Keberuntungan Pasopati

 Oleh. Muhadam

Rencana restrukturisasi birokrasi di seluruh kementrian, non kementrian, BUMN dan lembaga negara lainnya, rasa-rasanya memberi harapan besar bagi masa depan Pasopati. Simplifikasi organisasi menciptakan dilema, dilain sisi membangun optimisme. Tergantung perspektif kita melihat perubahan. Ibarat membunuh lebah pekerja di eselon tiga dan empat, tapi secara tak sengaja mengembangbiakkan ratu lebah di posisi puncak, yaitu terbukanya peluang bagi eselon dua dan satu.

Bila diasumsikan rata, setidaknya tersedia hampir 500 posisi eselon satu di semua departemen, non departemen, BUMN, lembaga negara dan provinsi. Dibawah itu tersedia kurang lebih 1500 jabatan setingkat eselon dua A. Angka itu jelas melampaui jumlah Pasopati yang tersisa sebanyak 759 dari 803 orang. Artinya, ada peluang bagi lebih dari 200 anggota Pasopati yang memangku jabatan eselon dua memperebutkan 500 posisi di eselon satu. 

Jika sepertiga saja yang berani turun gunung, artinya jalur kekuasaan di republik ini praktis dikendalikan oleh mobilitas moda Angkot 04 jurusan Manglayang (Angkot, Angkatan Kosong Empat, kata Sekjen KPU). Belum lagi kompetisi lebih dari 300 Pasopati di eselon tiga yang mencoba merayap punggung di 1500 lebih posisi eselon dua A. Bila terjadi, migrasi itu akan berdampak psikologis bagi generasi selanjutnya. Itu sejarah, sekaligus menunjukkan kualitas terbaik generasi kuartet.

Untuk sampai ke titik itu tentu kita butuh keberanian. Meski semangat terasa nyala, tapi nyali untuk kesitu patut dibarengi keikhlasan meninggalkan zona nyaman. Termasuk rela meninggalkan sejenak semua aset, mungkin juga mantan terindah, kata generasi Z. Kenekatan rupanya belum cukup. Kita membutuhkan kognisi lain sebagai modal bertarung. Kita perlu menjadi sedikit pintar agar mampu merespon setiap gejala yang diperbincangkan. Tapi itu pun belum cukup.

Dimana-mana, orang pintar sering dikalahkan orang cerdik. Orang cerdik punya kemampuan melihat peluang. Kemampuan melihat semua posibilitas dapat menarik kita menjadi bagian dari peristiwa suksesi kepemimpinan. Orang cerdik tau kapan dia mesti hadir, dan kapan dia mesti menjauh. Namun itu pun rupanya masih kurang, sebab orang rajin sering menyisihkan orang cerdik. Orang rajin selalu menampakkan diri beserta hasil kerjanya. Entah nyata atau ansor (angin sorga), berhasil atau gagal, semuanya siap. Siap iya dan siap salah. Itu saja belum sempurna.

Kata Dirjen Kesbangpol, satu-satunya yang dapat mengalahkan orang rajin hanya orang beruntung. Untuk beruntung anda harus punya garis tangan. Garisnya harus nampak jelas supaya mudah dibaca. Sebab itu jangan biasakan mencuci tangan supaya garis tangan kita tak mudah hilang. Begitu mop lucu bagi mereka yang anti Mama Lauren. 

Siapa orang beruntung itu? Terlalu banyak untuk dicontohkan. Ada Napoleon Bonaparte, tentara kurus yang memimpin Perancis. Ada Eisenhower seorang miskin yang menjadi menjadi jenderal, rektor dan Presiden USA. Ada pesakitan Jack Ma yang menjadi pengusaha sukses di China, atau Arnold Schwarzenegger yang mengubah diri dari aktor menjadi Gubernur California. Pun, orang-orang besar itu tak pernah populer di kampung halamannya. Mereka besar justru di tempat lain sebagaimana para pembaharu menjadi hebat di tempat mereka hijrah.

Yang pasti, mereka yang beruntung membawa propertis keberanian, kepintaran, kecerdikan, dan sifat rajin. Mereka punya semacam kelenjar optimisme dibanding pesimisme kata Prof.Chairul Tanjung. Bedanya, mereka yang optimis selalu melihat donat dari sisi lingkar rotinya. Sementara kaum pesimistik selalu terjebak pada lubangnya. Demikianlah imajinasi kita di hari-hari ini.

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Pamongpraja, Tinjauan Filosofis, Etimologis, Historis, Relevansi dan Gagasan Kekinian

Memosisikan Mahakarya Kybernologi Sebagai Ilmu Pemerintahan Berkarakter Indonesia[1]

Seri: Kajian Filsafat Ilmu Pemerintahan