Nikson Nababan, Bupati Taput yang Merakyat
Oleh. Muhadam Labolo
Akhir lebaran, saya di undang Bupati Tapanuli Utara, Nikson Nababan, ke kampungnya di Siborongborong. Saya pikir lewat Medan lalu jalan darat. Rupanya Bandara Silangit telah beroperasi sejak akhir periode pertama Pak Nikson terpilih. Saya senang karena tak perlu berjam-jam sampai ke Taput, bahkan ke Danau Toba jika mau. Taput bersebelahan dengan Kabupaten Tapsel, Tapteng, Toba Samosir, Labura, dan Humbang Hasundutan. Lewat Taput kita lebih mudah kemana-mana. Dari Medan jauh. Taput-Medan bisa 8 jam bila tak macet.
Saya tidur di rumah dinas. Tak ada kemewahan hotel disana, yang ada hotel melati. Pak Bupati saya jumpai di beranda rumah dinas. Beliau santai sambil menarik sigaret bersama beberapa staf yang sangat Ia percaya, alumni Manglayang. Saya di jemput Kadis Lingkungan Hidup, Heber Tambunan. Beliau kawan lama, mantan Polpra yang pernah jatuh hati sama adik kontingen saya. Sayang tak berlanjut, hatinya berlabuh di kampung halaman. Beda tipis dengan cerita romantika Pak Nikson Nababan.
Esoknya, saya habiskan waktu seharian mengamati hasil kerja Pak Nikson selama hampir dua periode. Di Ibukota, tak ada yang istimewa, kecuali Taman Kota Tarutung yang baru diresmikan, juga Pariwisata Salib Kasih. Tapi jangan tanya soal infrastruktur mulai Bandara hingga jalan aspal hotmix ke penjuru desa. Beliau concern membangun dari desa. Desa-desa terpencil yang dulu tak ada akses kini mudah di jangkau roda dua dan empat.
Jangan lihat kantor bupati yang berhimpitan dengan Kantor Dandim dan Polres Taput, pasti kecewa. Masih lebih luas bekas kantor lurah saya di Palopo dibanding Kantor Dinas LH dan Pariwisata yang digawangi alumni IPDN. Tapi mereka tak peduli, karena paham bahwa seluruh sumber daya dicurahkan all out untuk masyarakat di desa hingga dusun. Jadi, kalau anda suatu saat ingin ketemu kadis pariwisata, mungkin itu bukan kantor sesungguhnya, tapi kantor bupati. Sengaja dialihkan supaya nyaman. Mereka sedikit berbohong demi pengorbanan pemimpinnya pada rakyat.
Pak Nikson sepintas sangar, seperti tempramen orang sulawesi yang baru ketemu. Tapi tak di sangka beliau pemimpin yang lugas, bahkan punya visi besar soal desa. Desanya, ingin Ia jadikan laboratorium pembangunan. Ia percaya bahwa jika pembangunan dimulai dari sana, sebagian persoalan bangsa ini akan tuntas, termasuk urbanisasi. Selama 10 tahun terakhir sebagian besar energi APBD Ia alihkan kesana, membuka akses dari satu desa ke desa lain. Dampaknya jelas, pertumbuhan ekonomi perlahan menanjak, bahkan tumbuh di atas 3,54% dari 1,5% pasca covid. Kontribusi terbesar di topang sektor pertanian (BPS Taput, 2023).
Pak Nikson bukan kader PDIP sembarangan. Visi beliau lahir dari pembangunan desa-desa terpencil di China. Ia telah melihat dengan mata kepala bagaimana gunung, sungai, lembah, jurang, laut dan bukit dapat di sambung lewat pembangunan infrastruktur (one belt one road). Maklum, China getol merevitalisasi kesuksesan masa lalu lewat kebijakan jalan sutera guna mempertemukan peradaban timur dan barat. Imaji itu ternyata membekas dalam benak sang bupati untuk meretas pembangunan dari desa.
Saya di ajak berkeliling ke desa-desa yang selama ini tak tersentuh oleh pembangunan. Desa Sirihit-rihit dan Bonani Dolak di Kecamatan Purba Tua. Taput terdiri dari 15 kecamatan, 11 kelurahan dan 241 desa. Dulu, ke desa-desa itu butuh waktu seharian, kini dapat di tempuh cukup 1 sd 2 jam. Akses jalan terbuka lebar walau butuh pemeliharaan yang serius dari kepala daerah selanjutnya. Di desa-desa itu Pak Nikson di terima dengan tangan terbuka, terlihat dari senyum alami yang tak seperti orang kota, dibaluti topeng kemunafikan.
Saya sengaja di ajak bersentuhan langsung dengan warga desa, menghadiri kegiatan akhir lebaran, halal bi halal, sambil menanam sejuta pohon untuk menanggulangi longsor di sebuah dusun. Beliau tanya saya, tanaman apa yang tumbuh di daerah pasir semacam ini. Saya tanya mbah google, rupanya bisa kelapa, bawang merah, buah naga, cabe, singkong dan kurma. Pak Nikson sampaikan tips itu selesai kami menanam Pohon Durian. Warga merasa bahagia didatangi, bahkan diberi kesempatan bicara sepuasnya tentang masa depan desanya.
Pak Nikson sabar menunggu giliran bicara. Semua kelompok diberi panggung. Di kampung saya semua acara sudah di sunat duluan sebelum dimulai. Hanya bupati dan perwakilan tokoh masyarakat plus camat yang bicara. Sisanya cukup menjadi pendengar yang baik. Disini, semua dapat bagian, mulai camat, pak kades, tokoh agama, tokoh adat, ibu PKK, karang taruna, anak sekolahan, politisi lokal, hingga kelompok jurnalis. Semua bicara, menyanyi, bahkan mendapat angpao satu-persatu. Saya hampir lima kali ikut nyawer lewat suntikan dana dari ajudan Pak Nikson. Katanya turut memeriahkan.
Supaya tak lelah menunggu, sesekali saya bergurau dengan Pak Nikson. Sepanjang jalan saya diskusi berat dengan beliau, tentang masa depan kepemimpinan, visi partai, serta dinamika politik lokal dan nasional. Kami bersenda-gurau soal transisi kepala desa di daerah terpencil. Para kades perlu diklat, perlu semacam bimtek agar terus mendapat pencerahan dan pembelajaran sepanjang hayat. Dengan diklat mereka akan berubah. Jangan ajari kades dengan teori pembangunan, ajak mereka dan petani di Tarutung untuk studi banding ke daerah lain, itu lebih efektif mengubah kognisi (pengetahuan), psikomotorik (keterampilan), dan afeksi (perilaku).
Saya menikmati dan menghayati pesta kecil di desa itu. Jujur saya tak paham Bahasa Batak, tapi saya suka dialeknya yang keras dan penuh tekanan, persis Bahasa Bugis dan Makassar. Saya mengamati kesungguhan dan keikhlasan masyarakat di desa. Raut wajah mereka tampak alami. Saking tingginya harapan, katanya selain Tuhan hanya Pak Bupati yang dapat mengubah nasib mereka. Saya jadi ingat cerita tentang orang-orang hebat yang dikirim Tuhan untuk mengubah nasib suatu kaum seperti orang di desa ini.
Saya bilang ke Pak Nikson, di kampung saya para politisi lokal takut 3P. Apa itu katanya? Profesor, Provokator dan Proposal. Tapi disini beda. Associate profesor seperti saya justru di ajak melihat desa. Provokator yang selama ini jadi biang keributan di kampung di ajak bernyanyi oleh Pak Nikson. Bahkan dari kunjungan dua desa itu ada lebih sepuluh proposal yang langsung beliau disposisi dihadapan sekda untuk ditindak-lanjuti. Beliau pemimpin yang berusaha merealisasikan mimpi dirinya dan rakyat di desa menjadi kenyataan.
Dalam prosesi itu, saya tiba-tiba di daulat bicara oleh Pak Nikson. Saya tak siap, tapi apa boleh buat, mic telah disodor-paksa oleh protokol. Saya bicara apa adanya, menyampaikan apresiasi, menikmati prosesi unik di kampung yang jauh dari tempat lahir saya. Saya stand up comedy saja biar tak garing. Saya beri penghormatan satu persatu mulai sekdes, sekcam, camat, sekda, sekwan, bupati, politisi, OPD, toga, tomas, inang & amang. Di kampung saya semua sekretaris suka di plesetkan jadi sengsara karena kepala desa (sekdes), sengsara karna camat (sekcam), cari makanan tambahan (camat), sengsara karna kepala daerah (sekda), hingga sengsara karna anggota dewan (sekwan). Syukurlah disini tidak, tidak beda jauh.
Acara selesai larut malam. Saya balik Tarutung bersama Heber, kejar pesawat pagi. Saya pamit pada semua pejabat disitu, termasuk Sekda 03, Indra Sahat Simaremare. Di Taput hampir semua alumni senior duduk di eselon dua. Selain mereka berdua ada Eliston Tobing Kadis Perhubungan, Bontor Hutasoit Kadis Pendidikan, dan Rudi Sitorus 03 Kasatpol PP. Sayang, Bu Beti Sitorus tak sempat jumpa. Pak Nikson benar-benar mengandalkan alumni sebagai tulang-punggung, kendati beliau minta perlu latsar kembali biar lebih respek. Saya maklum kritik beliau lewat kelakar.
Saya pikir Pak Nikson tidur di hotel sekitar situ. Kata Heber, maaak, mana ada hotel sekitar sini. Beliau rupanya menggelar tikar di depan gubuk orang udik sambil ngopi sampai pagi. Itu kebiasaan beliau agar dapat menangkap isyarat orang di kampung. Disini pasti dianggap pencitraan. Tapi untuk apa membangun citra di akhir masa jabatan. Sekalipun tak tidur di situ beliau berpotensi terpilih sebagai wakil rakyat. Menurut saya, orang seperti beliau boleh saja menjadi legislator, tapi itu bukan tipenya. Beliau lebih cocok sebagai pemimpin lapangan, eksekutor, gubernur, atau menteri seperti Ibu Risma.
Sepanjang perjalanan pulang pasca kunjungan singkat itu, saya menghayati spirit kepemimpinan pemerintahan. Malam sebelumnya, di rumah makan istri Pak Nikson, saya berbincang lama dengan Eliston & Heber tentang banyak hal, khususnya dinamika politik lokal. Tapi malam ini saya benar-benar menangkap pesan kuat dari tatapan mata pemimpin dan rakyatnya untuk saling memenuhi janji. Kata Prof. Taliziduhu Ndraha, seorang founder kybernolog asal Nias, tak ada pengikat paling efektif diantara keduanya, kecuali janji (promise). Tanpa itu, relasi antara pemerintah dan yang diperintah mudah rapuh dan saling menjauhi. Pak Nikson rupanya memperlihatkan ikatan itu, ikatan kuat antara pemimpin dan rakyatnya.
Komentar
Posting Komentar