktur kelembagaan yang ada di daerah, misalnya Badan Kesatuan Bangsa & Politik (Kesbangpol). Tidak perlu berdiri sendiri di jalur dekonsentrasi. Itu berarti urusan BPIP yang bersifat implementatif (program dan kegiatan) dapat disebar kesemua organ pemerintah yang kemudian secara berjenjang diderivasikan ke provinsi dan kabupaten/kota. Sebagai contoh, di Kemendagri, Direktorat Pemerintahan Umum (Dirjend PUM), puluhan program dan kegiatan yang berkaitan dengan implementasi kelima sila, termasuk pembentukan kader pelopor revolusi mental dan penciptaan zona integritas. Itu semua cerminan dari upaya pengejawantahan kelima sila. Contoh lain di lembaga tinggi MPR, terdapat pula program sosialisasi nilai-nilai Pancasila yang telah berjalan lebih kurang 10 tahun. Saya yakin hampir semua organ pemerintah memiliki program dan kegiatan yang berupaya mendaratkan kelima sila itu sesuai karakteristik lembaganya masing-masing. Jadi, membentuk organ baru sebagai perpanjangan tangan BPIP di daerah pada akhirnya hanya akan membuang-buang energi di tengah kelesuan ekonomi pasca pandemik. 

Idealnya, tugas BPIP secara umum menjadi koordinator penjuru atas semua program dan kegiatan terkait Pancasila yang melekat pada semua organ pemerintah baik vertikal maupun horisontal. Di level strategis kebijakan, BPIP mengawasi semua kebijakan yang di produk oleh semua cabang kekuasaan, apakah masih senafas atau menjauhi Pancasila sebagai philosofisce grondslag. Bila setiap produk kebijakan pada umumnya mensyaratkan pertimbangan filosofis, sosiologis dan yuridis, maka peran ideal BPIP mengontrol aspek filosofis dan sosiologisnya agar tak secara langsung melecehkan prinsip-prinsip ketuhanan, kemanusian, persatuan, kerakyatan, dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Menurut saya inilah peran strategis BPIP, sebab filter atas pertimbangan yuridis pada semua produk kebijakan dapat dengan mudah diuji ke MK dan MA. BPIP menguji kedalaman setiap kebijakan agar tak kehilangan roh, apalagi kontra-produktif dengan nilai-nilai Pancasila. Produknya, fooding konstruktif bagi revisi kebijakan agar menyentuh muatan dan spirit Pancasila. BPIP bisa saja menolak bila rancangan kebijakan yang dibuat tak menjiwai apalagi bila secara eksplisit bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila. 

Pada lapisan teknis, tugas BPIP mengontrol dan mengevaluasi apakah semua program dan kegiatan yang melekat di semua organ pemerintah (eksekutif, legislatif, dan yudikatif) telah berjalan sesuai standar minimum yang ditetapkan atau tidak. Produknya adalah catatan evaluasi pada semua instansi pemerintah untuk bagaimana meningkatkan kualitas program dan kegiatan yang benar-benar mencerminkan nilai-nilai Pancasila. Kewajiban semua organ pemerintah adalah memperbaiki implementasinya agar benar-benar merefleksikan semangat Pancasila itu ditengah-tengah masyarakat. 

Bila BPIP memaksa membuat jejaring kekuasaan melalui struktur baru di daerah, itu sama saja dengan membiarkan lubang besar menganga lebar di hulu kebijakan terinfeksi virus anti Pancasila, sementara BPIP sibuk mengelola program dan kegiatan yang telah tercemar virus di hilir (daerah). Jadi lebih baik mengontrol semua kebijakan di tingkat pusat, sekaligus menjadi semacam alat testor yang berfungsi memastikan bahwa semua program terkait Pancasila di setiap organ pemerintah berjalan, atau bahkan jelas-jelas mencederai prinsip-prinsip Pancasila itu sendiri. Inilah ujian komprehensif atas eksistensi BPIP dalam mengawal Pancasila.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengenang Sartono, M. Jaffar dan Indrarto

Seri: Kajian Filsafat Ilmu Pemerintahan

Pamongpraja, Tinjauan Filosofis, Etimologis, Historis, Relevansi dan Gagasan Kekinian