Menata Ulang Kebutuhan Ilmu Pemerintahan Kita

 Oleh. Muhadam Labolo

Dalam time series MIPI lewat zoom meeting telah terselenggara empat episode kajian ilmu pemerintahan (Jan-Feb 2023). Empat narasumber dipilih masing-masing membawakan perpektif ilmu pemerintahan dengan aksentuasi hukum, administrasi, manajemen dan politik. Dr. Sutoro Eko (STPMD) membawakan ilmu pemerintahan dengan Madzhab Timoho, Jogja. Dialektika itu untuk melihat sejauh mana perkembangan ilmu pemerintahan dewasa ini.

Apa yang telah ditumpah-curahkan sebenarnya tak beda jauh sejak simposium IIP-IPDN tahun 1985, 1995, dan 2020. Pergumulan ilmu pemerintahan tak banyak berubah, selalu saja di cumbu oleh hukum, administrasi, politik dan manajemen (untuk hal ini silahkan dalami kompilasi buku Beberapa Pandangan Dasar Ilmu Pemerintahan, Dialektika Ilmu Pemerintahan, atau Ilmu Pemerintahan Karakteristik Pamongpraja (Labolo dkk, 2018, Ghalia Jakarta). Hal baru mungkin hasil sintesis Sutoro yang sampai pada satu konklusi 5G (Government, Governing, Governability, Governance, & Governmentality). Konsep-konsep itu berkaitan dengan institusi, fungsi, otoritas, interaksi, dan seni pemerintahan.

Simpul sederhananya, perkembangan ilmu pemerintahan di luar sana masih eksis dalam tiga klaster utama, yaitu hukum, administrasi, dan politik. Ketiga klaster itu memang punya genealogi yang mengalir dari hulu hingga hilir. Pengaruh eropa kontinental dengan ajaran merkantilistik (Jerman, Perancis, Belanda) membawa ilmu pemerintahan ke muara Indonesia dengan istilah bestuurkunde, bertuurswetenschap, dan bertuurswetenschappen (Ndraha, 2002, Sutoro, 2023).

Ketiga istilah itu dimaknai pemerintah terapan, ilmu pemerintahan, dan ilmu-ilmu pemerintahan. Produknya birokrasi publik yang trengginas, berdisiplin tinggi, berhirarkhi ketat, dan punya loyalitas penuh. Secara historis bentuknya terbagi dua, yaitu binnenlandsbestuur dan inlandsbestuur. Pasca kemerdekaan, jejak ilmu pemerintahan terapan itu masih eksis lewat Pangrehpraja yang mengalami metamorfosis oleh Soekarno menjadi Pamongpraja (1956).

Dilingkungan Kemendagri, ilmu pemerintahan terapan tetap eksis lewat pendidikan KDC, APDN, STPDN, dan IPDN sebagai kelanjutan OSVIA & MOSVIA. Kita akui bahwa kebutuhan akan birokrasi publik dengan karakteristik di atas masih relevan dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia dimana peran Pamongpraja sebagai integrator, mediator dan pelayan bagi pemerintah serta masyarakat. Disini, ilmu pemerintahan bersifat eklusif bagi abdi dalem (internal Kemendagri), sebagaimana kitab wulangreh yang hanya dipelajari oleh kalangan raja sebagai calon pemimpin (Pakubuwono, 1768-1820).

Pada 1780 pengaruh anglo-saxon menyeduh gejala pemerintahan kedalam klaster politik dan administrasi. Sekalipun sejak awal dua buku klasik oleh Bleske dan Roosevelt (wasistiono, 2018) mencoba memberi landasan akademik terhadap ilmu pemerintahan, namun tak berkembang sebagaimana jurusan politik dan administrasi yang di ikat ketat dalam fakultas ilmu sosial dan ilmu politik. Bahkan, di era 70an jurusan hukum menjadi bagian daripadanya. 

Pengaruh anglo-saxon itu pula, pada tahun 1972, semangat menyalakan ilmu pemerintahan terapan ke level akademik membuahkan IIP (Kemendagri dan UGM selaku arsitek). Namun begitu kurikulumnya terbangun di atas pondasi ilmu politik, administrasi dan hukum. Sekalipun Soewargono, Ryaas Rasyid dan Affan Gaffar mencoba meletakkan state of the art dan dasar politik pemerintahan, ilmu pemerintahan tetap terasa dingin (kuldesak). Di luar IIP ilmu pemerintahan menjadi program studi yang tak kunjung menguak mandiri seperti anak ayam dari cangkang telur.

Pada tahun 2002, Taliziduhu Ndraha merampungkan genealogis yang panjang itu dengan paradigma baru. Ia menamakan kybernologi. Satu istilah yang di serap dari bahasa gerik menjadi kybern, kybernan, kybernologi. Maknanya setaraf dengan term govern, governance, governologi, mengarahkan-mengendalikan. Istilah governologi tak dipakai dengan alasan telah umum, bahkan menjadi subjek pemerintahan di Indonesia seperti gubernur. Sementara term klasik bestuurswetenschap dibiarkan sebagai padanan birokrasi publik (pemerintahan terapan), Ndraha, 2002, Rineka Cipta, Jilid 1, hal xxx.

Penggunaan logos sebagai penanda ilmu sebagaimana socius yang menjadi sosiologi. Makna kybernan pada dasarnya tak jauh beda dengan steering dan govern yang berarti mengendalikan-mengarahkan, bukan semata memerintah atau mengemudi sebagaimana makna klasiknya (bestuurskunde). Disini reinventing government oleh Osborn, Gaebler & Plastric (1992) cukup berpengaruh memberi guiden dimana lebih baik mengemudikan daripada mendayung (steering better than rowing).

Talizi memunculkan gagasan itu bersamaan dengan collaps nya Orde Baru (1998). Antitesis itu sekaligus sinyal atas kelemahan ilmu politik, hukum dan administrasi dalam menyinari jalan terang pemerintahan sepanjang 32 tahun Soeharto berkuasa. Disini basis ontologi ilmu pemerintahan membedakan diri sebagai produk dari manusia (rakyat), bukan dimulai dari negara sebagaimana cara pikir politik. Dari manusialah muncul kebutuhan berpemerintahan (bottom up, not top down).

Bersamaan dengan itu, konstitusi Indonesia pun mengalami empat kali relaksasi sejak 1999-2002. Semua itu berjalan simultan dengan perubahan paradigma pemerintahan baru (kybernologi, 2002). Dulu serba negara sekarang serba rakyat, dulu bersifat hirarkhis semata sekarang multi-relasi, dulu dilayani sekarang melayani, dulu serba efisien dan efektif sekarang lebih pada proses dan hasil, dulu supremasi hukum-strukturalistik sekarang hukum-fungsional, dulu Pangrehpraja-eklusif sekarang Pamongpraja-inklusif.

Sekali lagi, kybernologi pada dasarnya adalah antitesis terhadap realitas kekunoan yang membawa kita pada paradigma kekinian yang lebih terbuka dan ke-Indonesiaan. Kini kita dapat memahami bahwa basis ontologi ilmu pemerintahan berbeda dengan politik yang serba kekuasaan, hirarkhis, state minded, dilayani, dan menghalalkan. Dengan ilmu hukumnya yang serba dogmatis, rules, dan institusionalistik. Dengan administrasinya serba efisien dan efektif. Itulah bedanya.

Jika paradigmanya tumbuh dari bawah, lalu seperti apakah ilmu pemerintahan itu? Tentu saja sebagai ilmu, pemerintahan harus memenuhi sejumlah syarat, misalnya sistematikanya, objektivitasnya, generalisasinya, dan metodologinya yang terangkum dalam lingkup ontologi, epistemologi dan aksiologinya (body of knowledge). Bila gejala pemerintahan tumbuh dari bawah, seperti apakah isi dan sifat hubungannya. Pemerintahan dalam hal ini tak hanya membawa dirinya sendiri, juga propertis mahluk, individu, rakyat, penduduk, masyarakat, bangsa, negara, hingga pemerintah itu sendiri sebagai puncak tertinggi dari sistem sosial (Ndraha, 2002)

Kini kita tiba pada pertanyaan spesifik, kebutuhan ilmu pemerintahan seperti apakah yang dibutuhkan oleh IPDN? Apakah cukup dengan tetap mencetak ilmu pemerintahan terapan bestuurskunde (birokrasi publik) di level diploma, ataukah perlu mengembangkan ilmu pemerintahan level akademik dari hulu anglo-saxon? Kita relatif setuju dengan keduanya di atas filosofi ke-Indonesiaan (Pancasila, Konstitusi, dan nilai Kepamongprajaan).

Untuk menjawab pertanyaan di atas, tentu saja pertama, profile lulusan IPDN di semua strata akan menjawab tujuan ilmu pemerintahan, ataukah tujuan praksis pemerintah (including Kemendagri)? Tentu saja secara teoritik menjawab tujuan ilmu pemerintahan, dan secara praktikal menjawab tujuan pemerintah dalam konstitusi, diantaranya melindungi segenap bangsa dan menciptakan kesejahteraan rakyat. Kedua fungsi itu secara teoritik dapat ditelusuri sebagai fungsi klasik (machstaate) hingga modern (welfarestate).

Kedua, jika demikian maka Body of Knowledge (BOK) ilmu pemerintahan harus mampu dikonstruksi secara ideal menurut karakteristik ilmu yang bersifat general, bukan kurikulum eklusif yang hanya memuat kebutuhan teknis Kemendagri seperti konten UU Pemda. Untuk level diploma tentu saja kurikulum praktisnya telah menjawab kebutuhan itu melalui 8 semester dan 220 SKS. Namun untuk kebutuhan yang lebih luas (S2 dan S3), karakteristik kurikulumnya haruslah bersifat general dengan orientasi peserta dari masyarakat ilmu pemerintahan (praktisi, ilmuan, politisi, birokrat sipil, polisi, tentara, swasta, aktivis, dll).

Ketiga, bila ilmu pemerintahan yang akan diajarkan hanya bersifat normatif (isi UU Pemda), sebaiknya tak perlu repot-repot melakukan rekrutmen pada masyarakat luas, cukup dilingkup Kemendagri saja. Hapus organ MIPI yang dibentuk sebagai asosiasi keilmuan guna memelihara eksistensi ilmu pemerintahan secara khusus dan umum (masyarakat ilmu). Hal mana kita kembali ke ilmu abdi dalem, ilmu kaum priyayi Kemendagri di masa lampau, eklusif dan tidak inklusif. Dalam realitas semacam itu pelajaran pemerintahan bukan ilmu tapi seperangkat kurikula diklat, atau bimtek kemendagri.

Keempat, bila derajat pemerintahan akan tetap dipertahankan sebagai ilmu (setidaknya terapan), kurikulum apakah yang dapat menjawab tujuan ilmu dan kebutuhan pemerintahan kita di hari-hari ini. Tentu saja mengingat perkembangan teknologi informasi melalui tahapan 1.0 hingga 5.0, penting memikirkan ulang kurikulum kita baik di tingkat diploma, magister hingga doktoral.

Kelima, sebagaimana telah disinggung di atas, bahwa sebagai suatu ilmu, penting mengonstruksi dulu basis ontologi, epistemologi dan aksiologi ilmu pemerintahan. Prinsipnya dapat dibedakan dari ilmu politik, hukum, administrasi, bahkan manajemen. Kecuali manajemen yang intinya soal kepemimpinan, perbedaan ilmu pemerintahan dengan politik, hukum dan administrasi telah di sentil sebelumnya.  Dalam hal ini objek materinya relatif sama, yaitu negara. Sedangkan objek formalnya yang berbeda, baik karena perbedaan alat, ruang, waktu dan posisi. Objek materi yang di lihat salah satu dari unsur negara, yaitu pemerintahan. 

Lebih jauh, objek materi pemerintahan itu adalah hubungan pemerintahan, yaitu relasi antara yang memerintah dengan yang diperintah pada dua variabel utama, yaitu kewenangan dan pelayanan (Wasistiono, 2018). Kewenangan dalam hal ini berkaitan dengan sejauhmana otoritas diperoleh, digunakan, dan dipertanggungjawabkan dengan sebaik mungkin menurut aturan dan norma. Sementara pelayanan berkaitan dengan dua hal pokok, yaitu jasa publik dan layanan sipil (Ndraha, 2002). Dari sini kita dapat menarik defenisi, ilmu pemerintahan sebagai ilmu yang mempelajari relasi antara yang memerintah dan yang diperintah berkaitan dengan penggunaan kewenangan dan pelayanan, baik jasa publik maupun layanan sipil.

Jasa publik disini adalah semua kebutuhan yang menyangkut hajat hidup orang banyak (public) sehingga menjadi kewajiban pemerintah untuk memenuhinya. Kebutuhan itu bersifat elementer dan karenanya wajib dipenuhi pemerintah. Fungsinya memastikan dan mengawasi ketersediaan kebutuhan dimaksud termasuk melakukan privatisasi bila kemampuannya terbatas. Sementara layanan sipil adalah tuntutan setiap orang yang menjadi hak lepas dari kewajibannya. Sebab itu layanan sipil sifatnya dimonopoli oleh pemerintah, tidak diprivatisasikan, serta bersifat cuma-cuma (Ndraha, 2002).

Keenam, epistemologi ilmu pemerintahan perlu dibedakan dalam dua aspek, yaitu metodologi ilmu pemerintahan dan metodologi penelitian pemerintahan. Karena usia ilmu pemerintahan masih muda, metodologi ilmu jelas di import dari tiga rumpun ilmu. yaitu ilmu-ilmu sosial, eksakta, dan humaniora dengan semua cabangnya. Contoh adaptasi ilmu eksakta adalah demografi pemerintahan, geografi pemerintahan, teknologi pemerintahan, dan statistika pemerintahan. 

Contoh dari ilmu sosial adalah sosiologi pemerintahan, administrasi pemerintahan, politik pemerintahan, manajemen pemerintahan, organisasi pemerintahan, hukum pemerintahan dll. Contoh dari humaniora adalah etika pemerintahan, seni pemerintahan, sejarah pemerintahan, maupun filsafat pemerintahan. Semua rumpun ilmu itu menyumbang berbagai konsep dalam ilmu pemerintahan melalui hybrida. Dengan pendekatan multidisiplin, interdisiplin, dan antar disiplin, ilmu pengetahuan dewasa ini hampir kehilangan batas-batas ilmu (unbordered). Kesemuanya saling meminjam dan bertukar seperti fisika pemerintahan atau kimia pemerintahan (Wasistiono, 2019).

Pada aspek metodologi penelitian ilmu pemerintahan terdapat pilihan kualitatif, kuantitatif dan mixed methode. Menimbang isu-isu pemerintahan bukanlah soal hitung-hitungan semata, tapi soal rasa, kemanusiaan, janji, tanggungjawab, etika, kebijaksanaan, maka tekanannya lebih pada kualitatif riset, eksplanasi, deskriptif, analitis, dengan berbagai varian seperti studi kasus, komparasi, sejarah, maupun aspek implementasi norma kebijakan. Itulah mengapa kebijakan relatif sama namun tindakan pemerintah dapat berbeda-beda. Sementara kuantifikasi lebih pada gejala homogen, instan dan luas. Upaya menggeneralisasi masalah pemerintahan seringkali bias.

Ketujuh, bangunan terakhir adalah aksiologi ilmu pemerintahan. Dalam hal ini aspek metodik dan didaktiknya. Metodik bagaimana cara mengajarkan ilmu pemerintahan baik terapan (D4) maupun level academic applayed (S2 dan S3). Cara pengajaran bisa di dalam kelas seperti monolog, dialog, studi kasus, diskusi, lab) maupun luar kelas seperti magang, PPL, PKL, BKP, Latsitarda. 

Didaktik dalam hal ini berkaitan dengan konten kurikulum dan prosesnya. Misalnya mata kuliah apa yang dibutuhkan untuk membuahkan profile Prodi di D4, S2 dan S3. Menentukan matkul didasarkan pada objek materi ilmu pemerintahan, kekhasan, domestic market signal (user need), serta need assesment. Selain itu pola pengajaran dapat dilakukan melalui seminar, webinar, sarasehan, workshop dan FGD. Pola perbandingan terapan versus teori misalnya D4, 60:40, S2 50:50 dan S3 40:60. Dengan demikian tekanan output yang dihasilkan pada aspek kognisi (kompetensi intelektual), psiko (kompetensi keterampilan pemerintahan) dan afeksi (kompetensi mental menghadapi empirikal kasus) dapat menjadi pertimbangan.

Kedelapan, mendesain kurikulum harus benar-benar memperhatikan profile pamongpraja muda, magister, dan doktoral yang dicita-citakan. Meletakkan satu mata kuliah pada semester pertama berkonsekuensi pada mata kuliah di semester selanjutnya. Misalnya mata kuliah Kepemimpinan Pemerintahan di semester 1 akan bertalian dengan matkul selanjutnya di semester 2, tidak terputus begitu saja. Misalnya lanjutan di semester dua, Perbandingan Kepemimpinan Pemerintahan di Berbagai Negara. Bila di semester pertama etika pemerintahan, maka semester selanjutnya mungkin saja Perbandingan Etika Pemerintahan di Asia Timur, Eropa dan Asia Tenggara. Demikian seterusnya sampai ia diyakini solid membentuk postur profile yang diimajinasikan sebagai produk setiap program studi (alumnus).

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengenang Sartono, M. Jaffar dan Indrarto

Seri: Kajian Filsafat Ilmu Pemerintahan

Pamongpraja, Tinjauan Filosofis, Etimologis, Historis, Relevansi dan Gagasan Kekinian