Marza Jennova, Pamong Unik dari Sumbar

Oleh. Muhadam Labolo

Dalam tiap event, saya sering lupa menyebut kawan dekat seperti Marza Jennova. Suatu kali bahkan saya tak mencantumkan nama seorang kawan pada perhelatan dimana beliau adalah aktor utama. Dengan alasan klasik, akhirnya saya buat tulisan khusus dengan tema mengenal sahabat di moment lain. Jujur saja, kawan seperti mereka punya keunikan tersediri yang tak cukup di tulis hanya dengan menyebut nama, tapi perlu deskripsi yang lebih dalam.

Waktu di Manglayang, Ia pernah hidup di Barak Sulut Bawah. Ia suka berkorban demi kawan. Pernah suatu kali disuru mengambil roti lebih oleh beberapa kawan yang kelaparan. Tanpa pikir panjang Ia ambil roti jatah para senior. Tentu saja fatal akibatnya. Ia diberi pelajaran berharga hingga babak belur. Itu bukan sekali, berkali-kali, namun Marza tahan banting sekalipun derita Ia tanggung sendiri.

Suatu kali Ia di hajar habis-habisan oleh seorang Polpra kosong dua. Tak ada yang dapat menolong, semua terpaku tak berdaya. Tapi Marza tak kehilangan akal. Untuk mengakhiri penderitaan itu Ia pura-pura pingsan. Sang Polpra cemas. Secepatnya praja lain diminta mengambil air dan siram ke wajah. Polpra, "dek, kamu baik-baik saja kan, apa yang kamu lihat dek?" Kata Marza, "entah mengapa tiba-tiba bayangan kakak seperti hitam putih!" Sang Polpra secepatnya pergi, Marza selamat. 

Perangai Marza penuh mentalitas anti dentuman. Ia sejak praja punya daya tahan luar biasa. Kritik terhadap perbedaan idealitas ceramahnya dengan judul madua di tangan kanan, racuan di tangan kiri dengan realitas hidupnya yang dikelilingi wanita cantik, tak membuat nyalinya ciut. Marza tetaplah Praja dengan mental spritualitas yang kokoh. Ia pesiar dengan percaya diri hingga yang lain cemburu.

Bertahun-tahun kemudian saya bertemu beliau dari satu event ke event lain. Di hotel, reuni besar dan kecil, hingga pertemuan khusus dengan sahabat karibnya, Subhan Lanusi, Ia adalah sahabat yang paling cepat berbaur. Ia mampu mensejajarkan diri, bahkan sedikit merendah walau Ia punya posisi di eselon dua. 

Dengan kelebihan itu, Marza, salah satu Pamong yang disukai bupatinya. Di Padang Lawas Ia tak hanya asisten yang membawahi sekian banyak bagian, juga menjadi semacam penasehat politik praktis. Marza bersikap opurtunistik seperti filosof Machiavelli di Italia. Ia banyak di dengar untuk pergeseran kuasa, dari level bawah bahkan ke posisi yang paling menentukan, jabatan Bupati Padang Lawas.

Sedemikian kuatnya bisikan Marza, hanya satu yang tak mau direalisasikan bupatinya, mengangkatnya sebagai sekda. Ia kuatir, jangan sampai kuasanya pun bisa di dongkel dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Jadi, semua nasehat Marza ditelannya mentah-mentah, kecuali mendudukkan Marza di posisi tertinggi. Itu ancaman terbesar atas kuasanya, meski Marza mendampinginya dalam hampir semua perkara.

Ketika Reuni Regional Sulawesi di Luwuk, Ia dan Hamonangan Daulay dari Sumut mampu memaksa bupatinya mengeluarkan izin sekalian membawanya ke Luwuk. Bupati disurunya diam di kamar, katanya biarlah mereka berdua yang mewakili rapat. Bupati tak tau itu reuni, dikiranya seminar evaluasi anggaran regional. Padahal dia dan Daulay menikmati reuni. Esoknya bupati disuruh balik duluan, katanya biarlah mereka berdua yang akan lanjutkan sampai acaranya selesai. Bupati dengan lugu ikut saja protokol yang dibuat orang tu.

Marza mahluk adaptif yang dibayangkan Charles Darwin ketika menemukan Pulau Galapagos di Australia. Katanya, bukan yang kuat dan besar seperti Dinosaurus yang mampu bertahan hidup, tapi yang mampu beradaptasi. Dan, Marza mampu menunjukkan penyesuaian dirinya dalam belukar birokrasi ketika bersentuhan dengan dinamika politik lokal. Ia mampu berselancar dalam berbagai tekanan gelombang.

Marza pamong yang mudah bergaul dengan siapa saja. Ia tak hanya supel & luwes, juga komunikatif serta penuh tawa dan canda. Keluwesannya sudah teruji, setiap kali rezim bupati berganti Ia tetap terpakai. Komunikasinya datar dan merelakan orang lain menginterupsi. Ia tak mudah sensi kecuali senyum dengan hiasan jenggot putih sebagai penangkal. Mungkin berbeda ketika Ia praja.

Marza suka candaan gurih. Bahkan, beliau semangat hadir dalam setiap kumpulan reuni lokal hanya untuk mendengarkan gurauan baru. Jauh dari Padang Lawas usai menjenguk anggota keluarga Pasopati yang wafat Ia melaju ke Medan. Ia hanya ingin berkumpul dan mendengarkan cerpen semasa di Manglayang hingga bertugas di Pemda. Ia sendiri menyimpan cerpen berjilid-jilid untuk didengarkan. 

Saya menikmati pengalaman hidup Marza. Termasuk kejujurannya menceritakan hal privasi. Seperti kelakuan pimpinannya yang aneh-aneh. Mungkin sang bos menganggap dia bawahan yang polos. Padahal dia tak tau bagaimana Marza berkali-kali membodohi sang pimpinan yang justru lebih polos darinya. Berdua, mereka menikmati kepolosan masing-masing. Mungkin tak berlebihan bila Marza identik dengan tokoh cerdik dalam dongeng seribu satu malam, Abu Nawas, atau mungkin Pak Belalang dalam versi lokal.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengenang Sartono, M. Jaffar dan Indrarto

Seri: Kajian Filsafat Ilmu Pemerintahan

Pamongpraja, Tinjauan Filosofis, Etimologis, Historis, Relevansi dan Gagasan Kekinian