Digitalisasi Pemerintahan Daerah
Oleh. Muhadam Labolo
Sebulan lalu, Dr. Harry Mulya Zein mengirimkan potongan judul dan daftar isi buku bertajuk Digitalisasi Pemerintahan Daerah. Ia dosen tetap IPDN yang pernah malang-melintang di Pemda dan Komisi ASN. Beliau menuntut saya memberikan kata pengantar pendek dalam waktu sekejap.
Saya menawar testimoni, menimbang draft tak terkirim utuh sebagaimana buku yang pernah saya beri pengantar. Beliau tak bergeming, tetap minta kata pengantar. Saya mengalah, mencoba mengabstraksi bab dan sub-bab dengan menghubungkan satu sama lain seperti membangun Jembatan Indiana Jones antara Depok-Jakarta di Sungai Ciliwung.
Buku Mas Harry tak hanya menawarkan konsep teoritis sebagai landas pikir, juga manajemen dan strategi teknis yang diambil dari sana-sini, termasuk komparasi praktikal di sejumlah daerah. Buku semacam itu tentu jarang, apalagi ditulis dalam bingkai pemerintah daerah sebagai fokus dan lokus penceritaan. Upaya itu patut diapresiasi agar landing di bumi, bukan di awang-awang.
Tentu saja buku itu disiapkan olehnya agar menukik tajam di daerah. Agar sampai, Ia butuh sitasi pembaca yang tau manfaat digitalisasi di ranah itu. Maklum, terlalu banyak institusi pendidikan menjadikan isu digitalisasi, namun alih-alih melahirkan produk konkrit untuk diterapkan, konsep digitalisasi pemerintahan pun kadang terasa kabur.
Kita sadar betul bahwa generasi x adalah kelompok imigran digital. Mas Harry tentu bagian dari itu. Uniknya, Ia malah menguatirkan implikasi atas ketidaksiapan Pemda menerima konsekuensi. Mungkin itu alasan mengapa Ia menulis Digitalisasi Pemda, yang saya sendiri pun kurang yakin soal penguasaan digital penulis, apalagi berselancar di media sosial yang sesak oleh penetrasi influenzer & buzzer.
Buku ringan itu tentu saja mudah dibaca. Boleh dibilang hanya ringkasan, atau semacam executive summary yang memudahkan praja menyelesaikan bacaannya. Saya tak yakin bisa dijadikan bantal tidur di Kelas Majapahit atau Kasepuhan, menimbang tipisnya buku itu. Mas Harry sengaja agar praja tak terbebani.
Membaca buku bagi praja tentu perilaku langka. Jangankan diminta membeli, dikasi percuma pun belum tentu dibaca. Angka literasi kita memang di bawah standar. Rangking 60 dari 61 negara (WMLT, 2016). Rupanya, upaya membebankan pengetahuan pada Mbah Gugel tak hanya melanda siswa, juga guru dan dosen. Otak kita mulai jarang digunakan, kecuali menghamba pada gudget.
Tuna literasi membuat pengetahuan kita terpotong-potong. Parahnya, limbah hoax meluap ketimbang esensi ilmu pengetahuan. Atas nama efisiensi dan efektivitas, digitalisasi tak luput dari pelemahan di daerah. Di luar nilai positifnya, digitalisasi pun membuka peluang pengangguran, manipulasi, kecurangan, fiktif, bahkan tipu daya.
Praktek itu tak perlu dicari jauh-jauh. Aplikasi layanan presensi kantor bisa dimanipulasi, angka nominal anggaran dapat disesuaikan, rekapitulasi kinerja dapat di konci agar selaras antara input dan output. Algoritma diakui buatan manusia. Sama halnya digitalisasi di daerah. Ia bergantung pada admin, the man behind the gun.
Terlepas dari itu, buku Mas Harry ibarat lentera kecil yang membimbing praja memasuki eranya sebagai gen z. Tantangan itu butuh keterampilan super inovasi, agar problem di daerah cepat diatasi. Kendatipun buku ini tak sepenuhnya menjelaskan panjang kali lebar, namun Harry telah mengambil prakarsa untuk menambah literatur pemerintahan.
Ini applyed theory dari teknologi pemerintahan sebagaimana pohon ilmu kybernologi Talizi. Digitalisasi pemerintahan menunjukkan pada kita bagaimana layanan dipuaskan lewat jari-jemari, dari maya ke realitas empirik, dari garis horison ke pelupuk mata, dari waktu lama ke sebentaran, bahkan dari pembebanan ke pembebasan. Demikianlah cara praktis teknologi berkontribusi di dunia pemerintahan.
Komentar
Posting Komentar