Reorientasi Subkultur Ekonomi, Merespon Resesi

 Oleh. Dr. Muhadam Labolo

 

    Kerumitan terbesar bagi semua pengambil kebijakan di dunia hari-hari ini adalah membuka kran ekonomi ataukah menutup celah pandemi. Dilema itu tak hanya menekan psikologi penentu arah kebijakan di pusat, demikian pula di daerah. Pilihan bijaknya melonggarkan sembari mengencangkan. Dua hal yang tak mudah bagi siapapun yang duduk ditampuk pemerintahan, apalagi gejala ekonomi kita menunjukkan ketidak-bugaran pada empat variabel utama, kemiskinan, pengangguran, ketimpangan, dan pendapatan perkapita. Angka kemiskinan menanjak 26,42 juta jiwa, pengangguran merangkak lebih dari 60 ribu jiwa, ketimpangan gini rasio memperlihatkan 20% menguasai sumber daya, 80% menikmati kerak, sementara pendapatan perkapita melambat 2,97% pada triwulan pertama (BPS, Maret 2020). 

 

    Data sederhana diatas bukanlah hal yang mengejutkan ditengah kekuatiran ekonomi dunia menuju resesi global (Mulyani, 2020). Uniknya, pengalaman atas gejala resesi memperlihatkan bahwa semakin ke puncak (negara) semakin mengkuatirkan dibanding dampak resesi ditingkal lokal. Persis perilaku menggunakan masker, semakin ke udik semakin hilang greget nya, semakin ke kota semakin ketat dan disiplin. Pada turbulensi 1998 resesi tak mudah menghancurkan piranti ekonomi paling kreatif dan bersifat informal di lapis terbawah. Realitas itu menunjukkan kemandirian, tingginya antibody atau bahkan apatis pada sisi yang lain. Buktinya mereka tetap eksis tanpa mesti berpose di media sosial lewat panen ketimun, kacang panjang atau bayam misalnya.

 

Mengatasi ancaman krisis itu menurut Ndraha (2002), orientasi budaya ekonomi kita mesti diubah kedalam tiga prinsip utama, yakni menjual seuntung mungkin, membeli semurah mungkin, dan bagaimana mengelola sumber daya sehemat mungkin. Sebaran kekayaan kita dimanapun tak boleh dijual semurah melepas Indosat atau tambang batubara yang harganya seenaknya dimanipulasi (transfer pricing). Kondisi ini menjadikan kekayaan alam bangsa tak mampu meneteskan kemakmuran bagi orang banyak sebagaimana amanat luhur konstitusi pasal 33 ayat (2) & (3), kecuali segelintir elit yang memiliki akses. Sepanjang tahun kemaren KPK mencatat setidaknya terdapat lebih dari 12 kasus korupsi di sektor tambang minyak, emas, nikel dan sebagainya (Syarief, 2019).

 

Prinsip berikut bahwa kendatipun terdapat kelangkaan pada sejumlah sumber daya,  sedapatnya kita membeli semurah mungkin, bukan sebaliknya. Kasus kelangkaan pangan seperti beras, kedelai, garam, gula, ikan, maupun daging sapi dimasa lalu cukup membuat kita sadar bahwa sumber daya belum maksimal di genjot. Ironisnya ditengah kesuburan tropis itu kita bergantung pangan di negara lain (BPS, 2018). Strategi import tak hanya membunuh potensi domestik, juga menimbulkan jarak daya beli masyarakat, dan lagi-lagi memberi porsi besar bagi para pebisnis kelas kakap, bukan untuk petani dan nelayan.

 

Prinsip terakhir adalah bagaimana mengelola sumber daya sehemat mungkin. Prinsip ini penting tidak saja mengingat keberlangsungan peradaban manusia, juga masa depan generasi Indonesia. Kelangkaan sumber daya dimasa depan dapat mendorong migrasi. Migrasi melahirkan kompetisi. Kompetisi beresiko memicu konflik dalam perebutan sumber daya, apalagi jika dipengaruhi perubahan iklim ekstrem (Ermaya, 2018). Inilah masalah geopolitik yang dapat melahirkan perang perebutan sumber daya hingga membutuhkan strategi pembangunan berkelanjutan demi masa depan yang lebih baik. Pola-pola aneksasi, amalgamasi, bahkan reklamasi adalah indikasi yang dilakukan oleh sejumlah negara untuk mengokupasi secara perlahan seperti kasus Laut China Selatan.

 

Ditingkat micro-local, pilihan dilematis atas dampak resesi itu patut diantisipasi lewat strategi kebijakan yang lebih prioritas dan fokus dibanding menyebar benih pada banyak sektor yang tak prospektif. Guna menjembatani produk lokal kita dapat memanfaatkan infrastruktur yang tersedia. Agar efisien kita harus berani melakukan restrukturisasi seraya memastikan keberpihakan pada piranti ekonomi terbawah (UKM). Untuk semua upaya keras tadi tentu saja kita membutuhkan kepemimpinan pemerintahan yang tidak semata-mata kuat dan cerdas, tapi mampu beradaptasi dengan kondisi lingkungan lewat kreativitas dan inovasi diluar kebiasaan sehari-hari.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengenang Sartono, M. Jaffar dan Indrarto

Seri: Kajian Filsafat Ilmu Pemerintahan

Pamongpraja, Tinjauan Filosofis, Etimologis, Historis, Relevansi dan Gagasan Kekinian