Ramadhan di Manglayang

Oleh. Muhadam Labolo

Waktu masuk Ramadhan, praja belum libur. Bagian kerohanian memfasilitasi aktivitas praja buat puasa. Mulai tarwih, kultum, sahur, tadarusan, kajian, mabit, hingga i'tikaf di akhir Ramadhan. Tak sedikit praja yang menikmati ritus ibadah tahunan itu dengan semangat tinggi. Ada pula yang tak puasa, bahkan makan tulang.

Untuk sahur disiapkan makanan tambahan. Ada bubur kacang ijo. Makanan mewah itu sebenarnya menu eklusif buat klub sepak bola Manglayang. Mereka benar-benar di service oleh manajernya, Pak Ifandi Hadi, dosen galak dan berkumis asal Jambi. Menu buka puasa biasanya ditambah kolak pisang.

Waktu sahur, ada juga satu dua praja non muslim ikut gabung. Buat menghindari aerobik pagi. Bila ditanya alasannya sama, puasa. Tak beda dengan satu dua oknum muslim yang nyelip di bus Praja Kristiani. Mengaku ibadah mingguan di Gereja Alun-Alun Bandung. Padahal hanya ingin pesiar, atau ketemu kekasih gelap di Cicaheum.

Untuk mengelabui pengecekan, mereka ganti papan nama dengan nama rupa-rupa. Haris diganti Haikal, atau Harahap di tukar Ginting. Pokoknya amanlah, daripada bermasalah di tengah jalan, di gelandang ke posko. Matilah awak. Bisa pikul ransel, gundul, dan TBO. Hukuman paling melelahkan mental praja.

Bila tarweh suka di cek oleh senior. Sebulan puasa serasa tak cuma diawasi Rakib & Atid, juga Polisi Syariah. Poltar namanya, Polisi Taraweh. Komandannya angkatan 02, Rahmat Siregar, alias Baret Merah. Gelar itu identik dengan tanda di kepalanya, bekas jahitan panjang. Praja suka mengingatkan yang mantul bila yang bersangkutan tiba-tiba sidak.

Mereka kocar-kacir bila Bang Siregar tiba di barak. Beberapa bersembunyi di plafon. Ada juga di gudang lemari. Bertindihan dengan sapu, karbol, batu apung, dan pel lantai. Sering pula praja yang tak berpengalaman terkunci dalam lemari itu. Ia tak bisa lakukan apa-apa manakala semua praja di paksa berkumpul di lapangan parade. Ia terjebak dan menyendiri disitu.

Daripada ketahuan lebih baik berdiam diri dalam lemari gudang. Sampai ditemukan jaga barak. Syukur tak lemas kekurangan oksigen. Jaga barak terpaksa mencarikan perusak kunci agar yang bersangkutan bebas dari penjara sempit itu. Ia keluar dengan wajah pucat berlapis-lapis. Satu kali pucat karena lolos, kedua pucat karena bebas dari perangkap lemari gudang.

Lemari gudang itu seperti perangkap tikus. Bagi mereka yang terbiasa sembunyi disitu tak masalah. Cukup untuk menampung praja kurus dengan ketinggian setara Mas Eko Udiyono. Bila lebih dari itu, lemari gudang itu tak bisa dijadikan tempat sembunyi. Satu-satunya cara, naik ke lantai dua. Disana lebih aman, asal tak meninggalkan jejak di dinding menuju plafon.

Pernah suatu kali pengecekan aerobik pagi. Seorang madya nekat naik ke plafon dan meninggalkan jejak di dinding dekat plafon. Sang Polpra Nindya tak beringsut dari jejak itu. Ia berteriak-teriak agar turun. Tapi si madya tak mau turun. Akhirnya polpra menggertak dengan nada tinggi, "kalo kau ndak turun, sa bakar ini plafon, cepat !" Mendengar suara itu, si madya merasa satu kontingen.

Ia akhirnya menyerah turun, sambil menjawab dari plafon, "iye kak, siap sa turung!" Ia turun dalam keadaan frustasi, lemas, gagal, dan angkat bendera putih. Ia terperangkap seperti tikus dalam lubang sawah yang akan diasapi. Ia menyerahkan diri dalam kondisi lelah bermain petak-umpet dengan senior polpra.

Polpra Nindya itu mungkin punya jam terbang lebih tinggi untuk urusan naik turun plafon. Syukurnya Ia tak jadi di gelandang ke posko, hanya di parintah push up dan dinasehati keras. Maklum, satu kontingen. Praja sering mencari jalan keluar untuk urusan mepet, walau akhirnya Ia justru menemui jalan buntu.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mengenang Sartono, M. Jaffar dan Indrarto

Seri: Kajian Filsafat Ilmu Pemerintahan

Pamongpraja, Tinjauan Filosofis, Etimologis, Historis, Relevansi dan Gagasan Kekinian