Pamong dan Resiko Pelayanan

 Oleh. Dr. Muhadam Labolo


    Sejak dulu tugas-tugas Pamong mengandung high risk. Hal ini tergambar pada tiga buku terakhir seputar kenangan Pangrehpraja karya SL Van der Wal (2001), Leontine E Visser & Amapon (2008), atau  karya pendek La Ode Budzali tentang Bhakti Pamongpraja di Merauke (2017). Dimasa lalu tantangan terberat Pamong adalah alam liar, tempat mereka pertama kali bertugas. Realitas itu membutuhkan ketahanan mental dan fisik yang tak terkira.  Wal menceritakan bagaimana sulitnya mencapai perkampungan adat di wilayah Sumatera, Sulawesi dan pedalaman Kalimantan (1920-1942). Dengan secarik surat perintah dan pakaian dinas putih cukup membuat penduduk setempat menghormati para ambtenaar. Modal dasar pengetahuan seorang Pamong adalah, pahami sosiologi dan hukum adat, temukan pimpinan tertinggi baik adat maupun agama, lalu selesaikan masalah mereka dgn cara mereka (kearifan lokal). Penyelesaian terbaik diselesaikan dirumah adat dan diterima oleh pihak-pihak yang bertikai. Meski demikian Pamong dapat melayani setiap persoalan dimana saja dan kapan saja. Inilah prinsip dasar hadir dimana saja (omni presence). Untuk kasus tertentu yang sulit ditemukan cara penyelesainnya dapat dimusyawarahkan dengan menerapkan hukum positif. Kesalahan dalam pengambilan keputusan hingga mengakibatkan ketidakadilan & ketidakpuasan diantara individu dan kelompok yang bertikai dapat mengancam nyawa seorang Pamong. 

 

    Di Papua, seperti diungkapkan Leontine dkk, resiko terbesar tidak saja hutan belantara, demikian pula mahluk liar dan hukum adat yang unik dan berbeda-beda. Setiap pertemuan awal menjadi kenangan yang mencekam dan penuh kekuatiran, apalagi jika diserang penyakit ditengah hutan tropis seperti Malaria. Disejumlah wilayah yang sulit ditembus mesti menggunakan guide setempat hingga berhari-hari lamanya. Sakit dan wafat di jalan adalah hal biasa, lebih lagi bila berhadapan dengan suku terasing yang membutuhkan syarat dan negosiasi tertentu hingga diterima bulat-bulat. Hukuman mati bagi anggota suku lain yang tertangkap karena melanggar batas teritorial adalah pemandangan biasa disela-sela kunjungan. Budzali menuturkan pula bagaimana Pamong Muda lulusan STPDN pada generasi pertama bertugas di Merauke mengalami berbagai pengalaman ekstrem. Hebatnya, hampir semua tantangan yang dihadapi mampu diubah menjadi kekuatan yang membanggakan dan mengharukan. Pamong selalu di elu, dipuji, disanjung, bahkan tak sedikit yang dikawin-paksakan dengan maksud menjadi bagian dari anggota suku. Disini Pamong tidak saja memperoleh pengakuan de jure, sekaligus pengakuan de facto.

 

Bila membandingkan pengalaman Pamong dewasa ini, alam relatif tak lagi menjadi tantangan berat meski disebagian wilayah masih terisolir. Tantangan Pamong adalah tingginya tuntutan masyarakat yang berhadapan dengan konsekuensi hukum. Belum lagi jika tuntutan atasan berselang jauh dengan aturan dan nurani. Pamong seringkali menjadi tumbal yang menyiksa nurani. Dalam kasus pelayanan KTP el DST di Kelurahan Grogol Selatan, seorang Pamong dianggap berlebihan memberikan perlakuan dalam pelayanan. Terlepas bahwa kasus tersebut berkaitan dengan gembong besar yang menyita energi negara selama bertahun-tahun, namun sangkaan bagi Pamong yang berlebihan dalam memberikan pelayanan dalam kondisi saat ini rasanya juga berlebihan. Lima tuduhan yang diarahkan sebagai melampaui tugas dan fungsi terkesan dipaksakan agar semua yang bersentuhan dengan pelaku adalah bagian dari konspirasi yang juga dicurigai positif terinfeksi.

 

Apakah sangkaan bagi Pamong yang menerima masyarakat dirumah dinas adalah hal yang berlebihan atau tidak, semestinya dapat dicermati lebih objektif. Rumah dinas adalah ruang formal untuk melayani semua urusan dinas. Kecuali layanan dipindah kerumah pribadi, ini persoalan etis atau tidak, jelas tak etis. Soal apakah patut diwakili atau tidak tergantung persyaratan yang dimungkin, namun bagi seorang Pamong ketika melayani bukan soal siapa, tapi apa urusannya. Ini prinsip birokrasi Weber, soal impersonalitas seorang pelayan masyarakat, apalagi jika hanya ingin mengecek status kependudukan. Lebainya lagi ketika dipersoalkan perintah Lurah pada operator Satpel melakukan pengecekan dan mengantarkan seorang warga saat pengambilan gambar. Ini aktivitas biasa yang lazim dilakukan seorang Pamong di kelurahan, bukan hal luar biasa.

 

Perlu disadari bahwa seorang Pamong sekelas Lurah adalah pelayan masyarakat, bukan penegak hukum yang sedang memproses perkara tertentu sehingga tak etis bertemu dengan mereka yang berperkara. Pamong dituntut melayani masyarakat dengan prinsip keadilan menurut asas-asas pemerintahan yang baik dalam UU 30/2014 dan hak konstitusional warga negara agar diperlakukan sama dimata hukum dan pemerintahan. Jika hal demikian dipersoalkan, bagaimana halnya dengan kasus seorang kepala daerah bahkan berani melayani/menandatangani APBD dan melantik bawahannya dari balik jeruji besi tapi tak dianggap sebuah pelanggaran hukum dan etik (Banten dan Mesuji). 

 

Rasanya, tak ada salahnya bila seorang Pamong mendampingi warganya sejak awal hingga memastikan urusannya selesai sesuai standar operation procedure. Apalagi jika undang-undang elektronik memungkinkan bahwa sebagian bukti cukup diperlihatkan melalui media elektronik seperti handphone. Seorang Pamong dewasa ini dituntut tidak saja mampu memahami literasi teknologi, data dan keuangan, jauh lebih penting adalah kemampuan Pamong memahami literasi sosial sebagai pengetahuan dasar yang telah diajarkan sejak mereka memasuki pendidikan Pamong dimasa lampau, tentu saja tanpa mengecualikan sisi etisnya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengenang Sartono, M. Jaffar dan Indrarto

Seri: Kajian Filsafat Ilmu Pemerintahan

Pamongpraja, Tinjauan Filosofis, Etimologis, Historis, Relevansi dan Gagasan Kekinian