Kabar Pasopati di Banjarmasin
Oleh. Muhadam Labolo
Tuhan bermurah hati, kali ini saya diberi jeda sehari sebelum kali kedua kegiatan KPU di Banjarmasin, bertemu anggota Pasopati di kota yang penuh orang-orang sabar, religius, baik hati, dan cantik menawan. Lama saya tak ke kota ini setelah sempat mengajar magister ilmu pemerintahan di Unlam, sekitar delapan tahun lalu.
Di hotel Best Western, saya di jemput Dahsya, bangsawan Aceh yang merantau di Kalsel, sekretaris Bawaslu provinsi. Beliau sudah tiga tahun tugas disitu, sudah pula lancar dialek dan vocabulary Banjar, seperti kada, pian, unda, ikam, nyawa, inya, sidin & ulun. Saya jadi sadar, bahwa untuk menjadi Indonesia sesungguhnya kita memang harus berakulturasi, pantas saja kami di sebar tempoe doeloe.
Kami makan berkali-kali. Bersama Pak Kadis Helfian Noor dan Musridiansyah mampir di Warung Kindai depan Hotel Best Western. Mus dan Teuku bawa keluarga, kami menikmati penganan khas, walau ujung-ujungnya kembali ke Indomie rasa Tom Yum. Sebenarnya, menyeruput Indomie di usia sekarang bagi saya pantang sekali, namun setiap jumpa anggota Pasopati tak tau kenapa bawaannya suka reunian dengan makanan padat karbo itu. Ini bukan apa, tapi soal sejarah, jasmerah kata Bung Karno.
Sambil mengecek satu persatu personil Pasopati, esoknya ke Kota Baru, ibukota provinsi hasil relokasi macam IKN. Disitu kami makan siang di warung lokal khas Banjar bersama Srilailana (Bu Sri, panggilan Pak Wali). Beliau kadis urusan pemberdayaan dan KB, sama dengan Helfian Noor dan Musridiansyah yang sehari-harinya berkutat dengan alat-alat kontrasepsi, projek stunting dan Deskranasda. Saya beli produk UMKM disitu buat oleh-oleh walau tak sempat menikmati acara senggang bersama Budi Doremi.
Kami pindah di Cafe Soccotra, sebuah kafe yang mirip suasana di eropa. Sungguh, masyarakat kotanya sudah economy minded, tanda bangkitnya ekonomi kelas menengah ke bawah. Kami ditemani Kanafi, senior 02 yang anaknya pernah dibimbing skripsi, juga angkatan 06 dan 19 yang pernah bersama waktu di IPDN Makassar, Rahmat (Memet). Istrinya seangkatan, Maya asal Sukabumi. Kami bercerita perkembangan kampus sambil mengabsen yang lain, seperti Minggu Basuki, Johan Arifin, Wahyudi, Suria, Zainal Arifin, Maulidah, Dedi Friadi, Yusuf, Kamidi, dan Slamet.
Malamnya, kami janjian di Kota Lama, warung kopi lantai dua full sauna. Tanpa aerobik pun kami berkeringat. Disana bareng Dyah Indahsari, Srilailana, Helfian Noor, Teuku Dahsya, Joko Soemitro dan Pak Camat Yusuf makan malam di warung dekat pinggir Sungai Martapura, Jukung Julak. Joko baru nikahkan anak pertamanya beberapa bulan lalu, saya waktu itu tak sempat hadir. Yusuf mantan tugas belajar (tubel) yang tinggal beberapa tahun lagi pensiun. Syukur bisa ketemu sebelum pensiun. Beliau bertambah wise dan ramah. Dyah bersama putri cantiknya yang sekolah di Malaysia.
Dinner dengan makanan khas kali ini lucu, karena awalnya kami duduk di warung sebelahnya. Ternyata kami salah, warung kami masih 50 meter dari situ. Buru-buru pindah karena salah booking. Joko ketinggalan, untung nggak jauh di jemput. Kami puas bercerita ngalor, ngidul, ngetan, sampai ngulon. Biasa, protap di mulai dari kasus di Barak sampai hal-hal setua ini. Berbagi cerita tentu tak ada endingnya. Apalagi ketemu putri minus Maulida, pasti penuh gibalogi kata pakarnya, Bu Nunink.
Tak sampai larut, kami bubar mengingat jarak balik Joko, Sri, dkk relatif jauh. Enaknya berkenderaan disini mirip di Aceh, jalannya beraspal mulus dan lurus. Kabupaten/kota bisa dilewati dalam beberapa jam saja. Seperti juga yang lain, provinsi ini kaya akan sumber daya alam, khususnya tambang. Orang kayanya banyak, dan mulai beralih ke nikel. Wanitanya fashionable, tak ketinggalan mode. Ekonominya bergerak cepat, mungkin karena relokasi ibukota provinsi yang memicu tumbuhnya sentra-sentra ekonomi baru.
Komentar
Posting Komentar