Pelajaran dari Medan
Oleh. Muhadam Labolo
Saya di undang Elfin Ilyas hadiri pelantikannya sebagai Pj. Bupati Tapteng di Medan. Undangannya via call HP Opa Sony Takumansang. Saya diundang dalam kapasitas sebagai Ketua Paguyuban, bukan pejabat setingkat beliau. Saya iyakan saja, walau sedikit berat kesana. Saya dilema, banyak yang terpikir untuk di reschedulle kembali, khususnya jadwal mengajar senin.
Saya ingin buat alasan, tapi sulit menolak Elfin dengan wajah berharap. Beliau inspektur yang punya idealisme, punya seperangkat gagasan soal strategi pengawasan lewat konsep integrity islands & fishbone. Saya senang beliau ditunjuk jadi Pj Bupati, walau saya juga paham beliau tak punya tujuan jadi Pj Bupati. Mudah-mudah beliau bisa terapkan konsep itu dengan baik.
Tapteng cukup dinamis, sama dengan kebanyakan daerah, khususnya politics local. Yuniornya perempuan kembali jadi sekda setelah gagal membangun harmoni dengan dewan lokal. Ini memang tantangan khusus bagi Pamong bila turun lapangan. Seorang pj gubernur pun bisa di usir dari ruang rapat paripurna hanya karena tak seirama dengan langkah mereka.
Sebenarnya saya punya undangan lebih dulu ke Tanjung Balai. Pengundangnya Nurmalini Marpaung. Beliau adik bontot yang jadi Plt Sekda disitu, kata Bethi. Lini, panggilannya. Saya punya kebanggaan sendiri dengan Lini sejak diangkat jadi orang besar kedua di Tanjung Balai. Beliau cakap, tenang, hamble, friendly & _keep smile dengan siapa saja.
Sejak duduk disitu, walikotanya merayu saya berkali-kali supaya membujuk Lini ikut biding jadi sekda betulan (defenitif). Sudah saya sampaikan, bahkan untuk kesekian kalinya setelah bersepakat dengan Ketua IKAPTK Sumut, Bang Faisal Nasution. Tapi dia tak bergeming, keukeuh hanya mau jadi plt. Saya heran campur penasaran.
Lini benar-benar tak seperti kebanyakan birokrat. Ia memang pernah BTL di masa praja karena masuk STPDN kemudaan (1975). Tapi Ia punya idealisme luar biasa. Hadapi DPRD yang galak Ia benar-benar tak gentar. Tak ada kompromi sesenpun untuk dilepas kendati Ia dijejali bermacam-macam janji, termasuk ancaman. Dia tau betul konsekuensi semua itu pasca walikota masuk buih.
Tak disangka, keroyokan dewan hingga subuh dini hari agar anggaran bisa dibagi tak membuat Ia lupa diri. Tapi justru disitulah beliau lolos dari sergapan KPK yang rupanya telah dua hari mengintip gerak-gerik dewan dan Bu Sekda. Kepolosan Lini rupanya menyelamatkannya. Kata salah seorang anggota KPK sebelum pamit, "Bu Sekda, pertahankan prinsip Ibu seterusnya, jangan pernah berubah."
Di tengah puluhan birokrat tersandung korupsi dan suap oleh majikannya, saya menemukan sosok yang bisa ditularkan pada sahabat Pasopati. Satu pelajaran yang mungkin bagi saya belum tentu mampu dielakkan. Lini tak mau kompromi. Dari situ saya menyadari mengapa Walikota yang seumur saya itu ngebet banget sama Lini. Dia butuh tameng.
Walikota punya pengalaman sebagai Camat dan Wakil Walikota. Tapi Ia tak punya nyali menghadapi politisi reseh dan garang. Satu-satunya cara berlindung pada sekda yang punya prinsip dan pengetahuan teknis pemerintahan. Pernah ada calon lain, tapi dari caranya memperoleh kuasa sudah bisa ditebak, sami mawon, berpotensi korup. Pak wali ogah, dia cuma tau Lini.
Kemaren, saya kembali merayu Lini atas bisikan Pak Wali supaya ikut biding. Argumen saya simpel, bila orang baik tak masuk maka orang jahat akan bercokol. Kalau tak maju, sama artinya membiarkan pak wali masuk buih, adik-adik masuk penjara, bahkan mayoritas birokrat kehilangan panutan. Apalagi posisi sekda strategis melakukan perubahan, bukan staf biasa yang bisa mundur kapan saja.
Kalau kita di posisi puncak, titah Tuhan tentang kebenaran dengan mudah bisa kita aplikasikan, termasuk menolak suap, kompromi dengan kejahatan, pungli, dan bersikap korup. Itu sudah penerapan yang konkrit dari firman Tuhan. Lebih tinggi pahalanya daripada elite religi yang hanya bisa beri ceramah.
Kata sesepuh Prof. Ryaas, pemerintahan adalah lahan paling efektif mengejawantahkan perintah Tuhan. Sejauh kita punya prinsip kejujuran, kesholehan dan kesederhaan, kita bisa menyerupai nabi di tengah kebobrokan birokrasi. Kekuatan Lini ada disitu, ditambah spiritualitas senin-kamis yang membuat Ia semakin kuat dari aspek mental.
Saya ke Medan setelah Kang Teguh baik hati mengirimkan tiket. Saya bersedia jadi ajudan dan guide. Disana kami di jemput bangsawan Aceh, Teuku Dahsya & Teuku Yahya, plus Amir, Rahmat, Andi Sukur dan senior lucu 03, Haekal. Dia eks Polpra Swasta di Manglayang. Dahsya siapkan kamar tidur berlebih selain Kang Teguh. Saya rekom buat Haekal. Di aula kami jumpa Syaifullah dan Sekda Deli Serdang yang baru beberapa pekan dilantik. Pak Timur sosok yang santun, murah senyum dan kalem. Tak lupa wanita praja yang cerdas, lucu dan seru, Nella, Vera dan Lurim Purba.
Lepas pelantikan kami foto sesuai urutan protokol. Tak lupa gaya Pasopati, walau tak ada angkatan lain disitu, tetap saja angkat 4 jari. Takut di tuduh bukan anggota Pasopati. Kami di ajak makan siang oleh Fachruddin Harahap secara nomaden. Makan ringan di tengah kota, makan berat di Resto Jimbaran ala Bali. Fachruddin masih sama, lucu dan lugu dihiasi kumis tipis. Beliau patuh pada perintah kadisnya, Faisal Nasution, sambil sesekali menghela rokok kreteknya.
Kami rehat disana. Disusul Bang Irwan Harahap, mantan Polpra 03. Beliau anggota Bawaslu Sumut. Mungkin banyak penguasa 04 di Bawaslu pusat jadi dia dekat dengan Pasopati. Badannya masih laik pukul, tak seperti Noval Tamburaka. Kami diarahkan oleh Faisal. Beliau baru bergeser dari kepala BKD ke dinas. Faisal pejabat yang tenang, penuh perhatian namun berhati-hati. Walau dekat dengan Pak Gub, tempat curhat segala urusan politik dan pemerintahan, namun tak mudah beroleh katabelece.
Di depan saya duduk Ody Dodi. Beliau narasumber utama soal pengalaman jatuh bangun sebelum kini. Dia terjebak hutang-piutang ratusan juta pada adik-adik yunior. Beliau sendiri korban seniornya. Tapi dengan sungguh-sungguh beliau mampu lunasi, walau butuh waktu dan energi extra. Saya menyimak dengan serius. Itu cerita berani dan luar biasa di tengah sulitnya mempertahankan komitmen, apalagi soal hutang-piutang.
Saya sering menjumpai kasus Ody, tapi hasilnya tak sebaik ending nya. Banyak yang raib, apalagi kalau yang dipinjam uang milik yunior, banyak yang kabur. Hutang-piutang jadi masalah klasik, apalagi sesama alumni. Bisa konflik dan putus silaturahmi. Katanya, lebih baik minjam daripada dipinjam, suka mengkal hati. Syukur masih banyak sahabat Pasopati yang punya hati emas, punya kejujuran, dan punya komitmen mengembalikan seperti Ody. Saya suka talk story tentang tanggungjawab yang mulai langka. Saya bersyukur dapat pelajaran baik disana, dan mungkin saja berguna untuk kita semua.
Komentar
Posting Komentar