Mengenang Achmad Kartiwa Dalam Kacamata Pasopati
Oleh. Muhadam Labolo
Kemaren sore, 18 Juni 2023, Achmad Kartiwa wafat. Beliau memang bukan pejabat tinggi, hanya Camat Cilebar di Karawang. Jabatan semacam itu tentu sudah banyak di pegang oleh alumni Manglayang, bahkan sekelas angkatan 20an. Bang Kartiwa angkatan 02 yang lulus di tahun 1993.
Saya menulis petitie kecil ini karena dorongan saudara Gede Eka, teman dari Bali, serta apresiasi tinggi dari rekan seangkatan di group Pasopati, atas kepemimpinan Achmad Kartiwa saat menjabat Manggala Pati di tahun-tahun bersejarah antara 1992-1995.
Tahun 1992, Capra Angkatan 04 tiba di Manglayang. Semua kontingen masuk dalam keadaan rapi, walau akhirnya berantakan seperti PUDD begitu sampai di barak masing-masing. Setiap etape penuh onak dan duri. Pendeknya, hanya Tuhan dan kabinetNya yang tau.
Waktu muda kumpul di depan Menza, semua menarik nafas pelan menunggu antrian makan pagi, siang dan malam. Pagi itu, untuk pertama kali Capra melihat sekelompok pejabat teras Korps Manggala Praja berseliweran di atas tangga, menatap tajam ke bawah, menyapu Capra yang hidupnya bergantung pada belas kasihan seniornya.
Achmad Kartiwa, Manggala Pati 02, Nindya Praja, berdiri ditemani sejumlah fungsionaris mengawasi Panitia Ospek di Plaza Menza. Ia berperawakan tinggi tegap, alisnya tebal, kulitnya putih, wajahnya tampan sebagaimana kasepnya pemuda Sunda, matanya hampir tak berkedip seakan melunturkan keberanian siapa saja yang berpapasan dengannya. Ia disegani oleh Muda, Madya dan kawan selettingnya.
Bang Kartiwa mondar-mandir di atas Plaza, menunggu Nindya dan Madya masuk bergiliran. PDHnya dihiasi tali kurt merah dengan double nestel. Tak lupa mangkok besar disakunya, pertanda beliau Manggala Pati, semacam ketua senat tertinggi dalam struktur organisasi keprajaan. Ia juga sekaligus penanggungjawab semua perkara praja di kesatriaan.
Muda dan Madya tentu tak sanggup menatap lama wajahnya. Jika boleh sebaiknya menatap lurus ke depan. Cari aman. Memandang wajah mereka sama seperti terlarang memandang wajah Kaisar Hirohito ketika beradu pandang dengan rakyat jelata di masa monarchi Jepang. Capra bisa kena masalah, atau semacam kutukan dari dewata pasca apel pagi.
Bila Capra Putra kehilangan nyali melihat lama para pejabat fungsionaris itu, Capra Putri lain lagi. Di imaji mereka mudah-mudahan bisa bertemu salah satu anggota fungsionaris yang gagah perkasa penuh kharisma itu. Bahkan untuk membuang rasa penat dan panas menunggu antrian makan siang, tak jarang satu dua Capra Putri membayangkan didatangi dan di pinang seperti Putri Cinderella.
Tapi semua mimpi indah itu seringkali tak bertahan lama, tiba-tiba saja buyar ketika suara Polpra Madya atau Ketua Panitia Ospek Nindya melengking tepat di depan barisan, "siaaaaap grak!" Semua impian itu kembali berlarian kabur. Muda kembali menjadi Capra yang lusuh, Capra yang labil, tak punya pegangan hidup, kecuali berharap kemurahan Tuhan Yang Maha Kuasa.
Capra memasuki Lapangan Parade untuk apel pagi. Di kejauhan terlihat Manggala Pati Achmad Kartiwa berdiri di sisi para pejabat Kampus Manglayang. Ia biasa mendampingi Indrarto, Djafar, Usnan Zen, Hengky Rampengan, bahkan sesekali mendampingi Ketua STPDN, Sartono Hadisumarto. _Previlage_ itu menambah segan siapa saja, sekaligus memperjelas posisinya yang punya akses langsung dengan orang nomor satu di kampus itu.
Achmad Kartiwa jarang bersentuhan langsung dengan Muda 04. Namun begitu, doktrin yang disampaikan lewat apel pagi memberi kesan kuat soal kualitas leadership yang tinggi. Sosok beliau dikagumi dan dihormati, ibarat Tukang Becak terpesona pada pemimpin besar revolusi, Soekarno. Bang Kartiwa tak perlu menyentuh Muda, Ia cukup mendengar laporan detil dari jajaran Darmapati, Wirapati, hingga Senapati.
Ia melangkah dengan gagah ke podium, usai ketua beri pengarahan. Tugasnya memperjelas arahan para tetua kampus. Ia mendetailkan serinci mungkin, menerjemahkan kedalam bahasa jajaran komando agar terang-benderang. Bila pesan ketua agar Muda di bina, tentu Ia mesti menghaluskan kembali ke jajaran dibawahnya agar benar-benar di bina, di hati, bukan di ulu hati.
Kemaren, Sang Manggala Pati penuh kharisma itu menghembuskan nafas terakhir. Ia terjatuh lembut di tengah sujud terakhir pada Tuhan. Kematian yang untuk sebagian besar muslim dirindukan. Bang Kartiwa pergi dengan sederhana, kariernya mangkrak di situ, tapi Ia benar-benar Pamong sejati, menggeluti profesi itu dengan ikhlas tanpa keluhan. Ia bukan tipe Pamong ambisius. Ia hidup apa adanya, mengalir penuh kesabaran. Selamat jalan Bang Kartiwa, semoga husnul khotimah.
turut berduka cita, cerita yang sangat menyentuh ....
BalasHapussemoga pak achmad kartiwa mendapat tempat terbaik, aamiin