Tujuan Negara, Bahagia atau Sejahtera?

Oleh. Muhadam Labolo

Tujuan negara bahagia adalah konsep klasik dalam dialektika akademik. Setidaknya dari tinjauan spiritual dan filsafat. Konsep bahagia telah tumbuh lewat perkembangan agama-agama di dunia. Semua kitab suci seperti Zabur (10 SM), Taurat (12 SM), Injil (1 M), dan Quran (17 M) meletakkan tujuan manusia pada kebahagiaan hidup yang hakiki. Bahagia dalam pandangan spiritual tak hanya melulu soal kenikmatan di dunia, juga kebahagiaan di akherat. Disitu masalahnya, abstrak dan privatif.

Dari aspek filsafat politik misalnya, setiap manusia pada hakekatnya menginginkan kebahagiaan (Aristoteles,1887). Sebaliknya, semua hal yang merusak dan menciptakan penderitaan penting untuk dihindari. Gagasan itu melahirkan cara pandang hedonisme yang oleh Aristoteles di kritik dengan segala kelemahannya. Manusia boleh saja menikmati kebahagiaan, namun tak harus lupa diri.

Hedonisme mempengaruhi individu untuk memenuhi hasrat mencari kenikmatan apa saja guna memuaskan hidup manusia. Dampaknya  konsumtif dan eksploitatif. Gejala ini tumbuh pada raja-raja lewat kekuasaan tak terbatas. Raja hidup berfoya-foya di atas penderitaan rakyatnya yang papa. Disini ada yang kelebihan bahagia, dan ada pula yang sebaliknya. 

Kedua konsep ini dalam perkembangannya menjadi cita bernegara, khususnya teokrasi. Teokrasi mewadahi keinginan untuk mencapai tujuan bahagia itu melalui seperangkat sistem yang memungkinkan aktivitas manusia bernilai pahala baik di dunia maupun akherat. Dalam agama ardhi seperti Hindu, Budha, dan Kong Hu Cu pun relatif sama. Sampai hari masih ada kelompok yang mempertahankan model teokrasi.

Di dalam wadah teokrasi, pemimpin adalah representasi kepala negara/pemerintahan sekaligus kepala agama. Konsekuensinya tindakan kepala negara adalah manisfestasi kehendak Tuhan. Melawan kepala negara sama dengan melawan kehendak Tuhan. Konsepsi ini jelas berbahaya, sebab pemimpin tetaplah manusia yang dapat salah, dan bukan Tuhan yang tuna khilaf. Atas nama Tuhan dan kebahagiaan raja dapat bersikap semena-mena.

Kelemahan teokrasi yang di dukung filosof seperti Thomas Aquino (1225-1274) dimana pedang pertama memberi jaminan bagi pencapaian kebahagiaan duniawiah, dan pedang kedua membuka jalan menuju surgawiah faktanya mudah disalahgunakan raja bagi kepentingan dirinya. Kebahagiaan hanya milik keluarga raja, bukan rakyat kebanyakan. Itulah yang terjadi dalam sejarah kerajaan di dunia.

Di eropa, ekspresi kekesalan itu diwakili kritik sosial Martin Luther (1529) kepada pemimpin agama yang bersembunyi di balik kuasa negara. Kebahagiaan akherat bahkan dapat di tebus lewat secarik kertas yang dihargai dengan uang. Inilah awal kemunculan kristen protestan yang melawan politisasi agama demi kebahagiaan. Sejauh terkontrol, sejarah masih menyisakan Vatikan, dan campuran monarchi seperti Saudi Arabia dan Brunai.

Antitesis atas kegagalan teokrasi meraih kebahagiaan itu melahirkan paham sekularisme (1864) oleh George Yakob Holyoake. Penyalahgunaan otoritas negara oleh kaum agamawan bahkan telah mengubur kelompok cerdik-cendekia di masa lalu seperti Copernicus, Gradano dan Galileo. Dimasa itu otoritas agama ogah hidup rukun dengan sains hingga memasuki era pencerahan. Banyak ilmuan di hukum mati.

Dalam paham sekularis, negara hanya bertujuan mengantar warganya mencapai kesejahteraan materil. Sementara urusan kebahagiaan rohani dan akherat adalah hak masing-masing individu yang dapat dicapai lewat asosiasi dan komunitas agama dalam negara. Namun begitu negara tetap memfasilitasi warganya untuk mencapai kebahagiaan rohani dengan mendirikan rumah ibadah dan menjamin kebebasan beragama.

Paham negara sekularis di anut lebih 90% di dunia. Ada yang bersifat sekuler murni seperti Amerika, Eropa, Turki dan simbiotik seperti Indonesia. Negara dalam hal ini bersikap netral terhadap upaya setiap warganya untuk bebas beragama guna mencapai kebahagiaan masing-masing. Di Indonesia negara bahkan memiliki departemen agama yang melayani kebutuhan semua agama dan kepercayaan.

Paham negara sekularis sejalan dengan munculnya konsep welfarestate di abad 18. Negara kesejahteraan adalah antitesis dari negara penjaga malam (maachstate). Konsep ini tumbuh sejalan dengan paham teokratik yang otoriter dan sentralistik. Sedangkan welfarestate muncul sejalan dengan terbentuknya negara modern demokrasi, sekalipun DNAnya telah muncul di Yunani sejak abad ke 6.

Ide negara kesejahteraan tampak lebih rasional di usung negara dengan menggunakan berbagai variabel. Salah satunya dengan melihat variabel IPM seperti pendapatan, pendidikan dan kesehatan (UNDP, 1990). Ukuran lain misalnya usia, pendidikan, dan standar hidup layak. Mencapai kesejahteraan pada dasarnya meletakkan pondasi meraih kebahagiaan subjektif. Setidaknya dengan tiga variabel itu manusia dapat diasumsikan bahagia, minimal di dunia.

Oleh sebab kebahagiaan sifatnya subjektif, maka indeks kebahagiaan dipisahkan dengan indeks kemiskinan untuk mengukur kesejahteraan suatu negara. Bangladesh dan Bhutan contoh negara miskin tapi dinilai bahagia. Bandingkan dengan Amerika yang kaya namun relatif tak bahagia. Bahagia dalam perspektif spiritual bahkan dapat dicapai dengan hidup miskin dan sederhana (zuhud), tak perlu kaya seperti kaum petapa.

Dalam konstitusi kita, tujuan bernegara adalah mencapai kesejahteraan. Kebahagiaan bagian daripadanya. Hal itu dapat dilacak dalam pembukaan UUD 1945 alinea ke 4 (kesejahteraan umum) dan batang tubuh seperti pasal 34 ayat (1) yang diterjemahkan menjadi UU No. 11 Tahun 2019 Tentang Kesejahteraan Sosial. Dewasa ini upaya mencapai kesejahteraan dapat dilihat melalui berbagai kebijakan  diantaranya BPJS, PKN, BLT, KIP, PPFN, PIG, PPOC dll.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengenang Sartono, M. Jaffar dan Indrarto

Seri: Kajian Filsafat Ilmu Pemerintahan

Pamongpraja, Tinjauan Filosofis, Etimologis, Historis, Relevansi dan Gagasan Kekinian