Menjinakkan Insting Berkuasa
Oleh. Muhadam Labolo
Salah satu fungsi agama adalah menjinakkan manusia dari sifatnya yang liar agar beradab (Hardiman, 2023). Sifat instingtif itu produk alami yang dilekatkan Tuhan berbarengan dengan hak asasinya. Keduanya membutuhkan layanan sesuai keunikannya. Rights butuh penghormatan, perlindungan, dan pemenuhan. Sementara sifat insting butuh pengendalian dan pemenuhan pada batas tertentu (Ndraha, 2002).
Kendatipun rights adalah pemberian Tuhan, faktanya manusia terus memperjuangkan. Salah satu penyebabnya kesadaran pemerintah atas kewajibannya tak selalu berbanding lurus dengan hak warganya. Karenanya, hak asasi selalu menjadi isu sensitif yang terus dipersoalkan individu maupun kelompok. Dalam negara demokrasi, saluran atas keinginan memperjuangkan hak konstitusional tersebut terbuka lebar walau realitasnya tak semudah dibayangkan.
Kritik warga negara adalah bagian dari hak menyatakan pendapat baik lisan maupun tulisan. Dengan jawaban akan ada alternatif sebagai jalan keluar. Jalan keluar dapat mengubah peradaban manusia dari evolutif hingga revolutif. Maknanya, setiap pertanyaan menjadi penanda perubahan kedepan, dan bukan jawaban itu sendiri. Tanpa pertanyaan tak ada jawaban. Tanpa jawaban tak ada perubahan bagi masa depan manusia (Supeli, 2023). Masalah terbesar kita bagaimana melantunkan kritik bernas sekaligus meresponnya dengan bijak.
Instingtif manusia berguna untuk bertahan hidup (survival of the fittest). Namun sejauh sumber daya mampu dikembangkan bagi kepentingan sehari-hari, insting yang cenderung menguasai melebihi kebutuhan dirinya relatif dapat diatasi. Salah satu cara purba dengan menyuntikkan nilai religi seraya mengaktifkan akal semaksimal mungkin. Lewat teks dan sistem kepercayaan, religi secara doktrinal berusaha mengatasi insting yang tak jarang melompat pagar pembatas. Religi dan akal dapat saling melengkapi guna memandu insting.
Satu diantara banyak dorongan insting adalah berkuasa selama dan seluas mungkin. Seseorang dengan daya dan upaya berusaha merasionalisasi alasan agar kuasa diperpanjang entah sebagai kepala desa, presiden maupun anggota komisi pemberantasan korupsi. Pembatas konstitusi dan undang-undang dapat di terobos lewat berbagai argumen sahih. Mirisnya bila para penjaga batas seperti Mahkamah Konstitusi kehilangan visi dan kenegarawanan guna mengendalikan kehendak melampui konsensus bernegara.
Visi bernegara bertalian dengan kesadaran kita akan masa depan berpemerintahan. Pemerintahan demokratis membutuhkan peran penjaga batas agar lebih mudah membatasi daripada meluaskan keinginan berkuasa. Dapat dimaklumi untuk kepentingan yang lebih tinggi, masa jabatan para kepala daerah di pangkas dengan segala konsekuensinya. Disini tampak semacam adagium demokrasi, lebih baik membatasi daripada melebihi. Bila hanya soal efisiensi dan efektivitas, bukankah lebih baik para pemangku jabatan diperlama hingga tiba di batas periode tertentu.
Sikap negarawan menuntut kita membatasi insting berkuasa berlebihan. Menundukkan diri pada konsensus bernegara sama maknanya merelakan syahwat berkuasa agar tak melampaui margin kehendak kolektif. Moralitas lahir berkat kesadaran etik dan religi yang tumbuh dan menjadi esensi bernegara. Tanpa itu, insting berkuasa hanya di pompa oleh rasionalitas bahwa, berkuasa selama dan seluas mungkin bukanlah perkara keliru, apalagi haram. Ini hanya soal bagaimana membangun argumen logis agar konsensus dapat diamandemen dan direvisi.
Dua kesadaran itu setidaknya dapat mengendalikan nafsu berkuasa, kembali ke konsensus kolektif, serta meletakkan tata kelola pemerintahan sebagaimana adanya. Setidaknya kita mampu memisahkan mana instruksi politik dari mantan presiden, dan mana gerak tata kelola pemerintahan yang semestinya. Sejarah kuasa mengingatkan kita, bahwa tanpa pembatasan entah melalui konstitusi, pembagian kuasa, serta kontrol efektif, insting kuasa cenderung melampaui idealismenya. Apatah lagi bila para penjaga konstitusi kehilangan visi dan sikap kenegarawanan.
Komentar
Posting Komentar