Muchlis Hamdi, Kenangan Seorang Dosen Ikhlas

Oleh. Muhadam Labolo

Apakah Muchlis Hamdi, pakar kebijakan publik masih mengajar di Manglayang? Tanya seorang dosen senior di UGM ketika suatu saat saya bertandang. Saya merasa bangga. Jauh-jauh kesana, rupanya ada yang kenal dosen kami. Sama halnya waktu terlibat penelitian singkat di IPB (2003), beberapa dosen bertanya masih adakah Prof. Talizi di IIP?

Setidaknya saya merasa almamater menjadi bagian dari pergaulan akademik. Dihargai dan dihormati pada sisi intelektual yang kini semakin suram. Muchlis Hamdi konsisten dengan bidang ilmunya, kebijakan publik. Ia fokus pada kepadatan teori dan realitas empirik sebagai laboratorium yang terus dicermati. 

Dimasa sekolah di IIP, saya menamatkan buku Bunga Rampai Pemerintahan. Mungkin itu magnum opus atas pemaknaan pemerintahan yang Ia pahami. Buku itu memengaruhi pondasi pemikiran pemerintahan sebelum menjejali buku berat Talizi. Edisi Yarsif Watampone itu sejajar dengan Makna Pemerintahan karya Ryaas di tahun 1999.

Muchlis Hamdi guru besar yang sejuk dan ikhlas. Sesuai namanya, seseorang yang ikhlas. Beliau promotor sewaktu menyelesaikan S2. Sulit menjumpai Ia marah di kelas. Bila keterlaluan, suaranya cukup ditinggikan. Menandakan Ia sedang mengirim pesan agar sebaik mungkin mahasiswa disiplin. Ia tak banyak mempersoalkan, tapi lebih sering memaafkan.

Kepada saya Ia selalu mewanti-wanti. Saya berusaha mencermati setiap kalimat. Memahami sedapat mungkin ketebalan kata, sekaligus kedalaman makna. Saya mesti jauh lebih banyak merenung, setiap kali diskusi dengannya tentang isu-isu yang menggelisahkan pikiran beliau sebagai akademisi. 

Ia punya standar etika tinggi. Tak mudah kompromi untuk urusan kebenaran. Ketidaksetujuannya terkadang sulit dipahami orang lain. Ia menegaskan tentang semua itu dari sikapnya yang tak bergeming untuk hal yang jelas bertentangan. Entah norma, apalagi etika. Dengan diam salah satunya. Sikap itu mungkin semacam fiktif positif demi menjaga muammalah.

Waktu selesai IIP (2001), beliau menawarkan saya bergabung sebagai dosen di almamater. Saya terima, walau ada panggilan yang sama untuk bergabung di STPDN Jatinangor. Saya akhirnya memilih salah satunya setelah istikharah. Tak disangka saya mengajar di keduanya pasca integrasi STPDN ke IIP menjadi IPDN (2004).

Di kelas, Pak Muchlis punya kekhasan mengajar. Ia menguasai teori kebijakan di level langitan. Tak semua mampu mencerna di tengah ayunan suaranya yang puitis. Hanya mereka yang sungguh-sungguh yang mampu menangkap esensi dari perspektif ilmunya. Muchlis Hamdi punya kelebihan disitu. Kemampuan mengabstraksi teori sejauh yang Ia dalami. 

Dalam pengalaman kerja, saya tak jarang bersentuhan dengan beliau. Berselancar diberbagai daerah. Menikmati panen raya otonomi. Menyelesaikan pemekaran Buton Utara hingga ke pedalaman Sekadau. Saya belajar banyak pada beliau, bukan semata soal keluasan kognisi, juga kekayaan afeksi dalam tiap kali menghadapi masalah. Beliau aktor dalam banyak perancangan regulasi.

Ketika Ryaas di tunjuk sebagai ketua tim recovery pasca kasus Wahyu Hidayat, Ia di tanya siapa saja yang bisa dilibatkan. Pak Muchlis memanggil saya untuk bergabung selain Hyro, James, Ramses, dan Simao. Sebulan penuh kami kerja siang malam menyiapkan bahan untuk diputuskan Presiden SBY. Hasilnya, almamater tak jadi bubar, walau mesti diregionalisasi.

Penataan kampus selanjutnya di pimpin oleh tim recovery jilid dua. Pak Muchlis aktif menyatukan kultur dua organisasi pendidikan itu. Kami studi banding ke Belanda dan Belgia. Tim itu berkali-kali rapat maraton. Merapikan kurikulum usai evaluasi yang di dukung World Bank. Semua upaya itu tak sia-sia. Kampus selamat, walau dihantam krisis berikutnya, Clift Muntu.

Dalam posisinya sebagai mantan Warek Bidang Akademik di IIP dan STPDN, Direktur Pasca, hingga Staf Khusus Bidang Pemerintahan di Kemendagri, Muchlis Hamdi tetaplah dengan sikapnya yang sederhana, kalem dan rendah hati. Semasa sekolah Ia pernah menjadi Praja terbaik di APDN Kalbar. Menyelesaikan master dan doktoral bidang public policy di Pittsburg Amerika Serikat.

Di penghujung Maret, menanti kelahirannya awal April, beliau mengakhiri pengabdian lewat orasi kebijakan publik, keberlanjutan pemerintahan yang amanah. Ia hampir genap berusia 70 tahun. Walau begitu, Pak Muchlis tetap muda. Ia memang berperawakan kecil hingga tak tampak berusia boros. Pak Muchlis cermin akan kedalaman ilmu, juga sosok penuh inspirasi untuk penjagaan idealisme seorang akademisi.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengenang Sartono, M. Jaffar dan Indrarto

Seri: Kajian Filsafat Ilmu Pemerintahan

Pamongpraja, Tinjauan Filosofis, Etimologis, Historis, Relevansi dan Gagasan Kekinian