Kebenaran & Keberanian Sufi
Oleh. Muhadam
Akhir buku Studi Hermeneutika, Kajian Pengantar karya Edi Susanto (2016) dinukilkan sebuah kisah pendek tentang seorang Sultan meminta nasehat pada Sufi. "Katakanlah kepadaku tentang suatu kebenaran wahai Sufi". Jawab Sufi, "mampukah telinga Sultan mendengarkan kebenaran, sebab suara kebenaran melebihi suara petir disiang hari, selaput telinga Sultan bisa terkoyak", jawab sang Sufi. "Apa gunanya sepasang telinga yang tak mampu mendengarkan kebenaran, biarlah selaput telingaku robek, aku tetap ingin mendengarkan suara kebenaran," jawab Sultan.
Beberapa tahun kemudian datanglah sang Sufi ke Istana Sultan. Begitu mendengar kedatangan sang sufi, Sultanpun bergegas ke gerbang istana untuk menjemputnya. Tak lupa turut bersama Sultan, Putra Mahkota, putra tunggal Sultan. Mereka menyalami sang Sufi, "selamat datang, silahkan masuk." "Tunggu dulu, kata Sufi, biar aku memberkati putramu." Lalu Ia menepuk-nepuk kepala sang Putra Mahkota sambil berkata, "kamu akan mati." Seketika itu juga Sultan seperti tidak mempercayai telinganya sendiri. "Apa yang kau katakan Sufi? Untuk inikah kau datang? Untuk mengutuk anakku? Untuk menyumpahinya? Sultan murka, bahkan diantara para mentri ada yang sudah mengeluarkan pedang dari sarungnya.
Dengan tenang sang Sufi berkata, "apa yang kau katakan Sultan? Kau keliru menafsirkan kata-kataku. Untuk apa aku harus mengutuk anakmu, untuk apa aku harus menyumpahimu, aku hanya memberikan satu pernyataan, "kau akan mati." Pernyataanku itu berlaku bagi setiap manusia, bagi setiap mahluk hidup, bukankah yang lahir pasti akan mati. Aku hanya menyampaikan kebenaran, Sultan. Bukankah kau pernah menanyakan hal itu, dan aku datang untuk menyampaikannya, rupanya Sultan belum bisa mendengarkan kebenaran." Sultan tak dapat berkata-kata, seluruh kemarahannya membeku, nyalinya ciut membentuk rasa malu tak terkira.
Kebenaran terkadang seperti obat, pahit untuk ditelan sekalipun bermaksud menyembuhkan. Demikianlah mengapa kekuasaan cenderung alergi terhadap kebenaran. Kebenaran dalam gagasan filosof politik paling dibenci, Machiavelli, berbanding lurus dengan besaran kekuasaan. Semakin besar kuasa semakin besar pula otoritas kebenarannya. Dapat dimaklumi mengapa diantara kita ingin memperbesar kekuasaan, dengan sendirinya klaim kebenaran turut serta. Dalam keseharian betapapun pandirnya seorang penguasa, tetap saja seluruh bawahan akan patuh kepadanya dibanding fatwa kebenaran oleh seorang sufi. Inilah kebenaran relatif karena sebab kekuasaan. Begitu penguasa tumbang kebenaranpun tenggelam bersamanya.
Bagi Sayyidina Abu Bakar ra, khalifah pertama dalam sistem pemerintahan Islam, Ia menilai kekuasaan tak memiliki kewenangan absolut untuk mendefenisikan kebenaran, apalagi menggenggam hak monopoli atas kebenaran. Katanya, jika aku berlaku baik ikuti dan bantulah, sebaliknya bila berlaku buruk, kalian berhak untuk tidak taat. Tidak ada kebenaran mutlak kecuali ditangan Allah Swt. Jika penguasa dianggap melanggar perintah Allah swt maka gugurlah komitmen kesetiaan rakyat kepadanya. Kekuasaan berkewajiban melindungi pihak yang sangat lemah. Kebenaran adalah suatu kepercayaan, sedangkan kebohongan sebuah pengkhianatan. Kekuasaan diabdikan kepada kebenaran, bukan pada kebohongan.
Didalam kehidupan nyata kebenaran sifatnya relatif, bergantung pada peran apa yang dimainkan subjek serta bagaimana objek formalnya. Semakin tinggi peran yang dimainkan semakin besar pula kebenaran atau sekaligus kebohongan yang diproduk. Metodologinya bisa dilakukan lewat berbagai cara termasuk influenzer dan buzzers. Terlepas dari itu pemimpin ideal semestinya bersandar pada yang relatif konstan, bukan yang mudah berubah. Yang konstan biasanya bersifat general, diterima orang banyak, disebut kebenaran umum, sekalipun yang umum belum tentu pula benar. Tapi setidaknya kata Willian Penn, what is wrong is wrong, even if everyone is doing it. Right is still right, even if no one else is doing it. Demikian kata pendiri Negara Bagian Peninsilvania.
Komentar
Posting Komentar