Pak Aries, Guru yang Runduk
Oleh. Muhadam Labolo
Saat masuk IIP tahun 1999, Pak Aries begitu panggilannya, sedang menjabat Sekretaris Badan Diklat. Dulu IIP dan STPDN dibawah kendali Bandiklat, jadi yang mau urusan ke almamater tersebut mesti bolak-balik kesitu.
Waktu Latsar Angkatan 30 IIP di Condet, saya protes keras karena merasa sudah cape baris-berbaris, pakai ransel, baju hijau, sepatu lars dan bawa senapan panjang di STPDN. Banyak yang terprovokasi, ikutan ngambek dan ramai-ramai pulang ke kampus sewa bus. Para pelatih di Rindam tak berkutik, kami tiba subuh di IIP.
Esoknya, kami di kumpul di Balairung. Rupanya komando tertinggi latsar lapor ke Bandiklat. Pak Aries diperintahkan ke kampus untuk memaksa balik ke barak. Kata Pak Aries, tak ada kata tidak. Bagi yang menolak segera kami pulangkan ke provinsi masing-masing. Jangankan satu orang, semua calon mahasiswa pun bisa kami kembalikan. Beliau gusar karena tindakan desersi itu.
Saya hanya berdoa semoga tak dicari provokatornya. Masalah selesai, kami kembali ke Condet beramai-ramai. Semua kuatir balik ke barak, takut di gulung sama pelatih disana. Syukurlah tidak terjadi hal yang ditakutkan, semua berjalan normal walau setiap lari pagi, siang dan sore suka di ledek sama prajurit bintara, kader lemah, kader loyo, kader payah dll. Kami tak ambil pusing. Santai saja, toh juga tinggal sebentar.
Waktu Pak Aries pindah ke KPU dan jadi Plt Sekjen saya tak ketemu lagi. Beliau sibuk menyiapkan pemilu bersama Pak Djo selaku Humas KPU. Saat itu dosen-dosen IIP laku di tarik kesana-kemari jadi anggota KPU seperti Andi Mallarangeng. Sisanya jadi bupati dll. Semua itu pengaruh Prof. Ryaas yang melibatkan mereka dalam tim reformasi politik dan pemerintahan.
Waktu Pak Aries balik ke kampus, beliau duduk di ruangan sebelah saya. Maklum saya dosen muda, kerja sampai malam di situ, mulai kajian, penelitian sampai susun draft peraturan dan undang-undang. Pak Aries suka mampir dan akhirnya lebih dekat. Ceritalah saya soal kasus Condet. Beliau malah tertawa terbahak-bahak. Katanya, saya cuma gertak itu supaya kalian balik ke barak, karena saya dimarahi sekjen. Tentaranya lapor kediklat. Jadi saya ambil alih.
Pak Aries rupanya mau urus guru besar. Beliau minta pendapat saya soal substansi disertasinya untuk dijadikan pidato pengukuhan. Sebagai yunior saya ikut saja. Beliau minta saya periksa kata, kalimat, paragraf, substansi hingga kesimpulan. Saya semangat membacanya, kami diskusi, perbaiki sana-sini, topiknya soal pemberdayaan desa. Bahan selesai, dibaca Pak Aries saat pengukuhan guru besarnya di IIP. Saya ikut bangga dan bahagia.
Saat kembali mengajar beliau minta bareng ke Jatinangor. Saya senang ada teman ngobrol. Walau beliau punya mobil tapi lebih suka naik bus dan ikut saya ke Nangor. Beliau sederhana, tak mau ribet di jalan, asal sampai disana, ngajar, dan balik lagi. Suatu saat beliau naik bus karena saya tak jadi berangkat. Beliau tertidur, isi dompetnya terkuras 5 juta. Untung dompet dan lainnya dibiarkan. Kata Pak Aries, tak apa Pak Muhadam, asal saya selamat, dan KTP masih ada. Andai saya diapakan, kan lebih ribet. Uang bisa dicari, gampanglah, begitu katanya sambil tertawa.
Saya minta Pak Aries jadi narsum hubungan keuangan pusat-daerah, saya bukan ahlinya. Kami kemana-mana atas undangan EO. Kadang EO belum sempat bayar terpaksa saya talangi, sebab saya yang garansi. Suatu saat beliau mampir ke ruangan, saya sedang siapkan launching book. Beliau bilang, saya harus buat buku, masak profesor nggak punya buku. Jadilah buku hubungan keuangan pusat dan daerah yang dipakai mahasiswa jurusan Keuda IIP.
Di hari-hari terakhir beliau sering menanyakan masa depan kampus. Saya jawab ringan saja. Beliau rajin jalan pagi untuk mengendalikan diabet yang di derita. Saya sarankan agar tak perlu pergi jauh-jauh kalau diundang jadi narsum, pilih yang dekat saja. Beliau setuju. Pak Aries dosen yang runduk sekalipun lawan bicaranya agak tinggi tensinya. Nanti abis itu beliau cerita saya di masjid tentang kebodohan orang yang dihadapinya. Kami tertawa berdua. Beliau berusaha menyembunyikan ilmu dalam setiap dialektika.
Di Bandara Banjarmasin, saya tiba-tiba di telpon Prof. Aries. Saya angkat di sela makan siang. Ternyata Bu Aries. Beliau menangis keras mengabarkan kepergian Prof. Aries. Innalilahi wainna ilaihi roojiun. Saya tertegun sejenak, entah mau bilang apa, sebab Bu Aries tak bisa bercakap, kecuali menangis di seberang telpon. Saya hanya bilang, insya allah segera diinfokan di group dosen. HP saya tutup, karena Bu Aries tak berhenti menangis. Dua menit kemudian anak Pak Aries menelpon, minta petunjuk pemakaman. Saya kontak Ustazd Sahal.
Sebulan sebelumnya, saya sempat japrian dengan Prof. Aries. Saya sempat transfer honor menulis beliau di MIPI. Pak Aries senang karena tulisannya naik online, dan dapat hardcopy. Sebenarnya sudah dibayar, tapi saya bayar kembali karena di up grade ke buku dari jurnal. Termasuk semua penulis lama, seperti Prof. Ryaas, Prof. Ngadisah, Prof. Muchlis, Abu Hasan, Simao, dll. Saya minta MIPI siapkan anggaran. Syukurlah semua terbayar, termasuk almarhum Prof. Joko Siswanto, dosen filsafat UGM. Dititip ke keluarganya via Pak Megandaru waktu ke Jogja. Itu persentuhan akhir saya dengan beliau. Trima kasih Prof. Aries, semoga beliau tenang disana. Aamiin.
Komentar
Posting Komentar