Catatan Pinggir Reuni Lokal Sulawesi

Oleh. Muhadam Labolo

Saya diminta realisasikan reuni lokal di Gorontalo. Selain rencana reuni putri Pasopati di Makassar yang belum jadi-jadi, juga reuni lokal se sumatera di Padang dan agenda Munas yang terlewat di Kota Batu, Malang. Saya putuskan saja melanjutkan reuni lokal kedua se-sulawesi di kota Pahlawan Nani Wartabone, Gorontalo.

Via telpon, Pak Budianto siap jadi korlap. Beliau Kepala BPSDM Provinsi Gorontalo yang punya akses dan pengalaman luas untuk event kecil ini. Dibantu Aisyah yang punya suara khas se jazirah Kampung Arab. Beliau rupanya penyanyi padang pasir yang pindah genre ke qosidahan dan berakhir di musik Jazz dekat Pelabuhan Fery Gorontalo.

Selebihnya di dukung urunan armada dan logistik lokal. Ada Pak Dian yang subur, tanda dipelihara baik oleh istri sekaligus seniornya 03. Andrian tetap seperti dulu, senyap menghanyutkan. Pak Romy friendly, dan senang lelucon pendek. Pak Is teman yang kalem namun punya arus kuat seperti ombak di Olele.

Kami datang dalam tiga kloter. Kloter pertama Egy, Ime dan sohib andalannya, Ira. Tak perlu digambarkan kegaduhan mereka. Sehari sebelumnya, pejabat yunior di Makassar telah di sandera dan di acak-acak di meja makan. Mereka transit disana sebelum esoknya ke Gorontalo.

Saya berharap para pengusul keras reuni kali ini hadir lengkap. Sayangnya kontingen Sulteng via darat terkendala Harlah Pancasila. Untungnya Kontingen Sulut mendarat dengan semangat 1 Juni. Disusul kontingen Sultra yang diwakili staf ahli gubernur bidang ekonomi, La Ode Saifuddin. 

Ada Lily dari Sultra, tapi sudah lama migrasi ke Sulsel ikut suami. Beliau istri tentara yang suka pindah keberbagai provinsi hingga punya wawasan nusantara. Lily jumpa di Bandara Hasanuddin sebagai kloter ketiga bersama Sukma, Trie, Lukman dan saya. Mereka rame di Gate 4, seperti sedang menawar jilbab di Tamcit.

Disitu ada peserta paling jauh dari Jatim, Bu Eny. Beliau di utus suaminya Mas Budi, biar sama-sama ke luar negeri Banyuwangi, satu ke London, satu ke Gorontalo. Bu Eny masih seperti dulu, lembut dan sabar menunggu di stealing. Beliau suka bawa oleh-oleh bila mampir di Jakarta, sampai-sampai setahun lebih baru diperiksa, ternyata barang berharga.

Kloter kedua hanya selisih sepeminuman kopi. Isinya Karaeng Manguluang, Puang Subhan dan Om Sony. Dua nama pertama penguasa paling otoritatif khusus perizinan di Depok dan Jakarta. Ketiganya menyenangkan, ibarat sudut segitiga. Tak ada waktu tanpa joke dengan tema yang menggelikan di usia 17 tahun ke atas. Diskusinya tentu saja jauh dari hadits shohih Bukhari Muslim.

Kami di sambut ibarat narsum dalam seminar berakhlak di Bandara Jalaluddin. Di ajak makan siang menjelang sore di pinggir Sungai Camp Bohulo (langsat). Sepanjang jalan Bung Ode jadi pendiam. Rupanya perutnya keroncongan. Untung panitia lokal telah siapkan potongan Ikan Tuna dan Gurame Bakar. Beliau habiskan dua piring. Nasi khususnya, yang lain saya bantu, bersihkan.

Beliau telat jalan, makanya sesat waktu mencari kami di belukar sungai. Apalagi tak ada sinyal. Untung ada pencari jejak yang mengantar mereka ke TKP. Wajahnya loyo bak pendaki Gunung Tilongkabila yang hampir tewas dehidrasi. Resto disitu unik, macam camp di sepanjang Sungai Ciwideuy, bisa mandi dan berendam di koala. 

Koala nama lain sungai atau danau di Gorontalo. Makanya waktu di suruh Aisyah supaya Egy ke koala, beliau berulang kali melihat ke pohon, mencari Koala yang banyak di Australia. Rupanya hanya ranting kering dan burung kecil di atas dahan, tak ada Koala sama sekali, hoax.

Lepas rileks kami menuju Aston. Naik turun bukit ternyata memicu jantung. Sadar bahwa kita  di posisi jelita. Eny dan Sukma seperti butuh nafas buatan. Tapi tak ada yang peduli. Andai putri angkatan 20an saya yakin pak Subhan dan Manguluang bersedia beri nafas buatan, gratis. Kalau ini, cukup gunakan standar WHO saja, tekan dadanya berkali-kali sampai bisa bernafas ulang. Cukup, tak boleh lebih, nanti sesak nafas.

Di sungai yang asri itu banyak pengunjung. Kami di sambut Egy dkk. Semua kena cipika-cipiki sama dia. Khusus di hutan lindung itu tak berlaku hukum syariah. Semua yang kena cipika seperti pasrah dinodai. Semuanya muhrim rupanya. Sambil menunggu yang main qiu-qiu kami bergurau. Pak Raf dan istrinya datang sejam sesudah rombongan Egy dkk.

Kami tiba di hotel, ishoma. Panpel mengundang dinner yang hanya selisih dua jam dari makan sore. Makan malam di pinggir muara Sungai Bone. Menu disini benar-benar bikin menetes air liur. Ada rahang tuna, kuah asam, woku, cah kangkung, di selingi pisang goreng. Pisgor semacam pembuka dan penutup. Hukumnya wajib kifayah.

Karena selera makan meluap, setiap gelaran habis di sikat. Tak ada yang tersisa, kecuali kangkung. Panpel suka kena senggol. Bu Aisyah kerepotan hadapi tekanan penikmat kuliner, Ime. Transisi menu bikin selera turun, apalagi datang satu-satu, tagantong kata orang sana. Untung ada saya tepat di depan beliau, tersangka berikut yang kena pengalihan isu, patende kelas satu.

Kloter terakhir tiba dari Sulut. Novly, Noldi, Efer, dan Edwin. Novly bahagia bersama istri baru, Noldi tampak dialektis, Edwin dan Efer semakin wise. Tambahan makan malam baru berdatangan setelah puas bergurau tak karuan. Mungkin tukang masak so kana' toreba sama Bu Aisyah, dia kerahkan bala bantuan hingga lebih cepat pelayanan.

Sebelum pulang, kami mampir di penjual durian lokal. Masih tersisa sepertiga bilik perut buat durian. Kami habiskan sekitar 15 buah. Gegara itu hampir tak bisa tidur, panas. Kami berusaha menahan kantuk, biar kata Ime tak memindahkan tidur dari rumah ke tempat reuni. Rugi datang jauh-jauh.

Esok Ime pulang duluan. Rasanya kurang rame tanpanya. Reuni tanpa dia dan Egy rasanya seperti berkumpul tanpa api unggun. Gelap dan tak hangat. Joke mereka bisa kemana-mana, menjewer kuping sekaligus mengelus pipi dari pucat sampai kemerahan. Agung dan Subhan korban dan maskot utama. Termasuk tiba-tiba kehilangan isi dompet.

Lepas sarapan peserta diantar ke Pantai Olele. Agenda pokok menyelam sambil mengambil foto dikedangkalan karang dan biota laut. Sebelum itu peserta bercengkrama dengan Hiu Paus. Sherly namanya, jinak dan bersahabat. Eny menyentuhnya, bahkan Sony puas bermain dengannya, seperti kawan yang lama tak bersua, reunian.

Pulang sorean mampir beli ole-ole, pia pica yang katanya uenak tenan. Tak lupa kami meneguk es kacang merah di tengah sengatan matahari. Sampai di hotel berpapasan dengan Gisel dkk. Imaji peserta putra jadi liar kemana-mana. Saya tak sempat periksa apakah tambah basah dari Olele atau tidak.

Menjelang maghrib Trie, Eny dan Sukma mampir ke Benteng Otanaha, sekalian lihat Gorontalo dari atap langit, tak lupa Danau Limboto yang kian mengering. Saya dan Trie bergantian ambil foto dengan setting prewed untuk Eny dan Sukma. Sayang hasilnya kurang jelas, mungkin malam atau HPnya yang jadul, polaroid edisi 90an. Padahal spotnya bagus, persis di eropa timur.

Malam inagurasi di Kafe Oma, dekat pelabuhan Fery. Mayor Randy tiba sendirian dari Manado via darat. Semangatnya luar biasa, masih seperti dulu, bertindak sebagai pengganti Indrarto di IPDN Sulut. Suasana di pelabuhan meriah, ada organ tunggal, penyanyinya ABG dengan jam terbang tinggi, ditemani gitar akustik yang kompak. Peserta sangat menikmati.

Dinner party kali ini lengkap dengan semua menu pamungkas. Pak Budi melakukan open ceremony, meminta saya beri sambutan. Mewakili teman-teman mengucapkan terima kasih dan mohon maaf (odu olo & maapu). Biar gala dinner dan muzik tetap berlanjut, saya akhiri secepatnya. Apalagi Sony sejak tadi so gatal mo ambe mic.

Panggung berhasil dikuasai Opa Sony, penyanyi gaek yang suaranya enteng. Dilarang keras tepuk tangan, provokasi Edwin. Pak Bud, Aisyah, Egy, Manguluang dan Subhan turut menyumbangkan lagu andalang. Rupanya mereka telah berlatih bertahun-tahun sebelum masehi, rasanya tak memalukan almamater. Jujur, saya telah lama pensiun dari blantika musik lawas lewat album terakhir demi kau dan si buah hati.

Kontrak acara selesai pukul 22.00, tapi tak ada peserta yang mau beranjak dari kursi. Reff lagu di ulang biar lama. Saweran di tambah agar biduan tak lepas mic. Acara molor sampai 23.00. Kalau tak dipaksa oleh pemilik kafe, dorang te mo brenti. Cara efektif cukup cabut colokan listrik biar cepat pulang. Ini teknik sabotase untuk menghentikan penyanyi pop-dangdut Hasrul Edyar, tempo hari.

Alhamdulillah acara selesai lewat foto bersama oleh fotografer profesional asal Afganistan milik Pak Bud dan Aisyah. Sebagian teman-teman dari Sulut balik malam itu juga, mendarat 7 jam ke Manado. Walau hanya sehari rasanya cukup berkesan. Reuni kali ini lebih simpel, mini, padat, meriah, bersahabat dan sukses. Trima kasih.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Seri: Kajian Filsafat Ilmu Pemerintahan

Pamongpraja, Tinjauan Filosofis, Etimologis, Historis, Relevansi dan Gagasan Kekinian

Memosisikan Mahakarya Kybernologi Sebagai Ilmu Pemerintahan Berkarakter Indonesia[1]