Muda Berpangkat Nindyapraja

Oleh. Muhadam Labolo

Dipengaruhi rasa kantuk, Mudapraja itu bergegas masuk kampus. Maklum, waktu pesiar terbatas hingga perlu siaga sebelum terjadi hal-hal yang menakutkan. Jangankan lewat waktu, atribut saja kurang mengkilap bisa bermasalah dengan Jaga Manggala. Jaga Manggala terdiri dari dua lapis hirarkhi, pengasuh dan senior.

Di waktu pesiar, semua praja butuh konfirmasi soal siapa Jaga Manggala hari itu. Bila piket semisal di jaga oleh pasangan Rene, Abdul Rauf dan Wakano, sebaiknya pesiar dipersiapkan sebaik pergi ke tanah suci. Kalau tidak, Muda akan mengalami banyak aral, mulai pemeriksaan tas, sampai hal-hal sepele yang luput di kontrol. Selera pesiar bisa menurun.

Sore itu batas pesiar hingga pukul 17.00. Muda masuk seperti Bebek Sawah berpasangan. Seorang Muda berjalan polos mencari pasangan sebelum tiba di gerbang kampus. Tapi Ia kehabisan teman. Semua bergegas setengah berlari menuju Parade. Ia berusaha berjalan setenang mungkin sambil menggandeng tas pesiar. Persis ibu Darmawanita yang telat ikut arisan.

Di jalan menuju titik kumpul, Muda sering berpapasan dengan seniornya, Madya dan Nindya Praja. Sesuai protap Muda lakukan PPM duluan. Namun kali ini Ia heran, sepanjang jalan menuju DP apel semua Madya respek dengan PPM patah-patah. Ia bahkan belum sempat menurunkan tangan Madya yang lain telah menyapa, "sore kak!"

Mungkin sudah puluhan Madya yang lewat beri PPM standar. Sang Muda juga bingung, barusan Ia mendapat perlakuan istimewa sepanjang jalan. Muda yang Ia lewatipun satu persatu pun ikut beri penghormatan. Ia merasa seperti di junjung tinggi sebagai senior. Namun Ia tetap bingung, tak menyadari keanehan dirinya.

Di tengah kebingungan dan kecemasan yang mulai menjalar di sekujur tubuh, Sang Muda refleks bergabung dengan pasukan muda lain. Ini cara efektif yang biasa dipakai Muda agar dosa individu dapat ditanggung bersama. Dengan sedikit lega Ia mengambil posisi di ekor pasukan. Posisi yang sering digunakan artileri korps 160 kotor.

Walau begitu, barisan kecil yang berpapasan dengan senior Madya tetap mendapat PPM, khususnya praja di bagian belakang. Ia mulai pucat sejak ada yang nyeletuk dalam barisan, "sampeyan kok pake dek nindya, Mas?" Itu mungkin teman sekontingen. Seketika kepalanya pening tujuh keliling. Ini rupanya dosanya.

Pertanyaan itu sekaligus menyadarkan Ia tentang apa yang aneh sepanjang jalan. Jalannya mulai gentar. Ia mulai ketakutan sendiri. Andai di dorong mungkin Ia jatuh sempoyongan. Entah apa yang ada dalam pikirannya hingga perkara haram itu Ia lakukan dengan tak sengaja. Ini jelas pelecehan setingkat dewa, dan hanya Tuhan yang berkenan melindungi dengan segala kuasa yang dimilikiNya.

Pasukan kecil itu juga ikut goyah. Semua mulai di serang imajinasi yang bukan-bukan. Kecemasan Sang Muda dengan cepat meresap menjadi kecemasan kolektif. Semua diam melafal mantra dalam ragam suku dan agama. Paling tidak bukan untuk Sang Muda yang telah di kutuk, tapi mantra itu buat jaga diri masing-masing.

Belum habis mantra dilafadzkan, pasukan itu diminta berhenti oleh Jaga Manggala. Seperti biasa, jaga tertinggi pemakai selempang emas mengamati satu-persatu gerak-gerik Muda. Sambil bertolak pinggang Ia menunjuk sang Muda yang sedari tadi hampir mati kehabisan harapan hidup agar keluar dari barisan. 

Sang Muda keluar dari barisan dengan bibir kelu. Ia hampir mati ketakutan. Ketahuan menggunakan dek Nindya. Ia di jemput paksa oleh piket Madya yang merasa dipecundangi aksi berani Muda. Ia digelandang ke posko. Sisanya diminta segera menuju Lapangan Parade. Rupanya doa-doa pasukan kecil itu dipenuhi Tuhan. Mereka lolos.

Muda itu diinterogasi habis-habisan. Ia dipersekusi karena melampaui wewenang menggunakan dek Nindya. Ia hanya pasrah menjawab, "siap salah kak!" Mutsnya berkali-kali berputar dan beterbangan. Deknya di suruh copot. Ia merasa tak sengaja menggunakan dek bintang dua. Di kosan Ia memang bersama seniornya yang masih tidur. Waktu masuk Ia salah ambil dek yang di lepas begitu saja.

Semua alasan jujur itu tetap di tolak. Jaga piket merasa itu soal kelalaian, dan karenanya di tanggung penuh olehnya. Ia diminta segera bergabung ke Parade untuk memudahkan pengecekan. Tapi disana Sang Muda disendirikan, dilokalisir ke belakang pasukan. Ia di tanya motif pemakaian dek nindya. Ia di tuduh melewati batas. Rasanya tak bisa di tolerir, sulit diampuni, apalagi dimaafkan begitu saja. 

Setiap kali Ia disudutkan dengan pertanyaan yang sama, tetap saja mereka tak menemukan unsur kesengajaan. Sang Muda akhirnya dilepaskan, walau dengan sekujur tubuh meleleh keringat. Ia habis di tebas dengan tendangan maigeri. Rupa-rupa ilmu pencak silat Ia terima dengan suka rela. Hampir saja Ia menyerah menghadapi tekanan itu.

Kabarnya, Sang Muda mengalami bibir pecah-pecah, tenggorakan kering, bahkan sulit buang air besar dalam beberapa hari. Tapi itu bukan gejala yang bisa disembuhkan dengan cepat lewat larutan cap kaki tiga. Itu bekas kaki lebih dari tiga kali yang menempel di perut, pipi, dan dada. Penyebabnya sederhana, tanpa sadar menaikkan pangkat naga bonar.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengenang Sartono, M. Jaffar dan Indrarto

Seri: Kajian Filsafat Ilmu Pemerintahan

Pamongpraja, Tinjauan Filosofis, Etimologis, Historis, Relevansi dan Gagasan Kekinian