Menata Body of Knowledge Ilmu Pemerintahan
(Bahan Simposium III Ilmu Pemerintahan, Fakultas Politik Pemerintahan, 2020)
Oleh. Muhadam Labolo
Pada setiap generasi, perdebatan tentang eksistensi ilmu pemerintahan selalu berkutat pada persoalan ontologi, epistemologi, dan aksiologinya. Pertanyaan di seputar ontologi misalnya apakah pemerintah dan pemerintahan itu, mengapa manusia membutuhkan pemerintahan, dapatkah manusia hidup tanpa pemerintahan, apakah tujuan pemerintahan itu bahkan dalam bentuknya yang paling kompleks, negara. Bila disederhanakan kita sampai pada soal apakah objek materi dan objek formalnya.
Dari sisi epistemologi berkaitan dengan adakah konsep-konsep pemerintahan itu, dengan cara apa, serta bagaimana ia diteliti. Bila disimplifikasi kita sampai pada dua hal utama, yaitu bagaimanakah metodologi ilmu dan metodologi penelitiannya. Sementara di level aksiologi nya berkenaan dengan bagaimanakah cara pemerintahan itu dipraktik-ajarkan agar mencapai cita tertingginya, kesejahteraan. Kesejahteraan disini lebih dapat didekati ketimbang berbicara konsep kebahagiaan yang lebih subjektif dan abstrak.
Memang dalam literatur klasik kita mengenal istilah kebahagiaan sebagai tujuan negara. Namun apa yang dipikirkan Aristoteles maupun Van Poeltje soal kebahagiaan mengalami perubahan makna ketika paradigma negara berubah dari negara hukum-penjaga malam (maachstate) ke negara sejahtera (welfarestate). Dengan sendirinya pendekatan yang dulu bersifat security approach pun berubah menjadi prosperity approach. Sekalipun begitu, kita tetap menggunakan keduanya bergantung dinamika dan kebutuhan suatu negara.
Dalam perspektif normatif, pengukuran kesejahteraan dapat dilihat minimal pada aspek kesehatan, pendidikan dan pendapatan (UNDP). Sementara indeks kebahagiaan sendiri dipisahkan sebagaimana indeks kemiskinan sebagai kebalikan dari kesejahteraan (kemakmuran). Pemisahan itu dengan alasan betapa subjektifnya ukuran kebahagiaan dibanding kesejahteraan. Bisa dimaklumi sekalipun Bangladesh negara miskin namun dinilai lebih bahagia dibanding Amerika yang kaya.
Pada aspek aksiologi berkaitan dengan didaktik maupun metodiknya. Didaktif berhubungan dengan substansi kurikulum sebagai bahan pembentuk profile peserta didik. Sementara metodik bertalian dengan cara paling efektif dalam mentransformasikan ilmu pemerintahan lewat proses belajar-mengajar. Memahami kekhasan pemerintahan sebagai terapan sekaligus ilmu, tentu saja akan berbeda pola pengajarannya dibanding ilmu pengetahuan lain yang semata hanya menekankan aspek kognitif.
Ketiga persoalan mendasar itu selalu menjadi topik pertengkaran pikiran para pembelajar pemerintahan yang tak jarang menanjak di tensi tertentu, atau tenggelam dikedalaman ilmu lain dimana pemerintahan hanyalah satu studi sekaligus teknik yang khas dalam mengelola keewenangan melalui praktek nyata dilapangan (terapan). Bagian ini terpelihara rapi di lembaga pendidikan kedinasan seperti IPDN, sementara level akademiknya subur di perguruan tinggi fakultas sosial-politik seperti UI, UGM, Unhas, Unpadj, Unlam dll.
Untuk mendekati hal di atas saya coba merujuk pada makalah hasil simposium IPDN tahun 2020. Sejumlah pembicara telah dihadirkan seperti Prof. Muchlis Hamdi (IPDN), Prof. Purwo Santoso (UGM), Prof. Tjahya Supriatna (IPDN), Prof. Uttang Suwaryo (Unpadj), Prof. Sadu Wasistiono (IPDN), Dr. Halilul dan Dr. Muhadam (IPDN). Tema besarnya soal menguatkan Kembali eksistensi ilmu pemerintahan dilingkungan IPDN. Jadi tak lagi melulu bicara soal adakah ilmu pemerintahan, tapi bagaimana menguatkan bangunan yang telah muncul lebih kurang tiga abad lalu.
Reasoning Ontologik
Secara historis tak ada catatan presisi tentang kehadiran pemerintahan di muka bumi. Menurut Suwaryo (2020), pemerintahan sebagai fenomena konkrit telah menyatu dan berdampingan dengan kehidupan manusia sejak ribuan tahun silam. Secara spiritual gejala pemerintahan muncul ketika Taman Eden diciptakan Tuhan. Disitu relasi antara Tuhan sebagai yang memerintah dengan manusia, malaikat dan iblis sebagai yang diperintah berlangsung dengan sendirinya. Gambaran tersebut membawa kita kedalam world vieuw bahwa manusia memiliki relasi ketuhanan sekaligus mengilhami satu model pemerintahan klasik, teokrasi.
Dalam model seperti itu, seseorang dengan tradisi genetiknya mewakili Tuhan di muka bumi untuk melakukan fungsi-fungsi pemerintahan. Dengan sifat absolutisme itu maka setiap kritik terhadap sabda penguasa identik dengan mengingkari firman Tuhan. Klaimnya, sabda raja adalah pandito ratu yang mesti dilaksanakan, bukan didiskusikan apalagi sampai di tentang. Inilah paham kedaulatan di tangan Tuhan yang dipercaya selama ribuan tahun seperti Negara Vatikan di Eropa atau sistem kekhalifahan di timur.
Jika dikaji lebih jauh, spirit teokrasi secara teoritik mirip gagasan Thomas Hobbes (1651) sekalipun Ia sendiri tak mempersoalkan model pemerintahan seperti apa yang paling tepat diterapkan. Baginya, tak ada cara efektif untuk mengendalikan sifat alami manusia yang soliter, kejam, keji dan selfisis kecuali menghadirkan satu sosok mahluk raksasa (leviathan) untuk menciptakan keteraturan lewat rasa takut. Sosok itu boleh siapa saja sepanjang Ia mampu melahirkan absolutisme yang disegani rakyat, apakah wakil Tuhan maupun wakil masyarakat.
Tanpa itu kata Hobbes, mereka yang lemah sekalipun dapat bersatu melawan kelompok lain dengan alasan yang sama (survival of the fittest). Situasi ini dalam kondisi ekstrem mendorong terciptanya homo homini lupus maupun bellum omnium contra omnes. Dalam keadaan demikian diperlukan seseorang atau sekelompok orang yang mampu menyelamatkan manusia dari serangan brutal sesamanya maupun ancaman dari kelompok lain. Ide ini adalah upaya untuk mengendalikan manusia dari realitas state of nature.
Gagasan Hobbes telah mendorong terbentuknya pemerintahan absolutis, totaliter dan fasis dengan mengandalkan polisi sebagai penjaga keamanan dan militer sebagai satuan penjaga serangan dari luar. Inilah negara penjaga malam (maach-state). Sekalipun demikian, gagasan Hobbes dianggap lebih optimistik, logis dan rasional dalam menghadirkan pemerintahan dengan model apapun yang dimungkinkan untuk melindungi masyarakat dari situasi yang mencekam dan tak beraturan itu. Sejauh negara dipimpin oleh pemerintah yang baik tentu saja ide itu bukan masalah.
Bahkan dengan alasan apapun, jauh lebih baik pemerintah hadir dengan sifatnya yang paling kejam dibanding tak ada pemerintah sama sekali. Sifat kejam pemerintah pada akhirnya dapat ditolerir sebagai kejahatan yang diperlukan pada situasi dan kondisi tertentu. Seburuk-buruknya tindakan pemerintah setidaknya Ia dapat melindungi sedikit orang daripada tak seorangpun yang mampu dipastikan mendapat perlindungan. Tentu saja jauh lebih baik jika banyak orang yang dapat dilindungi pemerintah. Hal mana dapat mendorong tingkat kepercayaan (trust).
Pandangan Hobbes yang dilatarbelakangi oleh perasaan panik akibat kekacauan dilingkungannya mendapat kritik John Locke, JJ Roasseau dan Imanual Kant. Guna menghindari absolutisme yang rentan disalahgunakan oleh penguasa itu, kiranya berbahaya apabila hak-hak warga negara yang bersifat prinsipil dan pemberian Tuhan diserahkan begitu saja kepada pemerintah. Hak hidup, hak beribadah pada penciptanya, hak berbicara, hak berkumpul dan berserikat adalah sedikit contoh yang tak bisa diberikan cuma-cuma kepada pemerintah.
Hak-hak demikian cukup diakui, dihormati, difasilitasi dan dipenuhi oleh pemerintah, setidaknya pada tingkat paling minimal (Ndraha, 2002). Selain itu tak ada satupun pemerintah yang boleh mengambil hak-hak tersebut tanpa alasan yang dikecualikan. Dalam keterikatan dengan pemerintah, sepanjang manusia mampu memenuhi seluruh kewajibannya, Ia dapat bergabung didalamnya. Tanpa jaminan itu setiap manusia dapat menentukan kapan seseorang mesti berhenti atau bergabung dengan pemerintahan lain.
Pemikiran ini mendorong munculnya trias politica guna membatasi penumpukan kekuasaan pada satu tangan melalui konstitusionalisme. Pengurangan kekuasaan tiranic yang melekat pada seseorang (monarchi) hingga sekelompok orang (oligarkhi) telah mendorong pula diferensiasi kekuasaan melalui pembagian kekuasaan (separation of power) maupun pembagian kekuasaan (distribution of power) pada eksekutif, legislatif dan yudikatif. Dalam masa selanjutnya gagasan tersebut berkembang sejalan dengan konsepsi negara kesejahteraan.
Pandangan Hobbes bukanlah tanpa resistensi. Gagasan William Godwin (1793) lewat paham anarchisme memperlihatkan hal sebaliknya, pemerintah sesungguhnya bukanlah institusi yang paling diperlukan. Sekalipun latar sosial yang dikemukakan Hobbes adalah kecenderungan yang mencekam penuh ketidakteraturan, namun Godwin menganggap bahwa pada akhirnya dengan kesadaran individu terus-menerus, konflik tak akan berlangsung lama sebagaimana perdamaian yang bersifat relatif. Manusia dapat sempurna dengan melakukan perbaikan terus-menerus.
Dengan menyadari bahwa kepentingan umum lebih utama dari kepentingan pribadi mereka akan terus berdiskusi secara rasional menuju kesempurnaan. Setiap individu akan mengorganisir diri dengan alasan bahwa pada dasarnya tak ada satupun manusia yang menyukai kekerasan, kekejaman, konflik dan pertumpahan darah berlangsung selama-lamanya. Bila setiap individu telah mampu mengatur dirinya, maka kehadiran pemerintahan tak terlalu diperlukan. Jadi kesadaran kolektif itulah yang penting dibanding menyerahkan semua urusan pada pemerintah.
Ide Godwin tampak sejalan dengan Marx (1848) yang menganggap negara pada dasarnya dikendalikan oleh kelas yang memerintah dan karenanya menjadi sumber penindas bagi kepentingan kelas lain sehingga peranannya dapat membahayakan. Dominasi kelas berkuasa seringkali melampaui ekspektasi mereka yang dikuasai. Dalam relasi ini yang muncul adalah penghisapan. Negara tak lain sarana yang disediakan untuk secara sengaja atau tidak tempat memperoleh keuntungan melalui berbagai aturan yang membebani, pajak misalnya.
Pandangan pesimistik Godwin atas relativitas pemerintah menunjukkan bahwa eksistensi pemerintah bukan satu-satunya institusi yang dibutuhkan sekalipun kita akan kesulitan ketika mengonfirmasi kembali entitas seperti apa yang akan menggantikan peran pemerintah di tengah keraguan terhadap konsistensi atas tanggungjawab setiap individu dalam masyarakat. Keraguan itu setidaknya dikuatkan oleh tesis populer James Madison (1788), bahwa andai semua manusia adalah malaikat, mungkin kita tak butuh pemerintah.
Dialektika di atas kiranya cukup menjelaskan pandangan ontologik politik pemerintahan sebagaimana arus utama pemikiran Ryaas Rasyid (1999) dan kajian studi ilmu pemerintahan diberbagai perguruan tinggi sejak perkembangannya pada level akademik memasuki abad 20. Tentu saja kurang lengkap jika perspektif di atas tidak kita amplifikasi lewat basis sosial dan ekonominya. Alasannya, manusia tak hanya zoon politicon, juga homo socius dan homo economicus. Ketiga bagian ini kelak akan sampai pada kerangka pikir kybernologi Taliziduhu Ndraha (2002).
Tentu saja ada banyak pandangan dalam konteks sosial dan ekonomi, namun dengan pertimbangan tertentu untuk basis sosialnya kita pilih gagasan Mc Iver dalam bukunya The Web of Government (1947), sedangkan basis ekonominya dapat di rujuk pikiran Adam Smith dalam The Wealth of Nation (1776). Ide sosiologis Iver dalam kaitan ini bahwa pemerintahan terbentuk seperti perangkap jaring laba-laba. Setiap individu berhubungan dan karenanya membutuhkan orang lain untuk mencapai tujuan kelompok dari yang paling traditional (keluarga) hingga paling kompleks (negara).
Tanpa ikatan antara individu dalam kelompok sulit mencapai tujuan besar yang hendak di raih. Setiap individu memiliki potensi namun tak akan cukup berarti apa-apa jika tak berada dalam kelompok yang besar. Dalam kelompok besar manusia cenderung dapat meraih apapun yang mereka inginkan. Kemampuan mengorganisir kelompok oleh beberapa orang yang memiliki keistimewan pada akhirnya melahirkan kepercayaan melalui mana pemerintahan kemudian dibentuk. Pandangan Iver telah meyakinkan kita bahwa naluri individu untuk hidup berkelompok bersifat alamiah.
Disini tampak keluarga sebagai basis pertama, utama dan mikro menjadi akar bagi pertumbuhan dan perkembangan pemerintahan menuju negara modern. Dalam realitas sehari-hari dapat disaksikan bahwa keluargalah yang paling mungkin diintervensi negara lewat program pemerintah. Pertama, disana perkembangan biologis dimulai. Utama, disitu sistem nilai mulai berkembang. Mikro, sebab keluarga pada hakekatnya tak lain dan tak bukan adalah negara dalam pengertian terkecil sebelum menjadi sempurna.
Dari perspektif ekonomi, gagasan Smith sekalipun terkesan kontradiktif dalam melihat peran dan fungsi negara, namun Smith setuju bahwa eksistensi pemerintah dibutuhkan dalam kondisi tertentu guna mengintervensi pasar sepanjang dengan alasan menciptakan stabilitas bagi kemakmuran dan keadilan sosial. Dalam keadaan normal intervensi pemerintah tak diperlukan karena pasar dapat mereleksasi dirinya secara alamiah (laissez faire). Smith sependapat bahwa tangan pemerintah adalah tangan Tuhan (invisible hand) yang dibutuhkan manakala terjadi ketidakteraturan.
Dari pandangan politik, sosial dan ekonomi di atas baik yang bersifat optimistik maupun pesimistik terhadap perlunya kehadiran pemerintahan menarik kita mempelajari lebih jauh bagaimana aktivitas konkrit pemerintahan baik perilaku, organisasi, proses, bentuk, tipe dan sistem pemerintahan yang dapat didekati baik sebagai ilmu pengetahuan maupun praktek dinamis dari unsur-unsur yang membentuk pemerintahan. Untuk selanjutnya kita coba menjawab objek materil dan formal ilmu pemerintahan dari sisi epistemologi.
Reasoning Epistemologis
Sama dengan ilmu hukum, politik, administrasi, konsep pemerintah dan pemerintahan kaya akan makna yang dapat dilihat dari berbagai perspektif. Sedemikian banyak berserakan makna tersebut ada baiknya kita pilihkan satu pemaknaan yang lebih umum dan sering digunakan oleh para pembelajar ilmu pemerintahan. Agar lebih distingtif selanjutnya akan lebih banyak digunakan istilah pemerintahan. Bila objek materilnya negara, secara konkrit yang menjadi pusat perhatian utamanya adalah pemerintahan dalam arti luas dan sempit.
Pertanyaan lebih jauh, di dalam unsur pemerintahan itu apakah yang akan menjadi titik perhatian kita, apakah subjeknya, organisasinya, prosesnya, ataukah sistemnya (Finer, 1964). Tentu saja persoalan ini tak dapat disempitkan begitu saja, karena ketika kita memfokuskan pada subyek pemerintahan maka pembicaraan pemerintahan akan terkait dengan perilaku pemerintah (aktor), dalam hal ini pemimpin dan fenomena kepemimpinannya. Konsep ini kita adaptasi dari management sehingga melahirkan hybrida kepemimpinan pemerintahan.
Kepemimpinan merupakan fenomena alamiah yang muncul bersamaan dengan eksistensi pemerintahan. Artinya dimanapun ada pemerintah disanalah pemimpin muncul atau sebaliknya. Untuk mempelajari itu semua kita membutuhkan konsep-konsep sosiologi guna menjelaskan sebab, tipe, model, sifat, karakteristik hingga gaya kepemimpinan khususnya dalam pemerintahan. Sosiologi pemerintahan akan memberi kita batasan tentang masyarakat, wewenang, komunitas, organisasi birokrasi dan aktivitasnya.
Pada ilmu hukum pun demikian. Konsep-konsep yang akan kita pinjam misalnya rules, konstitusionalisme, mandat, delegasi, subjek dan objek hukum bagi pemerintah. Inilah hukum pemerintahan. Bila titik perhatian kita berada pada proses pemerintahan yang efisien dan efektif maka akan berjumpa dengan mereka yang melayani dan yang dilayani (administrasi). Demikian pula mereka yang memerintah dan yang diperintah (pemerintahan), produsen dan konsumen (ekonomi), yang bertindak dan yang di tindak (hukum), atau antara penguasa dan mereka yang dikuasai (politik).
Konteks ini menjelaskan pentingnya konsep-konsep lain seperti contoh di atas. Terkait sistem, yang menjadi fokus perhatian kita adalah sistem pemerintahan seperti apakah yang ideal diterapkan pada satu negara. Hal ini tentu berkenaan dengan peran ilmu politik dan hukum. Disini penting membedakan antara sistem politik (Demokrasi, otoriter, totaliter), sistem pemerintahan (presidensial, parlementer dan campuran), bentuk negara (kesatuan atau federal) dan bentuk pemerintahan (monarchi atau republik). Pembedaan memudahkan kita memahami pemerintahan di level praktis.
Melihat cakupan dan fokus pemerintahan luas itu, posisi pemerintahan sebagai salah satu unsur negara akan sangat bergantung pada konteks apa pemerintahan itu dimaknai, apakah subjeknya, organisasinya, prosesnya, ataukah sistemnya. Jika kita peras keempat hal itu, hanya mungkin aktif jika memiliki wewenang dalam melaksanakan pelayanan. Ini objek materi ilmu pemerintahan (Wasistiono, 2019). Sementara dari sudut mana, ruang dan waktu kapan, serta instrument apa yang kita pakai dalam melihat objek pemerintahan di sebut objek formal pemerintahan.
Bila objek materi pemerintahan itu telah kita sepakati, sekali lagi objek formalnya akan sangat bergantung pada sudut pandang apa kita melihat objek materinya, instrument apa yang kita gunakan, kapan kita melihatnya, serta faktor apakah yang mempengaruhi cara kita melihat obyek materil pemerintahan itu. Untuk melihat pemerintahan kita tak mungkin hanya terpaku pada salah satu objek materi di atas, selalu saja terkait hubungan yang bersifat multi relasi baik di konsep kewenangan maupun pelayanan itu sendiri.
Cara pandang politik melihat pemerintahan sebagai tata kelola kuasa berbeda dengan hukum melihat pemerintahan sebagai tata kelola aturan, administrasi tata kelola perkantoran, dan ekonomi tata kelola niaga. Pemerintahan sendiri selama ini jamak menggunakan istilah tata kelola pemerintahan. Tata kelola pemerintahan mencakup bagaimana kewenangan diperoleh, digunakan, dan dipertanggungjawabkan sesuai norma aturan dan sosial. Sementara tata kelola pelayanan meliputi jasa publik dan layanan sipil. Yang pertama dapat diprivatisasi, yang terakhir dapat dimonopoli pemerintah (Ndraha, 2002).
Pandangan Ndraha dengan mengaitkan konsep kekuasaan, ekonomi dan sosial pada relasi yang memerintah dan yang diperintah menjadi kerangka pikir pengembangan nilai ilmu pemerintahan (kybernologi). Ndraha menggambarkan hal itu lewat diagram sederhana sebagai satu hubungan yang kuat dan saling bergantung antara subkultur kekuasaan (SKK), subkultur ekonomi (SKE), dan subkultur sosial (SKS). Diagram hubungan antar subkultur menunjukkan nilai pemerintahan menjadi lebih luas dan kompleks.
Luas karena cakupannya berkaitan dengan alasan kehadiran pemerintahan sejak bernama mahluk hingga berakhir pada realitas manusia sebagai warga negara dari sistem sosial tertinggi. Kompleks, karena di dalam realitasnya pemerintahan itu berhubungan dengan semua urusan manusia dari lahir sampai mati yang menjadi tanggungjawabnya termasuk aktivitas organisasi tertingginya, negara. Konteks ini telah menempatkan posisi pemerintahan tidak hanya sebagai kerangka pikir di atas, juga pada level tertinggi dari ontologi pemerintahan.
Untuk kebutuhan kita, marilah kita lihat kembali hubungan pemerintahan yang mencakup tata kelola kewenangan dan pelayanan. Penggunaan kewenangan berkaitan dengan aspek kekuasaan yang bersifat formal (authority), Dalam perspektif hukum, wewenang melekat pada person (pejabatnya), sedangkan kewenangan melekat pada institusi. Keduanya dapat digunakan berdasarkan batasan waktu, teritorial, dan cakupan pelayanan. Dalam hal penggunaan wewenang tak dapat melampaui, mencampur-adukkan, membiarkan, termasuk bersikap sewenang-wenang.
Jika boleh disederhanakan hal ini berkaitan dengan bagaimana wewenang atau tugas dan fungsi yang melekat pada setiap pelaku pemerintahan (subjek) dapat digunakan, termasuk bagaimana kewenangan atau urusan yang melekat pada institusi itu dapat dijalankan sesuai aturan untuk mencapai tujuan. Pada aspek pelayanan berkaitan dengan bagaimana pelayanan itu dapat dilaksanakan melalui prinsip-prinsip tata kelola pemerintahan yang baik (efisien dan efektif). Pandangan ini setidaknya lebih mempersempit relasi pemerintahan dan memaksa kita pada peran hukum dan administrasi.
Bagi ilmu pengetahuan yang masih belia seperti ilmu pemerintahan, diakui konsep-konsep tertentu mesti dipinjam-pakai dari ilmu pengetahuan lain lewat transfusi, pencangkokan dan okulasi interdisiplin, antardisiplin hingga multidisiplin. Dalam masa tertentu, hasil hybridized discipline tersebut melahirkan disiplin baru dalam rumpun yang sama. Kybernologi misalnya, harus diakui adalah disiplin baru yang dibangun di atas paradigma subkultur kekuasaan, ekonomi dan sosial dalam taksonomi rumpun ilmu sosial. Walau bila dirunut secara historiografi termasuk ilmu tua yang mengalami normal science pasca turbulensi reformasi.
Kegagalan para pembelajar memahami metodogi ilmu pemerintahan mengakibatkan kaburnya konsep-konsep pemerintahan yang dianalisis melalui kajian literatur. Kebuntuan ini membuat pengaji ilmu pemerintahan terjebak pada kubangan kajian asal-usul ilmu pemerintahan, bukan konsep atau teori yang telah diadaptasi dan dikawin-paksa oleh ilmu pemerintahan. Setidaknya hasil transfusi, pencangkokan, okulasi, asimilasi, adaptasi, bahkan hibridisasi dari spesies lain pada rumpun ilmu sosial.
Kenyataan ini menjadikan pembelajar ilmu pemerintahan di level doktoral khususnya selain gagal paham atas konsep-konsep hybrida ilmu pemerintahan, juga gagal mengontribusikan hasil risetnya guna memperkuat body of knowledge ilmu pemerintahan. Malangnya bila pembimbing dan yang dibimbing sama-sama berada dalam labirin gelap Jendela Johari, kemungkinan keduanya menuju kesesatan yang nyata. Dalam jalan panjang memahami ilmu pemerintahan itu, Ndraha telah menuntun kita lewat konseptual-teoritik Metodologi Ilmu Pemerintahan (2010) dan konseptual-praktikal Metodologi Pemerintahan Indonesia (1983).
Guna melahirkan konsep-konsep baru dalam ranah ilmu pemerintahan kita membutuhkan metodologi penelitian. Produk penting dari hasil penelitian itu adalah apa yang kita istilahkan invention & novelty. Invention diharapkan mampu melahirkan konsep baru yang akan digunakan secara mandiri sekaligus pembeda bagi ilmu pemerintahan dihadapan ilmu pengetahuan lain. Demikian pula novelty, sebuah produk hasil modifikasi atau hibridisasi yang dapat memperkuat disiplin ilmu pemerintahan.
Karena itu, menjadi penting bagi pembelajar ilmu pemerintahan untuk memahami metodologi penelitian agar output yang dicapai tidak sekedar memaksakan hibridisasi dengan mencantolkan nama peneliti dalam akronim model-konsep-teori sebagai novelty. Hal ini sama dengan perkosaan telanjang terhadap konsep maupun teori baku dalam ilmu-ilmu sosial. Pilihan metodologi penelitian ilmu pemerintahan dapat menggunakan pendekatan kualitatif, kuantitatif, atau mixed method (Bungin, 2019).
Metode penelitian kualitatif berbasis Plato merupakan antitesis dari cara pikir posivistik yang dikembangkan Hegel di Jerman. Ilmu pemerintahan perlu menggunakan metode kualitatif dengan sejumlah alasan. Satu diantaranya agar kita sebagai pemerintah benar-benar mampu menangkap dan merasakan langsung apa yang menjadi kemauan masyarakat, bukan sekedar laporan hasil sampling. Selain itu model penelitian yang mesti dikembangkan pada level terapan adalah evidance base dengan realitas empirik sebagai kasus utama (Purwo Santoso, 2020).
Sementara pilihan kuantitatif bila populasinya bersifat luas, cenderung homogen dan karena itu dilakukan pengambilan sampel untuk disimpulkan lewat induksi. Inilah generalisasi. Kegunaannya untuk melihat kecenderungan yang sedang berlangsung, sifatnya relatif tergantung ruang dan waktu. Dewasa ini perilaku calon pemimpin dan basis konstituen dapat di ukur pada skala tertentu lewat survei quick count. Metode penelitian ini bersifat mengukur, sumber pikirnya Aristoteles, berkembang di Inggris dan Perancis, aliran filsafatnya behavioralisme, empirisme, naturalisme, dan saintisisme.
Pemikiran positivistik kuantitatif dikembangkan Auguste Comte untuk melihat realitas sesaat sehingga dapat dilakukan intervensi. Sebaliknya, pilihan kualitatif bila obyeknya spesifik, khas, heterogen, dan kasuistik. Hasil simpulnya tanpa generalisasi. Penelitian dengan metode ini berusaha mencapai kepuasaan (satisfaction), keberartian (meaningful), kedalaman (interdepth), dan keutuhan obyek (holistic). Sesuai dengan karakteristik pemerintahan maka pilihan metodologi penelitian kualitatif lebih mungkin dilakukan untuk menangkap realitas yang berbeda.
Sementara bila kita ingin mengembangkan akademiknya, penelitian dasar (grounded research) relevan untuk menemukan dan memperkaya teori pemerintahan sebagaimana saran Suwaryo (2020). Perlu diketahui bahwa konsep-konsep yang dipinjam-pakai antar bidang ilmu bukan penanda yang ketat dewasa ini (borderline). Sementara pilihan metode campuran sangat bergantung pada tujuan peneliti, tidak berdasarkan batas-batas administrasi pemerintahan seperti strata doktor di pusat pemerintahan, magister di provinsi, sarjana di kabupaten/kota, diploma di kecamatan dan desa.
Salah satu pertanyaan penting yang sering diajukan adalah apakah judul penelitian para pembelajar telah mendarat dalam bidang kajian pemerintahan? Pertanyaan ini bertalian dengan upaya membatasi cakupan yang menjadi fokus perhatian ilmu pemerintahan. Bila fokus kajian pemerintahan itu berkaitan teknis dengan subjek, maka yang perlu dilakukan adalah menghubungkan aktor pemerintah dengan masyarakatnya (yang memerintah dengan yang diperintah). Jadi setidaknya judul tesis dan disertasi itu berisi dua variabel yang saling terhubung.
Demikian pula bila pilihan kita pada proses dan sistem pemerintahan, selalu saja dikonstruksikan kedalam relasi antara proses pelayanan pemerintah dengan masyarakat, atau bagaimana bekerjanya sistem pemerintahan itu pada masyarakat. Jadi dalam setiap penelitian yang akan dilakukan selalu saja terdapat dua variabel minimal yang mendeskripsikan relasi antara yang memerintah dan yang diperintah. Soal cara pandang sangat bergantung pada pembelajar masing-masing.
Bagaimana dengan penelitian deskriptif satu variabel misalnya? Penelitian model ini bukan tak dibolehkan, namun kurang konsisten dengan frame work dan core utama ilmu pemerintahan, yaitu suatu relasi antara yang memerintah dan yang diperintah pada konteks kewenangan dan pelayanan (aktor, organisasi, proses dan sistem) sehingga memungkinkan posisinya dapat berubah-ubah baik vertikal, horisontal, hirarkhis dan fungsional. Kapan dan dimana posisi mereka yang memerintah dan yang diperintah sekali lagi bergantung konteks hubungan apa yang telah dan sedang dibangun.
Menemukan Aksiologis
Di atas telah digambarkan secara singkat alasan yang memungkinkan pemerintahan hadir, demikian pula alasan mengapa semestinya pemerintah dibutuhkan bahkan dipelajari baik sebagai sains maupun praktek sehari-hari. Guna memperoleh pengetahuan yang lebih mendalam tentang fenomena pemerintahan itu dibutuhkan cara untuk mempelajarinya, dan bagaimana cara menangkap realitas pemerintahan agar kita dapat memecahkan masalah baik pada mereka yang memerintah, terlebih lagi terhadap mereka yang diperintah.
Pada level aksiologik bagaimana menurunkan keduanya ke dalam bahan ajar (didaktik) termasuk bagaimana metodologi pengajarannya (metodik). Guna merumuskan pokok-pokok didaktiknya pada kurikulum sebaiknya kita kembali pada dua bagian penting sebelumnya yaitu cakupan ontologi dan epistemologi ilmu pemerintahan. Sedangkan aspek metodiknya akan mengikuti apakah cukup dipelajari lewat pendekatan akademik murni ataukah perlu diikuti dengan pola penerapannya baik langsung atau terpisah. Mata kuliah apakah yang relevan?
Untuk memahami kedalaman pemerintahan tidak ada jalan lain kecuali dimulai lewat filsafat. Filsafat akan membuka cakrawala pembelajar menjadi luas, utuh dan komprehensif. Dalam kaitan dengan bermulanya pemerintahan oleh Tuhan pada mahluknya akan memaksa kita mempelajari fenomena umum pemerintahan melalui pengetahuan agama (teologi pemerintahan), etika dan ekologi pemerintahan. Evolusi pemerintahan dari titik spiritual hingga realitas pemerintahan modern akan memberi insight guna memahami persoalan makro pemerintahan.
Dalam hubungan itu kita dapat melakukan pendekatan dari berbagai disiplin ilmu seraya mengidentifikasi pengetahuan berdasarkan ilmu murni dan terapan. Ilmu murni diperlukan untuk mengisi aspek kognisi sebagai kompas, sementara terapan untuk melengkapi pembentukan keahlian dalam menjalankan pemerintahan (psikomotorik) ditambah pembentukan sikap kepemimpinan sehingga dapat dioperasikan secara utuh dilapangan pemerintahan. Sedemikian banyaknya pengetahuan yang mesti dipelajari oleh seorang pembelajar pemerintahan sehingga perlu dibekali dengan ilmu pengetahuan inti, dasar dan penunjang.
Pengetahuan inti berhubungan dengan kerangka pikir awalnya semisal ilmu politik, hukum, administrasi, manajemen, ekonomi dan sosial dengan basis filsafat untuk pasca sarjana. Pada ranah pratik diperlukan dukungan penuh ilmu politik, administrasi, hukum, dan manajemen. Pengetahuan dasar berkaitan dengan basis pengetahuan untuk memberi fundamen bagi pengembangan ilmu misalnya filsafat, agama, dan bahasa. Sedangkan pengetahuan penunjang dibutuhkan untuk melengkapi pengetahuan inti agar secara teknis dapat dijalankan dengan baik (statistika, demografi, geografi dan teknologi pemerintahan).
Pengetahuan terhadap subjek pemerintahan berkaitan pula dengan apakah keahlian yang dibutuhkan dalam memerintah dilapangan, termasuk sikap dan perilaku seperti apakah yang dapat diterima dalam masyarakat dalam proses interaksi. Di sini berhubungan dengan ilmu kepemimpinan, manajemen, sosiologi, psikologi dan antropologi baik akademik maupun terapan. Contoh lain pengetahuan terhadap organisasi pemerintahan dan proses bekerjanya membutuhkan sekurang-kurangnya ilmu manajemen, administrasi, perkantoran, psikologi, ekologi, kinerja, dan sumber daya.
Dalam hal proses pemerintahan berkaitan dengan ilmu pengetahuan pelayanan, hak dan kewajiban, sistem politik dan pemerintahan, sistem hukum, prinsip dan dasar tata kelola pemerintahan yang baik, serta ekologi pemerintahan. Pada sistem pemerintahan setidaknya kita membutuhkan ilmu pengetahuan tentang perbandingan dan sistem/politik pemerintahan, kinerja pemerintahan, output, outcome, benefit, & impact dari bekerjanya sistem pemerintahan. Semua ilmu pengetahuan tersebut secara didaktif dilengkapi dengan bahan ajar praktik dan praktikum guna menghasilkan tidak saja pengetahuan kognitif juga psikomotorik.
Lebih dari itu pembentukan karakter sesuai tujuan instruksional umum dan khusus merupakan upaya mewujudkan profile lulusan yang ditetapkan melalui visi dan misi organisasi pembelajaran seperti IPDN (Supriatna, 2020). Visi pendidikan di IPDN pada dasarnya untuk menghasilkan profile kader pemerintahan yang tidak saja melayani sebagai bagian dari aparatur sipil negara dalam birokrasi, juga ilmuwan dalam bidang pemerintahan. Kebijakan tanpa pengetahuan hanya akan melahirkan peruntungan nasib (gambler), seterusnya pengetahuan tanpa policy action hanya mencipta pengetahuan semata (Joseph dalam Karnavian, 2020).
Guna mewujudkan hal itu maka pembentukan kader pemerintahan yang khas sesuai kebutuhan Indonesia mesti didesain melalui kurikulum yang tepat. Masalahnya kita agak kesulitan membedakan mana kebutuhan sarjana pemerintahan dan mana kebutuhan sarjana terapan pemerintahan dalam birokrasi (Halilul, 2020). Keduanya mencair ketika berhadapan dengan setiap masalah, apalagi ketentuan normatif tak secara tegas menyatakan hal itu. Dalam faktanya birokrasi pemerintahan itu membutuhkan pemikiran dalam bentuk konsep dan narasi argumentatif sebelum diimplementasikan lebih jauh.
Apalagi setiap masalah dewasa ini mesti didekati dan diselesaikan melalui berbagai pendekatan disiplin ilmu. Alasan inilah sehingga kita membutuhkan sejumlah program studi baik sains dan terapan melalui program akademik, vokasi, profesi dan pendidikan lanjutan (pasca sarjana dan terapan). Pengembangan didaktif lewat berbagai pilihan tersebut membutuhkan metode yang berbeda-beda sesuai tujuan yang diinginkan oleh pemerintah selaku owner dan masyarakat selaku pemetik manfaat dari pemerintahan.
Hasil evaluasi pada sejumlah stakeholder alumni maupun non-alumni menunjukkan bahwa kebutuhan akan kader pemerintahan yang bersifat terapan selain memuaskan juga sangat dibutuhkan, namun tidak sedikit yang mengharapkan agar laju kognisi mesti ditingkatkan guna menghadapi globalisasi yang semakin ketat (Agus Harahap, 2019). Petunjuk ini dapat dibaca bahwa sekalipun kita tetap memproduk kader pemerintahan yang bersifat terapan, tak dapat dipungkiri bahwa kebutuhan akan pemikiran akademik di bidang pemerintahan juga diperlukan guna menjawab tantangan yang semakin abstrak dan kompleks.
Di sinilah perlunya program akademik baik di tingkat sarjana, magister maupun doktoral. Pengetahuan di level doktoral lebih dimaksudkan untuk menyiapkan kepemimpinan pemerintahan yang memiliki visi pemerintahan luas sebagaimana kata Nurcholis Madjid (1999), semakin abstrak semakin pemimpin semakin teknis semakin pekerja-birokrat. Jadi metode yang digunakan dalam hal pembentukan insan pemerintahan akademik akan relatif berbeda dengan metode pembentukan kader pemerintahan yang bersifat terapan. Kurikulumnya akan sedikit berbeda seperti ENA di Perancis.
Epilog; Perlunya Keseriusan dan Kerja Keras
Jika simposium pertama ilmu pemerintahan mencoba menemukan jati dirinya, selanjutnya mengembangkan model dan orientasi kepemimpinan bahari, lalu mengalami metamorfosa kearah ilmu pemerintahan berparadigma baru (kybernologi), maka simposium tahun ini ilmu pemerintahan setidaknya mencoba menempatkan kembali posisinya yang khas dari hulu hingga hilir. Di hulu kita dapat memahami kembali perkembangan ilmu pemerintahan kendatipun tak banyak yang dapat diharapkan pada sedikit makalah di penghujung simposium.
Di Amerika lewat serial The Science of Government mengalami kemandekan hingga 1778. Sementara perkembangan ilmu pemerintahan di Prusia (Jerman) juga mengalami stagnasi. Di negara-negara anglo-saxon ilmu pemerintahan tampaknya mengalami peleburan kearah politik, hukum dan administrasi. Sama halnya ilmu hukum, ilmu pemerintahan di Indonesia mendapatkan pengaruh kuat sejak era Romawi ke Jerman, Jerman ke Perancis, Perancis ke Belanda, Belanda ke Indonesia.
Di hilir, ilmu pemerintahan mendarat dalam dua kelas yang berbeda, kelas pertama dibawah subordinasi ilmu politik dan diajarkan diberbagai perguruan tinggi umum (fakultas ilmu sosial dan ilmu politik). Kelas kedua mendarat secara mandiri sebagai ilmu pemerintahan terapan yang diajarkan di sekolah kedinasan Pamongpraja sejak OSVIA, MOSVIA, KDC, APDN, STPDN dan IPDN. Sementara ilmu pemerintahan ber gendre akademik diajarkan di Institut Ilmu Pemerintahan (IIP) sejak tahun 1972.
Dalam masa itu ilmu pemerintahan tidak saja berbasis politik, juga muncul sebagai ilmu pemerintahan mandiri lewat kerjasama dengan Universitas Padjadjaran (2002-2012). Harus diakui bahwa pasca kerjasama tersebut ilmu pemerintahan dengan kekhasannya mengalami stagnasi oleh sebab eksternal dan internal. Eksternal, kebijakan pemerintahan melalui Kemenristekdikti tak memberi ruang yang cukup untuk mengembangkan ilmu pemerintahan di level akademik. Sementara Unpadj dan perguruan tinggi lain kembali kedalam studi pemerintahan berbasis politik, hukum dan administrasi.
Sementara IPDN sendiri secara internal kembali ke ilmu pemerintahan terapan baik di tingkat diploma, profesi dan pasca sarjana. Dua masalah tersebut menjadi tantangan bagi IPDN dalam mengembangkan ilmu pemerintahan bertaraf akademik di hari-hari ini. Jika mungkin diperlukan upaya keras untuk mengembangkan inang kybernologi sekaligus inkubator pengembangan ilmu pemerintahan dilingkungan sendiri melalui pasca sarjana.
IPDN harus mampu melakukan revolusi dalam meningkatkan kualitas tenaga pendidik di bidang ilmu pemerintahan, melakukan konversi kitab kybernologi, perubahan orientasi pendidikan pascasarjana yang lebih menekankan mutu dibanding jumlah, menyusun profile dan kurikulum dengan serius, serta perlunya dukungan dari asosiasi keilmuan dan masyarakat seperti Masyarakat Ilmu Pemerintahan Indonesia (MIPI) dan Masyarakat Kybernologi Indonesia (MKI).
Komentar
Posting Komentar