Catatan Kaki Reuni Smansa Pagimana
Oleh. Muhadam Labolo
Saya diundang alumni sekaligus panitia reuni Smansa Pagimana. Undangan itu sejak Agustus lalu. Saya sulit membatalkan karena pada waktu yang sama, terjadwal mengajar program doktoral dan magister. Kesulitan lain bolak-balik ke Sumatera Utara memenuhi pelantikan Pj Bupati Tapanuli Tengah di Medan dan undangan ceramah Sekda Kota Tanjung Balai. Keduanya alumnus STPDN '95 yang menjadi tanggungjawab sebagai Ketua Alumni.
Tiba di Luwuk saya transit di Hotel Swissbel. Satu diantara tiga hotel terbaik di Ibukota Banggai. Saya sering memenuhi undangan narasumber keberbagai kabupaten/kota di Indonesia timur, hanya disini yang punya hotel berbintang seperti Aston Estrella, Swissbel dan Santika. Tentu saya bangga sebagai putra daerah, apalagi flight ke Luwuk relatif available. Saya istrahat, sholat dan makan siang di restoran.
Mengingat acara dimulai besok pagi pukul 06.00 sesuai rundown, saya langsung ke Pagimana bersama ponakan. Pagi pukul 08.00 saya jalan kaki ke SMA Pagimana. Sengaja, sekalian mengukur jalan seperti 31 tahun lalu. Ternyata bolak-balik rumah-sekolah melewati lebih 1 km. Belum dihitung bila ada les. Total sehari saya mengayuh kaki sepanjang 4,5 km. Pantasan betis saya sejak kecil membesar, mirip pemain sepak bola Pagimana.
Dihalaman depan sekolah saya dinanti Pian dan Vivi selaku panitia inti. Keduanya gembira walau kelihatan lelah di sepanjang garis mata. Mungkin berhari-hari menyiapkan acara itu. Di dalam, saya diperkenalkan dengan kepala sekolah baru. Beliau perempuan pertama yang menjadi kepsek. Kesan saya, punya karakter kuat, friendly, murah senyum, dan punya visi. Usianya tepat 43 tahun sejak malam kedua reuni. Ibu Lisna dkk buat prank untuknya. Beliau menyambut kami dengan hangat.
Saya diminta menunggu Pak Wabup oleh panitia dan Ibu Kepsek. Jujur, saya tak begitu suka menunggu pejabat, tapi dipaksa keras oleh Vivi sesuai protokoler, saya ikut saja. Kami ngobrol ditemani Jeklin yang ikut gabung. Tambah rame, suaranya keras dan nyaring seperti sedang menimbang kopra di toko lama. Cukup lama berdiri tibalah Pak Wabup dengan penuh senyum. Ia menyapa kami satu-persatu, mulai Kepsek, Panitia hingga perwakilan alumni.
Kami menuju tempat acara. Rupanya tertahan oleh prosesi adat Umapos. Aktor utamanya Pak Waskito. Beliau adik kelas yang punya rupa-rupa talenta. Guru, tabib spiritual, da'i, pemelihara adat, serta aktivis sosial. Beliau punya nilai kognisi, psiko, dan afeksi seimbang. Kognisi memberi pengetahuan, psikomotorik melatih keterampilan, sedang afeksi memperlihatkan sikap mental yang kuat seperti tanggungjawab, disiplin, dedikasi, kejujuran dan loyalitas.
Sebelum mulai, MC mengantar kegiatan dengan satu dua lagu. Cici, panggilan akrabnya, dia punya skill sebagai master of ceremony yang populer di kecamatan pagimana. Itu contoh kecerdasan psiko yang tak semua miliki, bernilai tinggi jika di ibukota. Seorang MC profesional di kampus saya dibayar 25 jt/acara. Disini mungkin lillahi ta'ala. Ada kawan lama saya, Eben dan Risman. Keduanya punya skil membuat Janur dan pemain sepak bola. Andai hidup di kota, mungkin dibayar mahal, apalagi pelatih sepak bola.
Pesepak bola Ronaldo, Messi, Mata, Bellerin, Zaha, Defoe di Afrika mungkin kecerdasan intelektualnya rendah, tapi keterampilan sepak bola mereka dibayar milyaran bahkan triliunan hingga mampu menyumbang sekolahnya, rumah sakit, rumah ibadah, bahkan membantu kaum miskin di kampung halamannya. Sekali lagi, itu contoh dominasi psikomotorik yang di padu dengan sedikit kecerdasan lain.
Lain lagi dengan teman-teman saya dari Baloa Doda. Mereka bisa berjalan bermil-mil dari kampung halaman melanjutkan sekolah di Ibukota Kecamatan Pagimana. Kebanyakan nilai mereka waktu sekolah pas-pasan. Tapi soal kejujuran, kepolosan, kebaikan hati, disiplin, tanggungjawab, dedikasi luar biasa. Hasilnya, bisa dilihat, ponakan saya yang nilainya tinggi semasa sekolah hanya jadi tukang, tapi mereka jadi pegawai tulen yang mampu menjaga harmoni di birokrasi. Itu contoh kecerdasan afeksi.
Saya duduk bersama Wabup, Kepsek, Ketua Komite Sekolah, Ketua PGRI, Dosen Purnabakti, serta ratusan alumnus Smansa Pagimana dari angkatan '87 sd '22. Semua heboh, gembira, senyum dan tertawa, walau diterpa suhu kompor di atas 35 derajat celcius. Semua melupakan itu, apalagi angkatan saya yang super heboh. Semua sudut sekolah tak lepas dari spot selfi berjamaah. Mulai pintu masuk yang semakin renta, kelas yang mulai menua, tembok yang mengelupas, hingga lapangan yang tak banyak berubah. Semua menyimpan memori walau dulu hanya dua kelas, IPA dan IPS.
Pak Wabup beri sambutan dengan mengapresiasi semua capaian luar biasa civitas Smansa Pagimana sejauh ini. Pidatonya penuh motivasi agar semakin competitivness. Luaran sekolah lain bisa lebih banyak alumnus yang hebat, mengapa kita tidak? Saatnya maju bersama memperlihatkan eksistensi kolektif agar Smansa Pagimana semakin diperhitungkan. Setidaknya dimulai sebagai sekolah penggerak, dipimpin kepsek yang cantik, serta alumnusnya yang militan.
Selesai itu kami dibagi tugas perangkatan. Angkatan senior disuruh membersihkan sampah sekitaran pertokoan. Sisanya pasar, dan sepanjang jalan menuju sekolah. Kami jalan kaki, beberapa sudah tak mampu. Nafasnya seperti kurang oksigen. Saya kuatir mereka tumbang, tak ada yang ikhlas beri nafas buatan di usia jelita (jelang lima puluh tahun). Mungkin kalau adik kelas angkatan 2000an yang tumbang masih ada yang ikhlas jadi pahlawan kesiangan. Kalau ini mah, ogah, takut di serang covid kata Yeri. Paling aman naikkan Bentor ke sekolah.
Semua naik Bentor ke sekolah dari samping bioskop lama. Rasanya punya kenangan romantis di bioskop itu. Saya dan kawan-kawan segera berangkat dengan menyewa 5 Bentor. Semua tiba di sekolah, ikut lomba tebak, memasukkan paku, serta tarik tambang. Lomba dipimpin Haris, mantan lurah yang punya kecerdasan sosial tinggi, sama dengan Pian. Mungkin diturunkan oleh orang tuanya yang dulu punya pengalaman leadership. Vivi punya kemampuan kognisi yang sama dengan ayahnya, seorang guru yang disiplin dan tegas.
Lomba yang memakan waktu panjang itu bikin Jeklin boring. Apalagi di tekan rasa lapar dan dering HP berkali-kali dari Ampana. Rupanya sama dengan Sunarti dan senior Anita. Saya hanya mendengar sambil tersenyum, takut terlibat masalah. Semua masalah reuni di dunia ini sama saja, soal CLBK, Cinta Lama Belum Kelar kata Ustadz Waskito dalam pengantar sambutan. Sebaiknya kabur sebelum dikejar pihak pertama, kedua, ketiga dan seterusnya. Nggak kelar-kelar.
Untuk mendinginkan pikiran dan tubuh yang serasa dipanggang saya berendam di Kuala Lambangan sorenya. Jeklin kesal karena tak di ajak. Beliau rindu airnya yang dingin, deras, dan penuh bebatuan. Saya sebentar saja, langsung pulang, siap acara malam. Disana undangan yang mulai gerah. Acara dibuka, Bu Kepsek beri apresiasi kehadiran semuanya, termasuk sumbangan para alumni. Saya mewakili alumnus dengan tekanan pada visi pendidikan seimbang antara kognisi, psiko dan afeksi. Pak Wabup melengkapi dalam sambutan terakhir.
Malam reuni paling heboh. Sebagian alumnus menggunakan gelapnya cahaya untuk bersenda gurau seperti dulu. Sisanya menikmati acara demi acara. Angkatan yunior masih cantik dan kuat. Mereka mendominasi lomba. Sukanya dangdut koplo supaya bisa dero seperti angkatan '98 yang super heboh. Angkatan senior suka lagu lawas, kalaupun dangdut seperti lantunan Farel, ojo dibanding-bangdingke. Pendeknya, semua mau bahagia, apalagi Jeklin dan komplotannya, angkatan '91 yang suka mejeng duluan sebelum disuruh tampil. Pokoknya pedenya minta amplop, so amper putus urat malu. Mic cuma dorang yang pegang. Untung ada Kulu.
Pagi besok saya kembali ke tempat acara. Sesi terakhir deklarasi. Semalam saya sudah di daulat jadi Ketua Angkatan Pertama Smansa Pagimana. Ditunjuk secara aklamasi, diminta bersedia, dikandang paksa oleh semua angkatan. Saya bersedia dengan syarat semua wajib mendukung. Tanpa dukungan saya tak bisa apa-apa. Ini organisasi paguyuban, bukan organisasi politik apalagi birokrasi. Jadi harus steril dari politisasi dan relasi organisasi yang birokratik. Sifat organisasi seperti ini fungsional, fleksibel, dan equal saja.
Saya juga masih Ketua Alumni STPDN Angkatan 4, punya 807 anggota. Saya juga masih Ketua Asosiasi Dosen IPDN yang menaungi 315 dosen IPDN. Tentu saja semua harus dibagi waktunya dengan bijak. Mudah-mudah ini tak menjadi beban, tapi tanggungjawab yang baik untuk memajukan Smansa Pagimana yang ingin melampaui sekolah lain. Untuk maju dia butuh dukungan alumninya seperti sekolah beken di kota besar. Bagi saya, sejauh pengelola sekolah punya kecerdasan afeksi yang baik, sekolah ini pasti akan maju. Lihat negara-negara di Eropa dan Asia Timur. Mereka maju karena di topang oleh integritas. Kita harus belajar pada mereka agar tak ketinggalan.
Reuni tak hanya memberi kesempatan bagi kita untuk membangun sekolah, namun secara psikologis memberi makna yang lebih jauh. Penelitian di University of North Carolina Amerika menunjukkan bahwa kebiasaan bertemu dengan kawan-kawan lewat reuni dapat mengurangi 50% resiko kematian, sekaligus memperpanjang 3,7 tahun usia rata-rata. Bisa dibayangkan, jika kita rajin ikut reuni, berapa lama usia kita berpotensi lebih lama, apalagi di setting sedemikian rupa oleh panitia agar kembali ke masa muda lewat pakaian putih abu-abu. Suasana itu jelas membuat kita kembali menjadi muda.
Selesai kata pengantar sebagai ketua angkatan terpilih saya pamit ke Luwuk. Saya mulai merasa haru sejak tumpengan Milad 38 Smansa. Apalagi Jeklin selalu meneteskan air mata sambil ceplas-ceplos. Keluarganya sedang berduka, harus cepat pulang. Dia selalu rindu kawan-kawan kendati saya telah menyediakan waktu extra dua kali makan ikan bakar dan Tinutuan di RM Ko' Steny. Rupanya makan siang bersama angkatan '89 dan '90 belum cukup menghibur lara. Disana tak hanya penuh tawa dan canda, juga penuh tawa dan janda. Harus diakui, angkatan '91 kontingen terbanyak kali ini.
Reuni biasanya menyisakan kerinduan yang menusuk. Apalagi jika diakhiri oleh puisi keharuan di malam hari, pasti terbawa berhari-hari di rumah hingga cair oleh rutinitas. Reuni membuka kesempatan kita untuk saling menilai tingkat kedewasaan. Sebab seringkali usia biologis tak berbanding lurus dengan usia psikologis. Ada yang matang walau usianya muda, ada pula sebaliknya. Semua bergantung pada pengalaman hidup yang dilalui masing-masing. Semakin keras biasanya semakin matang. Reuni juga bisa jadi ajang curhat, mulai yang paling privasi sampai yang paling lucu. Tergantung tingkat kepercayaan kita pada kawan.
Akhirnya, saya ingin mengucapkan terima kasih pada almamater tercinta dengan semua guru yang telah menyentuh hidup kita. Juga sahabat terbaik, Pian, Jeklin, Vivi, Norma, Haris, Kifli, Harto, Mardiyanto, Trisna, Yeri, Rusdin, Asri, Anto, Rahmat, Khadijah, Wandi, Rita, Indriani, Ruslan, Inayah, Ros, Sunarti, Inan, Ris, Koti, Lona, Eben, Ratna, Mizan, dan yang mungkin terlupakan di sebut dalam catatan kaki ini. Semoga Tuhan menyehatkan dan mempertemukan kita di reuni mendatang.
Komentar
Posting Komentar