Membenahi Keuangan Parpol

Oleh. Muhadam Labolo

Partai politik salah satu pilar demokrasi. Sebagai pilar, parpol membutuhkan dukungan yang memungkinkan fungsi-fungsinya dijalankan dengan baik. Satu diantaranya adalah dukungan keuangan dari berbagai sumber. Tiga sumber utama keuangan parpol yaitu negara, anggota dan pihak lain yang relatif tak mengikat.

Negara pada dasarnya bertanggungjawab bagi tumbuh dan berkembangnya parpol. Dalam sistem politik modern, partailah wadah formal bagi lahirnya salah satu unsur terpenting negara, yaitu pemerintah. Pemerintah otak negara. Kemana negara akan diarahkan bergantung siapa pemerintahnya. 

Dalam kaitan itu, parpol berfungsi menyiapkan menu kandidat pemerintah yang akan dipilih. Tanpa itu masa depan negara akan suram. Disitu relevansi dan signifikansi negara terhadap mati hidupnya parpol. Parpol sendiri tak lain representasi kelompok masyarakat yang secara otonom memproduk pemerintah.

Di eropa misalnya, bantuan pemerintah terhadap parpol bisa mencapai 80% dari plafon kebutuhan. Di Indonesia, bantuan ke parpol baru dinilai seribu hingga dua ribu rupiah persuara. Itupun berbeda nilainya di setiap level pemerintahan. Alokasinya untuk pendidikan politik dan operasional parpol setiap tahun. Gambaran itu menunjukkan betapa negara belum serius merawat pilar demokrasi.

Masalahnya, pengeluaran operasional parpol bisa mencapai 50 M/tahun. Sementara pengeluaran kampanye dimasa pemilu bisa mencapai 200-300 M (Supriyanto, 2019). Kesenjangan ini membuat parpol berpikir seratus kali untuk menjaga kelangsungan hidupnya, apalagi bila peraihan suara di setiap pemilu mengalami defisit. 

Sumber kedua bagi nafas parpol adalah iuran anggotanya. Dihampir semua parpol hal ini menjadi kewajiban khususnya mereka yang duduk di kursi, baik di level terendah hingga tertinggi. Bantuan itu tak hanya kader yang duduk di kursi legislatif, juga eksekutif. Bisa dikalkulasi jumlah kader eksekutif dari tingkal lokal seperti kepala daerah, hingga dewan lokal dan pusat seperti DPR/D, menteri dan non kementrian.

Defisit keuangan parpol tak jarang mendorong tekanan luar biasa pada elitnya. Meski iuran anggota mencapai 5-15% dari penghasilan tetap anggota legislatif dan eksekutif, kas parpol tetap saja minus. Untuk menutupi itu anggota parpol cenderung dipaksa bekerja keras hingga menyuburkan perilaku korupsi. Tak bisa disangkal, hampir semua parpol terjebak dalam kondisi ini. Disitu citra parpol anjlok lewat persepsi publik.

Sumber ketiga dana parpol berasal dari pihak ketiga. Simbiosis mutualisme antara kelompok oligarchi dan elit parpol setidaknya memberi dana segar bagi parpol. Pragmatisme ini terjadi lewat pertukaran kepentingan jual-beli ayat dan pasal. Keberpihakan parpol pada pihak ketiga menjadikan produk kebijakan terkontaminasi oleh kepentingan pemodal dibanding memperjuangkan kebutuhan kaum alit.

Ketiga sumber keuangan itu jelas menciptakan dilema bagi parpol. Bantuan negara menciptakan ketergantungan dan ketidaknetralan, iuran anggota melahirkan korupsi, sedangkan bantuan pihak ketiga menyandera parpol lewat pragmatisme kebijakan negara. Kenyataan itu tentu saja membutuhkan perubahan sistem dan tata kelola keuangan yang sehat bagi masa depan parpol agar mandiri, profesional dan kuat.

Untuk itu perlu dipikirkan strategi yang secara langsung maupun tak langsung mampu mengubah ketergantungan parpol pada negara, anggota dan pihak ketiga. Mungkin perlu perubahan mekanisme demokrasi, dengan mensubstitusi mekanisme pemilihan eksekutif dari langsung menjadi tak langsung. Demikian pula mekanisme pemilu legislatif dari proporsional terbuka menjadi tertutup.

Kedua strategi itu dengan sendirinya akan mengalihkan tetesan sumber daya dari tim sukses dan grass root ke internal parpol. Pengalihan itu selanjutnya diinstitusionalisasikan menjadi syarat yang dapat diakses publik untuk menghindari tuduhan pengalihan alur money politics dari atas ke bawah menjadi dari bawah ke atas. Perubahan ini akan memudahkan audit sekalipun bukan tanpa kekurangan.

Namun, bila kandidat di legislatif dan eksekutif selama ini lebih banyak membuang modal ke basis konstituen, bukankah dengan perubahan mekanisme tersebut dengan sendirinya akan menyerap sumber daya milik kandidat berakhir di organisasi parpol ketimbang jatuh di tangan tim sukses. Dengan begitu parpol tak hanya lepas dari problem keuangan, juga semakin kuat, mandiri dan profesional, tak semata bergantung pada negara dan pihak lainnya

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengenang Sartono, M. Jaffar dan Indrarto

Seri: Kajian Filsafat Ilmu Pemerintahan

Pamongpraja, Tinjauan Filosofis, Etimologis, Historis, Relevansi dan Gagasan Kekinian